“Bu, aku akan tetap menikahi Mbak Manda.”
Ucapan barusan membuat Amanda menoleh pelan. Tepat di sampingnya Radit berdiri tegak sembari menurunkan tangan yang tadi sudah menyentuh pundaknya barusan. Gadis itu mengerjap pelan. Tak percaya dengan perkataan pria yang masih ia anggap sebagai adik iparnya tersebut.
“Kau sudah tak menganggap ibu, Radit?” Ibunya menggeleng dengan sorot mata yang terlihat sendu. “Jauh-jauh ibu ke sini untuk membelamu. Ini yang kau lakukan?”
“Bu.”
Wanita itu melangkah mundur. Kemudian menatap Amanda, sang papa beserta mama tirinya dengan pandangan yang tak suka.
“Kalian sudah benar-benar mencuci otak anak saya. Kalian jahat!!”
Setelah mengatakan kalimat barusan dia pun melangkah pergi. Radit buru-buru pamit untuk mengejar sang ibu. Sementara Amanda yang tampak syok masih belum mengeluarkan suaranya.
“Nak, sarapan dulu yuk. Mama tadi udah pesenin bubur ayam. Coba lihat di meja sofa sana.”
Karena Amanda masih bergeming, papanya memberi kode pada Mama Tiara untuk mengajak putrinya itu melangkah menuju tempat yang dimaksud.
“Pa.”
“Papa sudah sarapan. Papa juga baik-baik saja. Jangan cemaskan papa. Pergilah,” kata Tuan Yuda sambil tersenyum. “Jangan pikirkan apa-apa ya. Kau adalah putri papa. Jadi, tidak ada yang berhak menilaimu. Siapapun itu.”
Ah. Bagaimana bisa Amanda mengabaikannya? Terlebih ucapan menyayat hati tadi berasal dari ibu Radit. Seorang wanita yang bakalan menjadi mertuanya nanti. Jelas sangat menganggu pikirannya saat ini.
Makanan yang ditelan pun tidak berasa di lidah. Amanda makan dalam diam sembari menatap layar televisi yang entah menayangkan apa. Atensinya masih saja belum beralih dari kalimat buruk yang diungkapkan oleh sang calon mertua.
“Ibu memang orang yang keras,” ucap Radit yang kini duduk di sampingnya.
Amanda masih belum merespon kata-kata barusan. Dia lebih memilih memandangi para petugas medis yang sedang berganti shift di nurse station sana. Sengaja Radit mengajaknya bicara untuk menjelaskan kondisi mengejutkan tadi pagi.
“Kau tidak malu?”
Itulah yang ditanyakan Amanda pertama kali setelah Radit menjelaskan panjang lebar tentang sikap ibunya. Dia tersenyum miring pada pria yang sedang menautkan alis tersebut.
“Malu?” Radit mengulang apa yang diutarakan gadis itu. “Malu kenapa, Mbak?”
“Aku sudah tua. Tahun ini masuk 35 tahun, Radit. Sementara kau? Kurasa kita hampir sepuluh tahun bedanya.” Amanda berucap miris. “Ibumu benar. Kau pasti akan malu karena punya istri seperti tante-tante.”
“Benarkah? Iya juga ya.”
Hati Amanda langsung mencelos mendengarnya. Tak menyangka jika yang ke luar dari mulut Radit malah perkataan begitu.
Tadinya ia pikir pria itu akan menghiburnya dengan ucapan manis atau bahkan mengalihkan pada pembicaraan yang lebih berguna barangkali. Namun, apa yang tadi dikatakannya barusan?
Runtuh sudah kepercayaan diri yang sebelumnya tidak pernah pudar dari seorang Amanda Belani. Di London sana banyak wanita yang mengejar karir sebelum menikah. Jadi dia tak menyadari kalau ternyata di Indonesia akan menghadapi fenomena seperti ini.
Hingga satu menit kemudian terdengar gelak tawa dari pria di sampingnya. Membuat model katalog majalah fashion tersebut melebarkan kelopak matanya.
“Kenapa kau menerima perjodohan sialan ini? Kau hanya ingin mempermainkan papa ya?” tudingnya dengan amarah yang sudah hampir memuncak.
Radit menggeleng cepat lalu kemudian tersenyum. “Enggak, Mbak. Ternyata Dinda benar ya. Mbak Manda memang sangat pemarah. Aku heran saja kenapa Mbak bisa jadi model ya? Padahal pasti banyak runtutan pekerjaan yang sangat menguras emosi.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Iya iya.” Radit berdehem sejenak lalu melenyapkan sisa tawa yang tadi sempat membuat lawan bicaranya salah paham. “Sebelumnya aku mau bertanya. Apa di dalam syarat pernikahan umur menjadi patokan?”
Kakak kandung mendiang istrinya itu hanya mengendikkan bahu. “Mana kutahu. Aku belum pernah menikah.”
“Memang sih, tapi Mbak ‘kan bisa belajar dari pernikahan papa dan mama Tiara. Mereka bisa langgeng dan awet buktinya.”
“Kita berbeda,” sela Amanda cepat. “Di mana-mana kalau usia suami lebih tua sih wajar. Lah kita? Sudahlah, Radit.”
“Aku enggak peduli. Yang menikah aku dan Mbak Manda. Jadi kita yang menjalaninya. Bukan ibu ataupun yang lain.”
Percakapan mereka hanya berhenti sampai di sana. Radit bisa menangkap bahwa wanita yang akan menjadi pengganti istrinya itu tengah dirundung krisis kepercayaan diri. Wajah yang semula mendongak kini lebih banyak menunduk.
“Bang, tunggu!”
Radit pun menghentikan langkah saat seorang petugas kebersihan berlari kecil menghampirinya. Amanda yang sudah berjalan terlebih dahulu juga melakukan hal serupa. Mengamati apa yang hendak diserahkan pria bertubuh kurus tadi.
“Ada apa ya?” tanya Radit kemudian.
“Ini, Bang. Saya tadi lihat Kakak si Abang ninggalin hapenya.”
Sontak Amanda merogoh tas selempangnya. Dia pun menepuk jidat menyesali kecerobohan barusan.
“Makasih ya,” gumam Radit sembari menerima benda pipih milik Amanda tadi.
“Sama-sama.”
“See?” Amanda menyambar ponsel yang diserahkan Radit dengan cepat. “Ini baru satu orang yang bilang kalau aku adalah kakakmu. Belum lagi yang lain.”
Radit membalas ucapan tadi dengan anggukan santai. “Memang iya ‘kan? Mbak memang masih jadi kakak aku sekarang. Salahnya di mana coba?”
“Susah memang bicara denganmu. Kau masih tidak mengerti juga,” ketus Amanda.
Gadis itu kesal bukan main karena Radit masih tak menanggapi perkataannya dengan serius. Dia melangkah cepat hendak masuk ke ruangan sang papa. Namun, sebelum mengayunkan handle pintu tangannya sudah dicekal dengan gerakan kilat.
“Sekarang kita masih sebagai adik dan kakak, tapi nanti akan jadi sepasang suami istri. Apa aku salah?” gumam Radit yang sudah tersenyum manis. Dia membalas tatapan sengit gadis berusia matang itu dengan mata teduhnya. “Jangan marah-marah terus, Mbak. Nanti cantiknya cepat pudar.”
Apa perkataan barusan berhasil membuat Amanda meleleh? Jelas tidak. Dia lantas berdecak pelan lalu bergegas mengayunkan langkah menuju ruang rawatan papanya.
“Akhirnya kalian datang juga. Dari mana saja?” tanya Tuan Yuda yang ternyata sudah menanti kehadiran keduanya. “Kalian duduk sini. Kita harus bicarakan tentang pernikahan.”
“Secepat ini?”
“Iya,” jawab papanya dengan mantap. “Radit sudah berbicara dengan ibunya. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang kalian.”
“Tapi, Pa. Aku bahkan belum —”
“Apalagi, Manda?” potong papanya dengan tatapan menuntut. “Papa sudah dapat kabar dari Tisa. Dia bilang kalau kau sudah ambil cuti sampai tiga bulan ke depan.”
Iya, tapi itu untuk ngurus pertunanganku dengan Andre awalnya. Amanda jelas hanya bisa mengatakannya dalam hati. Terlebih saat rencananya sudah berubah drastis seperti sekarang.
“Mama sudah kontak EO untuk persiapan pernikahan kalian,” lapor Mama Tiara yang baru saja muncul dari ambang pintu.
“Semua sudah beres. Lusa kalian akan sah menjadi pasangan suami istri.”
“APA??”
Benar yang dikatakan oleh papanya. Cepat atau lambat Amanda bakalan menjadi istri Radit. Mau diundur berapa lama pun toh tetap pada akhirnya mereka akan menikah juga. Tak banyak yang harus dipersiapkan mengingat di rumah mewah milik Tuan Yuda suasana masih berkabung. Sore tadi pria paruh baya tersebut bernapas lega lantaran sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Jadilah malam ini semua sanak keluarga dikumpulkan untuk memberitahu berita penting yang akan berlangsung esok harinya.“Bagus itu, Yud. Kami dukung kalau Radit jadinya naik ranjang,” celetuk salah satu dari keluarga besar yang ada di ruang tengah rumah tersebut.“Iya. Ayra enggak akan kehilangan kasih sayang karena langsung diurus sama budenya.” Dan masih banyak lagi dukungan yang diterima oleh Tuan Yuda. Membuat papa Amanda menjadi semakin percaya diri untuk memantapkan rencana. Sementara dua orang calon mempelai pengantin tengah berdiskusi di taman belakang. Sengaja memilih te
“Kau mabuk ya?” Amanda melangkah mundur saat tubuh pria yang menjadi suaminya justru semakin bergerak maju. Beruntung tadi dia sempat mengunci pintu. Kalau tidak pastilah ada saja orang iseng yang masuk atau mengintip kamar mereka nanti. Apalagi di luar sana masih ada beberapa sanak saudara yang menginap di rumah ini.“Dinda.”“Aku Manda!!” Suara itu membuat Radit menggeleng lemah. Terlebih saat mengerjap pelan dan menemukan wajah yang tadi sempat ia lihat adalah mendiang istrinya.“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku tadi —”“Cepat ganti bajumu! Aku tidak suka bau itu,” ketus Amanda seraya menghalau tangannya agar Radit segera enyah dari hadapannya. Percayalah. Ada setitik rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Amanda terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri yang masih tak menyangka jika dia dan Radit sudah resmi menjadi pasangan suami istri.“Mbak?”Amanda buru-buru menghapus rasa kecewa di dalam hatinya lalu berkata, “Kau
CIIT!!Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka."Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit.""Baik, Bu."Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu."Maaf ya, Mbak.""Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya."Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali
Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?” Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya. Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring ju
“Manda!” Suara barusan tak dipedulikan oleh sang pemilik nama. Dia terus memacu langkahnya hingga terhenti di ambang pintu kamar. Terhambat oleh tubuh tegap tinggi Radit yang sudah berada di sana.“Enggak usah menjelaskan. Aku tahu!” ketus Amanda yang membuat wajah tegang suaminya sirna dalam sekejap.“Makasih ya. Maaf karena kita harus tinggal sedikit lebih lama di sini. Ibu cuma tinggal sendiri. Aku enggak mau dia kenapa-napa lantaran banyak pikiran nantinya,” jelas Radit panjang lebar. Dia melirik handuk yang tersampir di bahu kanan Amanda. “Aku antar yuk. Kau pasti belum terbiasa mandi dengan kondisi begini.” Ucapan Radit ada benarnya. Amanda kembali melangkah hingga sempat berpapasan dengan sang mertua yang tengah menghidangkan makan malam.“Radit itu anakku. Dia pasti akan memilih ibunya.”“Bu,” tegur Radit yang merasa tak enak hati.“Sudahlah. Cepat temani istri manjamu. Ibu sudah lapar.” Bu Ningsih menghalaukan tangannya ke udara agar Radit tak memb
Perempuan bernama Arini itu menatap lekat manik mata kecokelatan milik Amanda. Berusaha meyakinkan diri kalau rumor yang ia dengar tidaklah benar. Sayangnya anggukan dari sang lawan bicara lekas memusnahkan harapan yang sempat terjalin.“Iya. Aku istrinya,” gumam Amanda kemudian. Gurat kecewa yang tergambar dari wajah Arini sangat kelihatan jelas sebenarnya. “Kenapa?”“Enggak.” Suasana menjadi canggung seketika. Beruntung beberapa detik kemudian Radit muncul bersama Bu Ningsih. Arini pun segera memasang tampang ceria seperti semula.“Ke sini kok enggak ngomong dulu sih, Rin? Tahu gitu ‘kan bude nyiapin makanan. Yang ada cuma teh aja,” ucap Bu Ningsih sambil tersenyum.Arini menggeleng pelan. Tak pelak menyeruput teh yang disajikan untuknya. “Aku enggak lama kok, Bude. Niatnya mampir untuk ngasih oleh-oleh aja. Habisnya kemarin bude ke Medan ‘kan?”“Iya. Ibu hadirin acara pernikahanku dengan Manda.” Kali ini Radit yang bersuara. Tak pedulikan lirikan sebal dari ibunya.“A
“Mau berapa kali sih harus dibilangin, hah?! Sudah jam berapa ini?” Suara lengkingan barusan berhasil merenggut akal liar Radit. Pria itu buru-buru menyudahi mandinya. Pun begitu juga dengan Amanda yang sekarang sedang berganti pakaian.“Sudah?” tanya Radit dengan sedikit berbisik. Istrinya mengangguk pelan dengan wajah yang tampak menahan kesal. Kini keduanya kompak ke luar dari kamar mandi dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bu Ningsih. Wanita paruh baya itu memandangi mereka dengan heran.“Kalian … mandi bersama?”“Iya, Bu. Kenapa sih? Namanya juga suami istri. Apa ada yang salah?” ucap Radit balik bertanya. Ibunya menggeleng cepat. Radit lantas lekas menarik lengan Amanda untuk segera bergegas ke kamar. Tahu bahwa mereka tak mungkin diomeli lantaran waktu mendesak menjelang Maghrib.Jangan merasa bersalah, Radit. Dia ‘kan sudah jadi istrimu. Sah-sah saja kok. Batinnya kembali bersuara. Radit mengembuskan napas kasar l
[“Iya, Nak. Kami bahkan sudah di rumah sekarang.”] Sahutan di seberang sana membuat Radit mengembuskan napas lega. Bagaimana tidak. Luka kehilangan karena kepergian mendiang Dinda masih sangat menyesakkan dada. Apalagi mendengar kabar buruk tentang putrinya sendiri. Dunianya bisa saja runtuh seketika.[“Maaf ya, Nak. Papa saja yang panik makanya langsung mengabari kalian. Ternyata Ayra hanya demam karena efek imunisasi tadi sore.”] Terdengar suara omelan setelahnya. Tentu saja Mama Tiara yang memprotes sikap ceroboh pria paru baya tadi. Kini Amanda dan Radit saling menoleh tanpa suara. Sama-sama menyimpan perasaan tenang usai mendapatkan pencerahan dari pasangan suami istri tersebut.[“Syukurlah kalau Ayra baik-baik saja. Tolong jagain ya, Ma, Pa. Aku sama Manda lagi dalam perjalanan pulang.”] Radit pun menyerahkan ponsel yang ia genggam barusan pada sang empu. Kemudian kembali fokus pada kemudinya lagi.“Ya udah ya. Aku tutup teleponnya dulu,