Share

3. KAU TIDAK MALU??

“Bu, aku akan tetap menikahi Mbak Manda.”

              Ucapan barusan membuat Amanda menoleh pelan. Tepat di sampingnya Radit berdiri tegak sembari menurunkan tangan yang tadi sudah menyentuh pundaknya barusan. Gadis itu mengerjap pelan. Tak percaya dengan perkataan pria yang masih ia anggap sebagai adik iparnya tersebut.

“Kau sudah tak menganggap ibu, Radit?” Ibunya menggeleng dengan sorot mata yang terlihat sendu. “Jauh-jauh ibu ke sini untuk membelamu. Ini yang kau lakukan?”

“Bu.”

              Wanita itu melangkah mundur. Kemudian menatap Amanda, sang papa beserta mama tirinya dengan pandangan yang tak suka.

“Kalian sudah benar-benar mencuci otak anak saya. Kalian jahat!!”

              Setelah mengatakan kalimat barusan dia pun melangkah pergi. Radit buru-buru pamit untuk mengejar sang ibu. Sementara Amanda yang tampak syok masih belum mengeluarkan suaranya.

“Nak, sarapan dulu yuk. Mama tadi udah pesenin bubur ayam. Coba lihat di meja sofa sana.”

              Karena Amanda masih bergeming, papanya memberi kode pada Mama Tiara untuk mengajak putrinya itu melangkah menuju tempat yang dimaksud.

“Pa.”

“Papa sudah sarapan. Papa juga baik-baik saja. Jangan cemaskan papa. Pergilah,” kata Tuan Yuda sambil tersenyum. “Jangan pikirkan apa-apa ya. Kau adalah putri papa. Jadi, tidak ada yang berhak menilaimu. Siapapun itu.”

              Ah. Bagaimana bisa Amanda mengabaikannya? Terlebih ucapan menyayat hati tadi berasal dari ibu Radit. Seorang wanita yang bakalan menjadi mertuanya nanti. Jelas sangat menganggu pikirannya saat ini.

              Makanan yang ditelan pun tidak berasa di lidah. Amanda makan dalam diam sembari menatap layar televisi yang entah menayangkan apa. Atensinya masih saja belum beralih dari kalimat buruk yang diungkapkan oleh sang calon mertua.

“Ibu memang orang yang keras,” ucap Radit yang kini duduk di sampingnya.

              Amanda masih belum merespon kata-kata barusan. Dia lebih memilih memandangi para petugas medis yang sedang berganti shift di nurse station sana. Sengaja Radit mengajaknya bicara untuk menjelaskan kondisi mengejutkan tadi pagi.

“Kau tidak malu?”

              Itulah yang ditanyakan Amanda pertama kali setelah Radit menjelaskan panjang lebar tentang sikap ibunya. Dia tersenyum miring pada pria yang sedang menautkan alis tersebut.

“Malu?” Radit mengulang apa yang diutarakan gadis itu. “Malu kenapa, Mbak?”

“Aku sudah tua. Tahun ini masuk 35 tahun, Radit. Sementara kau? Kurasa kita hampir sepuluh tahun bedanya.” Amanda berucap miris. “Ibumu benar. Kau pasti akan malu karena punya istri seperti tante-tante.”

“Benarkah? Iya juga ya.”

              Hati Amanda langsung mencelos mendengarnya. Tak menyangka jika yang ke luar dari mulut Radit malah perkataan begitu.

              Tadinya ia pikir pria itu akan menghiburnya dengan ucapan manis atau bahkan mengalihkan pada pembicaraan yang lebih berguna barangkali. Namun, apa yang tadi dikatakannya barusan?

              Runtuh sudah kepercayaan diri yang sebelumnya tidak pernah pudar dari seorang Amanda Belani. Di London sana banyak wanita yang mengejar karir sebelum menikah. Jadi dia tak menyadari kalau ternyata di Indonesia akan menghadapi fenomena seperti ini.

              Hingga satu menit kemudian terdengar gelak tawa dari pria di sampingnya. Membuat model katalog majalah fashion tersebut melebarkan kelopak matanya.

“Kenapa kau menerima perjodohan sialan ini? Kau hanya ingin mempermainkan papa ya?” tudingnya dengan amarah yang sudah hampir memuncak.

Radit menggeleng cepat lalu kemudian tersenyum. “Enggak, Mbak. Ternyata Dinda benar ya. Mbak Manda memang sangat pemarah. Aku heran saja kenapa Mbak bisa jadi model ya? Padahal pasti banyak runtutan pekerjaan yang sangat menguras emosi.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Iya iya.” Radit berdehem sejenak lalu melenyapkan sisa tawa yang tadi sempat membuat lawan bicaranya salah paham. “Sebelumnya aku mau bertanya. Apa di dalam syarat pernikahan umur menjadi patokan?”

Kakak kandung mendiang istrinya itu hanya mengendikkan bahu. “Mana kutahu. Aku belum pernah menikah.”

“Memang sih, tapi Mbak ‘kan bisa belajar dari pernikahan papa dan mama Tiara. Mereka bisa langgeng dan awet buktinya.”

“Kita berbeda,” sela Amanda cepat. “Di mana-mana kalau usia suami lebih tua sih wajar. Lah kita? Sudahlah, Radit.”

“Aku enggak peduli. Yang menikah aku dan Mbak Manda. Jadi kita yang menjalaninya. Bukan ibu ataupun yang lain.”

              Percakapan mereka hanya berhenti sampai di sana. Radit bisa menangkap bahwa wanita yang akan menjadi pengganti istrinya itu tengah dirundung krisis kepercayaan diri. Wajah yang semula mendongak kini lebih banyak menunduk.

“Bang, tunggu!”

              Radit pun menghentikan langkah saat seorang petugas kebersihan berlari kecil menghampirinya. Amanda yang sudah berjalan terlebih dahulu juga melakukan hal serupa. Mengamati apa yang hendak diserahkan pria bertubuh kurus tadi.

“Ada apa ya?” tanya Radit kemudian.

“Ini, Bang. Saya tadi lihat Kakak si Abang ninggalin hapenya.”

              Sontak Amanda merogoh tas selempangnya. Dia pun menepuk jidat menyesali kecerobohan barusan.

“Makasih ya,” gumam Radit sembari menerima benda pipih milik Amanda tadi.

“Sama-sama.”

“See?” Amanda menyambar ponsel yang diserahkan Radit dengan cepat. “Ini baru satu orang yang bilang kalau aku adalah kakakmu. Belum lagi yang lain.”

Radit membalas ucapan tadi dengan anggukan santai. “Memang iya ‘kan? Mbak memang masih jadi kakak aku sekarang. Salahnya di mana coba?”

“Susah memang bicara denganmu. Kau masih tidak mengerti juga,” ketus Amanda.

              Gadis itu kesal bukan main karena Radit masih tak menanggapi perkataannya dengan serius. Dia melangkah cepat hendak masuk ke ruangan sang papa. Namun, sebelum mengayunkan handle pintu tangannya sudah dicekal dengan gerakan kilat.

“Sekarang kita masih sebagai adik dan kakak, tapi nanti akan jadi sepasang suami istri. Apa aku salah?” gumam Radit yang sudah tersenyum manis. Dia membalas tatapan sengit gadis berusia matang itu dengan mata teduhnya. “Jangan marah-marah terus, Mbak. Nanti cantiknya cepat pudar.”

              Apa perkataan barusan berhasil membuat Amanda meleleh? Jelas tidak. Dia lantas berdecak pelan lalu bergegas mengayunkan langkah menuju ruang rawatan papanya.

“Akhirnya kalian datang juga. Dari mana saja?” tanya Tuan Yuda yang ternyata sudah menanti kehadiran keduanya. “Kalian duduk sini. Kita harus bicarakan tentang pernikahan.”

“Secepat ini?”

“Iya,” jawab papanya dengan mantap. “Radit sudah berbicara dengan ibunya. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang kalian.”

“Tapi, Pa. Aku bahkan belum —”

“Apalagi, Manda?” potong papanya dengan tatapan menuntut. “Papa sudah dapat kabar dari Tisa. Dia bilang kalau kau sudah ambil cuti sampai tiga bulan ke depan.”

Iya, tapi itu untuk ngurus pertunanganku dengan Andre awalnya. Amanda jelas hanya bisa mengatakannya dalam hati. Terlebih saat rencananya sudah berubah drastis seperti sekarang.

“Mama sudah kontak EO untuk persiapan pernikahan kalian,” lapor Mama Tiara yang baru saja muncul dari ambang pintu.

“Semua sudah beres. Lusa kalian akan sah menjadi pasangan suami istri.”

“APA??”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status