Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
“Menikahlah dengan Radit.”“A-PA??” Amanda mendongak. Kedua kelopak matanya melebar sempurna dengan wajah yang masih terlihat murung. Tak menyangka akan mendengar kalimat yang mengejutkan barusan dari sang papa.“Kau tidak salah dengar. Papa ingin kau menikah dengan Radit. Menjadi istri penggantinya sekaligus ibu sambung untuk Ayra juga.”“NO!!” tolak Amanda sarkas. Kali ini dia berujar keras demi menentang permintaan yang menurutnya sungguh amat gila tersebut. “Aku memang mau nikah, Pa. Tentu saja orangnya bukan dengan Radit, tetapi Andre. Dia bahkan udah lamar aku di London.” Dengan penuh percaya diri Amanda mengacungkan tangan kirinya. Lebih tepatnya pada jari manis yang sudah tersemat cincin permata biru pemberian dari sang kekasih tercinta. Namun, papanya tetap saja bergeming. Seolah bukti barusan sama sekali tidak berarti apapun.“Papa enggak pernah minta apapun darimu. Kali ini tolong menurutlah. Hanya kau yang bisa papa andalkan.”Amanda berdecak pe
Jantung Amanda berdentum hebat saat melihat sang papa yang sudah terkapar di atas lantai. Seketika itu juga dia terduduk lemas tak jauh dari sana. Ruangan IGD menjadi saksi dirinya yang sibuk ketar-ketir menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Dia sampai tak menyadari jika sedari tadi seorang pria menatapnya dengan tajam. Barulah dirinya tahu ketika mereka berdua sama-sama berjalan menuju pintu kaca yang sudah terbuka lebar itu.“Keluarga Pak Yuda?”“Iya. Saya anaknya, Dok,” sahut Amanda yang hendak masuk ke dalam. Namun, lengannya ditarik kasar dari arah belakang. Membuat model cantik tersebut mengerutkan dahi.“Biar aku saja.” Amanda menautkan kedua alisnya saat pria itu memotong langkahnya untuk masuk. Alhasil dia pun mengalah dengan tetap menunggu di luar bersama Mama Tiara.“Radit itu sangat menyayangi papa.” Wanita yang ada di sampingnya tersebut mendesah panjang lalu kemudian tersenyum tipis. “Sejak dia kecil, papa dan almarhumah mama kalian sudah me
“Bu, aku akan tetap menikahi Mbak Manda.” Ucapan barusan membuat Amanda menoleh pelan. Tepat di sampingnya Radit berdiri tegak sembari menurunkan tangan yang tadi sudah menyentuh pundaknya barusan. Gadis itu mengerjap pelan. Tak percaya dengan perkataan pria yang masih ia anggap sebagai adik iparnya tersebut.“Kau sudah tak menganggap ibu, Radit?” Ibunya menggeleng dengan sorot mata yang terlihat sendu. “Jauh-jauh ibu ke sini untuk membelamu. Ini yang kau lakukan?”“Bu.” Wanita itu melangkah mundur. Kemudian menatap Amanda, sang papa beserta mama tirinya dengan pandangan yang tak suka.“Kalian sudah benar-benar mencuci otak anak saya. Kalian jahat!!” Setelah mengatakan kalimat barusan dia pun melangkah pergi. Radit buru-buru pamit untuk mengejar sang ibu. Sementara Amanda yang tampak syok masih belum mengeluarkan suaranya.“Nak, sarapan dulu yuk. Mama tadi udah pesenin bubur ayam. Coba lihat di meja sofa sana.” Karena Amanda masi
Benar yang dikatakan oleh papanya. Cepat atau lambat Amanda bakalan menjadi istri Radit. Mau diundur berapa lama pun toh tetap pada akhirnya mereka akan menikah juga. Tak banyak yang harus dipersiapkan mengingat di rumah mewah milik Tuan Yuda suasana masih berkabung. Sore tadi pria paruh baya tersebut bernapas lega lantaran sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Jadilah malam ini semua sanak keluarga dikumpulkan untuk memberitahu berita penting yang akan berlangsung esok harinya.“Bagus itu, Yud. Kami dukung kalau Radit jadinya naik ranjang,” celetuk salah satu dari keluarga besar yang ada di ruang tengah rumah tersebut.“Iya. Ayra enggak akan kehilangan kasih sayang karena langsung diurus sama budenya.” Dan masih banyak lagi dukungan yang diterima oleh Tuan Yuda. Membuat papa Amanda menjadi semakin percaya diri untuk memantapkan rencana. Sementara dua orang calon mempelai pengantin tengah berdiskusi di taman belakang. Sengaja memilih te
“Kau mabuk ya?” Amanda melangkah mundur saat tubuh pria yang menjadi suaminya justru semakin bergerak maju. Beruntung tadi dia sempat mengunci pintu. Kalau tidak pastilah ada saja orang iseng yang masuk atau mengintip kamar mereka nanti. Apalagi di luar sana masih ada beberapa sanak saudara yang menginap di rumah ini.“Dinda.”“Aku Manda!!” Suara itu membuat Radit menggeleng lemah. Terlebih saat mengerjap pelan dan menemukan wajah yang tadi sempat ia lihat adalah mendiang istrinya.“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku tadi —”“Cepat ganti bajumu! Aku tidak suka bau itu,” ketus Amanda seraya menghalau tangannya agar Radit segera enyah dari hadapannya. Percayalah. Ada setitik rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Amanda terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri yang masih tak menyangka jika dia dan Radit sudah resmi menjadi pasangan suami istri.“Mbak?”Amanda buru-buru menghapus rasa kecewa di dalam hatinya lalu berkata, “Kau
CIIT!!Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka."Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit.""Baik, Bu."Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu."Maaf ya, Mbak.""Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya."Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali
Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?” Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya. Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring ju