Share

2. TIDAK BISA MENOLAK

Jantung Amanda berdentum hebat saat melihat sang papa yang sudah terkapar di atas lantai. Seketika itu juga dia terduduk lemas tak jauh dari sana.

              Ruangan IGD menjadi saksi dirinya yang sibuk ketar-ketir menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Dia sampai tak menyadari jika sedari tadi seorang pria menatapnya dengan tajam. Barulah dirinya tahu ketika mereka berdua sama-sama berjalan menuju pintu kaca yang sudah terbuka lebar itu.

“Keluarga Pak Yuda?”

“Iya. Saya anaknya, Dok,” sahut Amanda yang hendak masuk ke dalam. Namun, lengannya ditarik kasar dari arah belakang. Membuat model cantik tersebut mengerutkan dahi.

“Biar aku saja.”

              Amanda menautkan kedua alisnya saat pria itu memotong langkahnya untuk masuk. Alhasil dia pun mengalah dengan tetap menunggu di luar bersama Mama Tiara.

“Radit itu sangat menyayangi papa.” Wanita yang ada di sampingnya tersebut mendesah panjang lalu kemudian tersenyum tipis. “Sejak dia kecil, papa dan almarhumah mama kalian sudah mengenalnya ‘kan? Maka dari itu mereka menjodohkan Dinda dan Radit.”

“Terus, setelah Dinda enggak ada bukannya si Radit bisa bebas? Kali aja dia setuju menikah dengan Dinda karena terpaksa?” tuding Amanda tanpa tedeng aling-aling. Tawanya pun menyembur seketika.

“Manda, jangan bicara begitu.”

“Kenapa?” Amanda tersenyum miring. Lantas dia berbisik, “Ma, usia kita cuma beda lima tahun. Mama enggak tertarik dengan Radit, hemm?”

“Jangan ngelantur, Manda!” tegas mama tirinya. “Mama tidak pernah berpikiran ingin meninggalkan papamu.”

              Suara pintu kaca yang terbuka membuat pembicaraan mereka terjeda. Amanda dan Mama Tiara menoleh cepat ke arah Radit yang sedari tadi berada di dalam.

“Papa baik-baik saja. Dia hanya stress dan banyak beban pikiran.” Radit menjelaskan dengan sendirinya. “Beliau tetap harus rawat inap di rumah sakit sampai setidaknya dua hari. Ada gejala serangan jantung yang ditemukan dokter. Jadi perlu pemeriksaan lebih lanjut.”

              Setelahnya hanya Mama Tiara dan Radit saja yang bercakap-cakap. Sementara Amanda memilih menepi walaupun cuma berjarak sekitar lima meter dari mereka. Hingga sang papa dipindahkan ke ruang rawatan dia terhenyak saat pria paruh baya itu pertama kali memanggil namanya.

“Mbak, Papa memanggilmu,” kata Radit seolah mengulang suara papa mertuanya.

              Amanda melangkah ragu. Kakinya terasa berat untuk menghampiri brankar papa yang tinggal ditempuh beberapa sentimeter saja. Gadis itu menundukkan kepala karena diliputi perasaan bersalah.

              Barulah tangisnya pecah usai mendongak dan mendapati papanya tengah mengulas senyum di wajah pucat tersebut. Sekarang dia langsung sadar bahwa hanya pria ini anggota keluarganya yang tersisa. Seharusnya hubungan mereka semakin baik dan hangat bukan?

“Papa,” ucapnya dengan suara bergetar. Dia bergerak menyentuh punggung tangan pria yang terbaring lemah itu. Sekujur tubuhnya seketika merinding. Sudah lama mereka tidak berada di posisi sedekat ini. “Maafin aku.”

Papanya menggeleng pelan. Lantas membalas usapan halus tadi dengan tangannya. “Papa sangat sayang padamu. Sama seperti sayang ke Dinda juga.”

“Pa?” Amanda kini mengecupi tangan papanya bertubi-tubi. Dia menatap lekat kedua netra seorang ayah yang tengah memandangnya penuh kerinduan. Perdebatan panjang tadi seolah sirna seketika dari ingatannya. Berganti menjadi interaksi hangat di antara mereka walaupun hanya sebatas saling bertatap muka saja.

              Sementara kini Radit dan Mama Tiara perlahan meninggalkan keduanya di dalam ruangan. Tahu bahwa anak dan ayah tersebut membutuhkan waktu untuk bicara dari hati ke hati.

“Papa enggak tahu entah sampai kapan bisa tetap hidup.”

Amanda yang kini sedang duduk di samping papanya menggeleng cepat. “Jangan ngomong jahat begitu, Pa. Aku enggak mau sendirian.”

Sang papa tersenyum seraya mengusap kepala Amanda yang sudah bersandar di bibir brankar. “Makanya itu, Nak. Papa ingin kau hidup dengan Radit. Kalian bisa merawat Ayra bersama-sama.” Tak ada bantahan lagi. Hingga kalimat kembali berlanjut. “Hanya dia yang bisa papa percaya untuk mendampingi dirimu. Mungkin ini sudah jalan yang ditetapkan Tuhan dengan mengambil Dinda terlebih dahulu.”

              Kata-kata Tuan Yuda masih terngiang di telinganya. Amanda duduk seorang diri sambil melamunkan kehidupan yang semakin terasa berat membebani pundak gadis itu. Bahkan makanan yang berada di depan mata masih utuh belum terjamah.     

              Permintaan gila yang tadi diterimanya kini perlahan berubah menjadi sebuah permohonan dari seorang ayah. Di satu sisi dia tak bisa menepis bayangan sang kekasih yang selama hampir tiga tahun telah mengisi kehidupannya. Apa yang harus dia lakukan?

“Kau?” Amanda menyipitkan mata begitu melihat Radit menarik kursi yang ada di hadapannya. “Papa dengan siapa?”

“Ada Mama Tiara,” jawab Radit dengan nada pelan. Dia menatap piring berisi makanan milik Amanda yang masih belum tersentuh.

“Aku mau melihat papa.”

“Papa baik-baik saja. Semua tergantung dengan keputusan kita,” tukas Radit straight to the point.

              Suasana menjadi hening karena keduanya larut dengan pikiran masing-masing. Saat ini kepala Amanda terasa mau meledak saja. Kepulangannya di Indonesia sudah banyak mengubah rencana yang sudah disusun dengan matang.

Sementara Radit? Entah apa yang ada di benaknya sekarang. Pria itu sibuk dengan gawainya sendiri.

***

“Bagaimana, Sayang? Kau sudah memikirkannya?” tanya Mama Tiara saat menghampiri Amanda yang baru saja membuka mata.

“Apa aku bisa menolak lagi?” ucapnya balik bertanya. Gadis itu duduk sembari menatap sang papa yang masih terpejam di brankar sana.

“Radit sudah setuju, Nak.”

Amanda bergumam pelan. Dia lantas bangkit kemudian berjalan menuju luar kamar. Ingin menghirup udara pagi untuk menjernihkan pikirannya barang sejenak saja.

              Tidak lama memang. Gadis itu kini sudah bisa menerima takdir yang tertulis untuknya. Namun, baru saja tiba di ambang pintu rawatan sang papa suara keributan sudah menarik perhatiannya.

“Jangan sementang Bapak orang kaya dengan seenaknya menyuruh anak saya menikah dengan anak Bapak ya!!”

“Amanda itu kakaknya mendiang Dinda. Dia pasti bisa menjadi ibu yang baik.” Tuan Yuda berusaha menjelaskan.

“Terus bagaimana dengan Radit? Bapak enggak mikirin nasib dia juga??”

“Bu, tenang dulu. Jangan begini. Kita bisa bicarakan baik-baik,” kata Radit yang berusaha merengkuh pundak wanita paruh baya tersebut.

“Enggak, Radit. Kau selalu membantah ucapan ibu,” sergah ibunya dengan tatapan nyalang. Dengan lantang ia melanjutkan ucapannya lagi dan menoleh cepat pada Tuan Yuda. “Anak saya bisa mendapatkan istri yang jauh lebih baik dari si Amanda. Wanita itu sudahlah tua, keras kepala dan umurnya beda jauh dengan Radit. Masa’ anak saya menikah dengan tante-tante. Heh?”

“Jangan hina anak saya ya!!”

              Tuan Yuda hendak mengeluarkan kata-kata murkanya. Namun, niat tadi luntur ketika melihat sang putri yang sudah mematung di ambang pintu sana.

“Amanda?”

              Gadis itu menggeleng lemah sambil berusaha tersenyum. Dia masuk seolah tak mendengarkan ucapan tajam yang tadi ditujukan ibu Radit padanya.

“Lihat! Pakaiannya saja kekurangan bahan begini. Apa pantas menjadi ibu sambung untuk Ayra??”

              Sungguh Amanda ingin sekali mengeluarkan kata-kata pedas untuk membalas tudingan sarkas tadi. Mulutnya sudah hampir terbuka, tetapi menutup kembali saat sebuah tangan kekar menyentuh pelan pundak kanannya.

             

             

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status