Jantung Amanda berdentum hebat saat melihat sang papa yang sudah terkapar di atas lantai. Seketika itu juga dia terduduk lemas tak jauh dari sana.
Ruangan IGD menjadi saksi dirinya yang sibuk ketar-ketir menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Dia sampai tak menyadari jika sedari tadi seorang pria menatapnya dengan tajam. Barulah dirinya tahu ketika mereka berdua sama-sama berjalan menuju pintu kaca yang sudah terbuka lebar itu.
“Keluarga Pak Yuda?”
“Iya. Saya anaknya, Dok,” sahut Amanda yang hendak masuk ke dalam. Namun, lengannya ditarik kasar dari arah belakang. Membuat model cantik tersebut mengerutkan dahi.
“Biar aku saja.”
Amanda menautkan kedua alisnya saat pria itu memotong langkahnya untuk masuk. Alhasil dia pun mengalah dengan tetap menunggu di luar bersama Mama Tiara.
“Radit itu sangat menyayangi papa.” Wanita yang ada di sampingnya tersebut mendesah panjang lalu kemudian tersenyum tipis. “Sejak dia kecil, papa dan almarhumah mama kalian sudah mengenalnya ‘kan? Maka dari itu mereka menjodohkan Dinda dan Radit.”
“Terus, setelah Dinda enggak ada bukannya si Radit bisa bebas? Kali aja dia setuju menikah dengan Dinda karena terpaksa?” tuding Amanda tanpa tedeng aling-aling. Tawanya pun menyembur seketika.
“Manda, jangan bicara begitu.”
“Kenapa?” Amanda tersenyum miring. Lantas dia berbisik, “Ma, usia kita cuma beda lima tahun. Mama enggak tertarik dengan Radit, hemm?”
“Jangan ngelantur, Manda!” tegas mama tirinya. “Mama tidak pernah berpikiran ingin meninggalkan papamu.”
Suara pintu kaca yang terbuka membuat pembicaraan mereka terjeda. Amanda dan Mama Tiara menoleh cepat ke arah Radit yang sedari tadi berada di dalam.
“Papa baik-baik saja. Dia hanya stress dan banyak beban pikiran.” Radit menjelaskan dengan sendirinya. “Beliau tetap harus rawat inap di rumah sakit sampai setidaknya dua hari. Ada gejala serangan jantung yang ditemukan dokter. Jadi perlu pemeriksaan lebih lanjut.”
Setelahnya hanya Mama Tiara dan Radit saja yang bercakap-cakap. Sementara Amanda memilih menepi walaupun cuma berjarak sekitar lima meter dari mereka. Hingga sang papa dipindahkan ke ruang rawatan dia terhenyak saat pria paruh baya itu pertama kali memanggil namanya.
“Mbak, Papa memanggilmu,” kata Radit seolah mengulang suara papa mertuanya.
Amanda melangkah ragu. Kakinya terasa berat untuk menghampiri brankar papa yang tinggal ditempuh beberapa sentimeter saja. Gadis itu menundukkan kepala karena diliputi perasaan bersalah.
Barulah tangisnya pecah usai mendongak dan mendapati papanya tengah mengulas senyum di wajah pucat tersebut. Sekarang dia langsung sadar bahwa hanya pria ini anggota keluarganya yang tersisa. Seharusnya hubungan mereka semakin baik dan hangat bukan?
“Papa,” ucapnya dengan suara bergetar. Dia bergerak menyentuh punggung tangan pria yang terbaring lemah itu. Sekujur tubuhnya seketika merinding. Sudah lama mereka tidak berada di posisi sedekat ini. “Maafin aku.”
Papanya menggeleng pelan. Lantas membalas usapan halus tadi dengan tangannya. “Papa sangat sayang padamu. Sama seperti sayang ke Dinda juga.”
“Pa?” Amanda kini mengecupi tangan papanya bertubi-tubi. Dia menatap lekat kedua netra seorang ayah yang tengah memandangnya penuh kerinduan. Perdebatan panjang tadi seolah sirna seketika dari ingatannya. Berganti menjadi interaksi hangat di antara mereka walaupun hanya sebatas saling bertatap muka saja.
Sementara kini Radit dan Mama Tiara perlahan meninggalkan keduanya di dalam ruangan. Tahu bahwa anak dan ayah tersebut membutuhkan waktu untuk bicara dari hati ke hati.
“Papa enggak tahu entah sampai kapan bisa tetap hidup.”
Amanda yang kini sedang duduk di samping papanya menggeleng cepat. “Jangan ngomong jahat begitu, Pa. Aku enggak mau sendirian.”
Sang papa tersenyum seraya mengusap kepala Amanda yang sudah bersandar di bibir brankar. “Makanya itu, Nak. Papa ingin kau hidup dengan Radit. Kalian bisa merawat Ayra bersama-sama.” Tak ada bantahan lagi. Hingga kalimat kembali berlanjut. “Hanya dia yang bisa papa percaya untuk mendampingi dirimu. Mungkin ini sudah jalan yang ditetapkan Tuhan dengan mengambil Dinda terlebih dahulu.”
Kata-kata Tuan Yuda masih terngiang di telinganya. Amanda duduk seorang diri sambil melamunkan kehidupan yang semakin terasa berat membebani pundak gadis itu. Bahkan makanan yang berada di depan mata masih utuh belum terjamah.
Permintaan gila yang tadi diterimanya kini perlahan berubah menjadi sebuah permohonan dari seorang ayah. Di satu sisi dia tak bisa menepis bayangan sang kekasih yang selama hampir tiga tahun telah mengisi kehidupannya. Apa yang harus dia lakukan?
“Kau?” Amanda menyipitkan mata begitu melihat Radit menarik kursi yang ada di hadapannya. “Papa dengan siapa?”
“Ada Mama Tiara,” jawab Radit dengan nada pelan. Dia menatap piring berisi makanan milik Amanda yang masih belum tersentuh.
“Aku mau melihat papa.”
“Papa baik-baik saja. Semua tergantung dengan keputusan kita,” tukas Radit straight to the point.
Suasana menjadi hening karena keduanya larut dengan pikiran masing-masing. Saat ini kepala Amanda terasa mau meledak saja. Kepulangannya di Indonesia sudah banyak mengubah rencana yang sudah disusun dengan matang.
Sementara Radit? Entah apa yang ada di benaknya sekarang. Pria itu sibuk dengan gawainya sendiri.
***
“Bagaimana, Sayang? Kau sudah memikirkannya?” tanya Mama Tiara saat menghampiri Amanda yang baru saja membuka mata.
“Apa aku bisa menolak lagi?” ucapnya balik bertanya. Gadis itu duduk sembari menatap sang papa yang masih terpejam di brankar sana.
“Radit sudah setuju, Nak.”
Amanda bergumam pelan. Dia lantas bangkit kemudian berjalan menuju luar kamar. Ingin menghirup udara pagi untuk menjernihkan pikirannya barang sejenak saja.
Tidak lama memang. Gadis itu kini sudah bisa menerima takdir yang tertulis untuknya. Namun, baru saja tiba di ambang pintu rawatan sang papa suara keributan sudah menarik perhatiannya.
“Jangan sementang Bapak orang kaya dengan seenaknya menyuruh anak saya menikah dengan anak Bapak ya!!”
“Amanda itu kakaknya mendiang Dinda. Dia pasti bisa menjadi ibu yang baik.” Tuan Yuda berusaha menjelaskan.
“Terus bagaimana dengan Radit? Bapak enggak mikirin nasib dia juga??”
“Bu, tenang dulu. Jangan begini. Kita bisa bicarakan baik-baik,” kata Radit yang berusaha merengkuh pundak wanita paruh baya tersebut.
“Enggak, Radit. Kau selalu membantah ucapan ibu,” sergah ibunya dengan tatapan nyalang. Dengan lantang ia melanjutkan ucapannya lagi dan menoleh cepat pada Tuan Yuda. “Anak saya bisa mendapatkan istri yang jauh lebih baik dari si Amanda. Wanita itu sudahlah tua, keras kepala dan umurnya beda jauh dengan Radit. Masa’ anak saya menikah dengan tante-tante. Heh?”
“Jangan hina anak saya ya!!”
Tuan Yuda hendak mengeluarkan kata-kata murkanya. Namun, niat tadi luntur ketika melihat sang putri yang sudah mematung di ambang pintu sana.
“Amanda?”
Gadis itu menggeleng lemah sambil berusaha tersenyum. Dia masuk seolah tak mendengarkan ucapan tajam yang tadi ditujukan ibu Radit padanya.
“Lihat! Pakaiannya saja kekurangan bahan begini. Apa pantas menjadi ibu sambung untuk Ayra??”
Sungguh Amanda ingin sekali mengeluarkan kata-kata pedas untuk membalas tudingan sarkas tadi. Mulutnya sudah hampir terbuka, tetapi menutup kembali saat sebuah tangan kekar menyentuh pelan pundak kanannya.
“Bu, aku akan tetap menikahi Mbak Manda.” Ucapan barusan membuat Amanda menoleh pelan. Tepat di sampingnya Radit berdiri tegak sembari menurunkan tangan yang tadi sudah menyentuh pundaknya barusan. Gadis itu mengerjap pelan. Tak percaya dengan perkataan pria yang masih ia anggap sebagai adik iparnya tersebut.“Kau sudah tak menganggap ibu, Radit?” Ibunya menggeleng dengan sorot mata yang terlihat sendu. “Jauh-jauh ibu ke sini untuk membelamu. Ini yang kau lakukan?”“Bu.” Wanita itu melangkah mundur. Kemudian menatap Amanda, sang papa beserta mama tirinya dengan pandangan yang tak suka.“Kalian sudah benar-benar mencuci otak anak saya. Kalian jahat!!” Setelah mengatakan kalimat barusan dia pun melangkah pergi. Radit buru-buru pamit untuk mengejar sang ibu. Sementara Amanda yang tampak syok masih belum mengeluarkan suaranya.“Nak, sarapan dulu yuk. Mama tadi udah pesenin bubur ayam. Coba lihat di meja sofa sana.” Karena Amanda masi
Benar yang dikatakan oleh papanya. Cepat atau lambat Amanda bakalan menjadi istri Radit. Mau diundur berapa lama pun toh tetap pada akhirnya mereka akan menikah juga. Tak banyak yang harus dipersiapkan mengingat di rumah mewah milik Tuan Yuda suasana masih berkabung. Sore tadi pria paruh baya tersebut bernapas lega lantaran sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Jadilah malam ini semua sanak keluarga dikumpulkan untuk memberitahu berita penting yang akan berlangsung esok harinya.“Bagus itu, Yud. Kami dukung kalau Radit jadinya naik ranjang,” celetuk salah satu dari keluarga besar yang ada di ruang tengah rumah tersebut.“Iya. Ayra enggak akan kehilangan kasih sayang karena langsung diurus sama budenya.” Dan masih banyak lagi dukungan yang diterima oleh Tuan Yuda. Membuat papa Amanda menjadi semakin percaya diri untuk memantapkan rencana. Sementara dua orang calon mempelai pengantin tengah berdiskusi di taman belakang. Sengaja memilih te
“Kau mabuk ya?” Amanda melangkah mundur saat tubuh pria yang menjadi suaminya justru semakin bergerak maju. Beruntung tadi dia sempat mengunci pintu. Kalau tidak pastilah ada saja orang iseng yang masuk atau mengintip kamar mereka nanti. Apalagi di luar sana masih ada beberapa sanak saudara yang menginap di rumah ini.“Dinda.”“Aku Manda!!” Suara itu membuat Radit menggeleng lemah. Terlebih saat mengerjap pelan dan menemukan wajah yang tadi sempat ia lihat adalah mendiang istrinya.“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku tadi —”“Cepat ganti bajumu! Aku tidak suka bau itu,” ketus Amanda seraya menghalau tangannya agar Radit segera enyah dari hadapannya. Percayalah. Ada setitik rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Amanda terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri yang masih tak menyangka jika dia dan Radit sudah resmi menjadi pasangan suami istri.“Mbak?”Amanda buru-buru menghapus rasa kecewa di dalam hatinya lalu berkata, “Kau
CIIT!!Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka."Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit.""Baik, Bu."Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu."Maaf ya, Mbak.""Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya."Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali
Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?” Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya. Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring ju
“Manda!” Suara barusan tak dipedulikan oleh sang pemilik nama. Dia terus memacu langkahnya hingga terhenti di ambang pintu kamar. Terhambat oleh tubuh tegap tinggi Radit yang sudah berada di sana.“Enggak usah menjelaskan. Aku tahu!” ketus Amanda yang membuat wajah tegang suaminya sirna dalam sekejap.“Makasih ya. Maaf karena kita harus tinggal sedikit lebih lama di sini. Ibu cuma tinggal sendiri. Aku enggak mau dia kenapa-napa lantaran banyak pikiran nantinya,” jelas Radit panjang lebar. Dia melirik handuk yang tersampir di bahu kanan Amanda. “Aku antar yuk. Kau pasti belum terbiasa mandi dengan kondisi begini.” Ucapan Radit ada benarnya. Amanda kembali melangkah hingga sempat berpapasan dengan sang mertua yang tengah menghidangkan makan malam.“Radit itu anakku. Dia pasti akan memilih ibunya.”“Bu,” tegur Radit yang merasa tak enak hati.“Sudahlah. Cepat temani istri manjamu. Ibu sudah lapar.” Bu Ningsih menghalaukan tangannya ke udara agar Radit tak memb
Perempuan bernama Arini itu menatap lekat manik mata kecokelatan milik Amanda. Berusaha meyakinkan diri kalau rumor yang ia dengar tidaklah benar. Sayangnya anggukan dari sang lawan bicara lekas memusnahkan harapan yang sempat terjalin.“Iya. Aku istrinya,” gumam Amanda kemudian. Gurat kecewa yang tergambar dari wajah Arini sangat kelihatan jelas sebenarnya. “Kenapa?”“Enggak.” Suasana menjadi canggung seketika. Beruntung beberapa detik kemudian Radit muncul bersama Bu Ningsih. Arini pun segera memasang tampang ceria seperti semula.“Ke sini kok enggak ngomong dulu sih, Rin? Tahu gitu ‘kan bude nyiapin makanan. Yang ada cuma teh aja,” ucap Bu Ningsih sambil tersenyum.Arini menggeleng pelan. Tak pelak menyeruput teh yang disajikan untuknya. “Aku enggak lama kok, Bude. Niatnya mampir untuk ngasih oleh-oleh aja. Habisnya kemarin bude ke Medan ‘kan?”“Iya. Ibu hadirin acara pernikahanku dengan Manda.” Kali ini Radit yang bersuara. Tak pedulikan lirikan sebal dari ibunya.“A
“Mau berapa kali sih harus dibilangin, hah?! Sudah jam berapa ini?” Suara lengkingan barusan berhasil merenggut akal liar Radit. Pria itu buru-buru menyudahi mandinya. Pun begitu juga dengan Amanda yang sekarang sedang berganti pakaian.“Sudah?” tanya Radit dengan sedikit berbisik. Istrinya mengangguk pelan dengan wajah yang tampak menahan kesal. Kini keduanya kompak ke luar dari kamar mandi dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bu Ningsih. Wanita paruh baya itu memandangi mereka dengan heran.“Kalian … mandi bersama?”“Iya, Bu. Kenapa sih? Namanya juga suami istri. Apa ada yang salah?” ucap Radit balik bertanya. Ibunya menggeleng cepat. Radit lantas lekas menarik lengan Amanda untuk segera bergegas ke kamar. Tahu bahwa mereka tak mungkin diomeli lantaran waktu mendesak menjelang Maghrib.Jangan merasa bersalah, Radit. Dia ‘kan sudah jadi istrimu. Sah-sah saja kok. Batinnya kembali bersuara. Radit mengembuskan napas kasar l