MENIKAHI SUAMI WARISAN

“Menikahlah dengan Radit.”

“A-PA??”

              Amanda mendongak. Kedua kelopak matanya melebar sempurna dengan wajah yang masih terlihat murung. Tak menyangka akan mendengar kalimat yang mengejutkan barusan dari sang papa.

“Kau tidak salah dengar. Papa ingin kau menikah dengan Radit. Menjadi istri penggantinya sekaligus ibu sambung untuk Ayra juga.”

“NO!!” tolak Amanda sarkas. Kali ini dia berujar keras demi menentang permintaan yang menurutnya sungguh amat gila tersebut. “Aku memang mau nikah, Pa. Tentu saja orangnya bukan dengan Radit, tetapi Andre. Dia bahkan udah lamar aku di London.”

              Dengan penuh percaya diri Amanda mengacungkan tangan kirinya. Lebih tepatnya pada jari manis yang sudah tersemat cincin permata biru pemberian dari sang kekasih tercinta. Namun, papanya tetap saja bergeming. Seolah bukti barusan sama sekali tidak berarti apapun.

“Papa enggak pernah minta apapun darimu. Kali ini tolong menurutlah. Hanya kau yang bisa papa andalkan.”

Amanda berdecak pelan. “Aku cintanya sama Andre, Pa. Aku cuma mau menikah dengan dia!!”

“Ayra butuh kasih sayang seorang ibu. Hanya kau yang bisa memberikannya. Papa enggak rela kalau sampai Radit menikah dengan perempuan lain. Kau ini kakak kandung mendiang Dinda, jadi sudah sepantasnya  menggantikan posisi adikmu. Jangan egois, Manda!”

“Egois Papa bilang??” sentak Amanda sambil bersungut-sungut. “Terus bagaimana denganku, Pa? Masa depanku yang jadi taruhannya. Ini enggak benar. Radit itu masih —”

“Mbak Manda, Papa.”

              Suara barusan memotong luapan emosi Amanda. Sementara papanya menghela napas pelan sambil tersenyum getir.

“Akhirnya kau datang juga, Dit.”

“Maaf, Pa. Tadi aku nemenin Ayra yang masih rewel,” ucap pria bernama Radit tersebut.

“Ya sudah. Kalian silakan bicara. Papa naik ke kamar dulu.”

Amanda mendengkus pelan. Mengatur pernapasan sejenak. Matanya kemudian memperhatikan penampilan pria itu dari kepala hingga ujung kaki. Sama sekali tak pernah terbesit di hatinya untuk menjadi istri dari seorang Radit.

“Papa nyuruh kita nikah. Kau pasti akan nolak juga ‘kan sama kayak mbak? Jadi ayo —”

“Aku setuju.”

“Hei??” Amanda terbahak sambil menggeleng tak percaya. “Kau sadar dengan siapa kau bicara, hah??”

Radit mengangguk singkat. Membuat gadis di hadapannya sulit untuk berkata-kata lagi.

“Aku tahu. Mbak Manda adalah kakak iparku, tapi dulu waktu Dinda jadi istriku. Sekarang … udah enggak ada. Orang yang meninggal tidak mungkin hidup kembali ‘kan?” pungkas Radit kemudian. “Yang ada di pikiranku hanya Ayra. Aku harap Mbak Manda juga mau mengerti.”

“Semudah itu kau mengatakannya??”

“Iya. Dinda juga enggak akan marah karena posisinya digantikan oleh Mbak.”

“Orang gila!” desis Amanda tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

              Alih-alih menanggapi umpatan tersebut, Radit malah bangkit berdiri sambil menampakkan senyuman tipisnya. “Sepertinya enggak ada yang harus diobrolin lagi, Mbak. Aku anggap Mbak setuju. Semua ini demi Ayra saja.”

              Jelas Amanda merasa tertohok karena ternyata Radit yang sama sekali tak terlihat keberatan dengan perjodohan mendadak tersebut. Sekaligus tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala mantan adik iparnya itu.

              Malam ini merupakan terakhir kalinya di mana kerabat dan para tetangga menghadiri acara tujuh harian mendiang sang adik. Amanda yang sedari tadi diam terusik dengan suara lirih yang sampai ke gendang telinganya.

“Si Radit suruh naik ranjang aja. Mumpung si Manda udah balik dari luar negeri juga. Kasihan anaknya biar ada yang ngurusin.”

“Iya ya. Jangan-jangan Manda jodohnya terhalang karena diduluin sama mendiang Dinda ya?”

“Makanya jangan mau dilangkahin.”

              Masih banyak lagi percakapan yang membuat telinganya panas. Gadis bersurai sebahu itu memilih berjalan menuju lantai dua. Berharap bisa menenangkan pikirannya yang sedang kalut.

              Hampir saja Amanda menyemburkan minumannya lantaran terkejut dengan kehadiran papa dari arah samping kanan. Dia pun mendengkus pelan lalu menyoroti tatapan tak biasa dari pria itu. Kedua alisnya bertaut saat melirik seorang wanita yang baru saja bergabung dengan mereka.

“Sayang,” panggil wanita itu pada Amanda dengan suara pelan. “Radit adalah pria yang baik. Kami mengusulkan pernikahan ini demi kebaikanmu dan dia juga. Terlebih Ayra, Nak. Dia tentu masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Hanya kau orang yang paling tepat.”

“Oh ya?” Amanda tersenyum miring dengan pandangan sinisnya. “Mama bilang begini supaya enggak terganggu dengan ngurusin Ayra ‘kan?”

“Amanda!!” tegur papanya. “Jaga sikapmu! Mama Tiara ini istri papa walaupun dia tidak melahirkanmu.”

“Bagusss! Belain aja terus wanita kesayangan Papa ini!” ketus Amanda yang semakin geram.

Sang papa hendak bersuara, tetapi niatan tadi urung usai mendapatkan usapan lembut di lengan kanannya. Sepasang suami istri itu saling bertatapan selama beberapa detik hingga akhirnya menoleh ke arah Amanda lagi.

“Usiamu hampir mendekati 35 tahun, Manda,” kata mama tirinya. “Sudah sepantasnya kau menikah. Andre itu bukan pria yang baik, Sayang.”

“Jangan sok tahu ya!!” sangkal Amanda cepat. “Hidup di dunia entertain memang banyak konsekuensinya. Terlebih berita yang enggak bener. Aku yakin Andre adalah pilihan yang tepat.”

“Bagaimana dengan keponakanmu? Ayra butuh sosok seorang ibu, Nak.”

“Aku bisa merawatnya tanpa menikah dengan papanya!” tegas Amanda dengan nada yang sudah meninggi.

“Sayang, pikirkan lagi ya.” Wanita usia empat puluh tahunan tersebut menatapnya sendu.

“Ck. Di mana-mana yang ada sugar babby atau sugar daddy, sedangkan aku?? Heh. Masa’ iya jadi sugar mommy. Radit terlalu muda untuk jadi suamiku. Ini gila!!”

“Usia hanyalah angka. Yang terpenting —”

“Benar,” potong Amanda cepat. “Sama kayak papa dan mama tiriku yang cantik ini. Papa lebih tua dari mama 20 tahunan lebih loh. Wajar sih walaupun terkesan ya … begitulah.”

“Berhenti mengalihkan pembicaraan, Manda. Kita sedang membicarakan dirimu!!”

“Pokoknya aku tetap enggak mau. Titik!!” Amanda bersidekap dengan tatapan penuh dengan penolakan.

“Dasar anak pembangkang! Susah sekali diberitahu sama orangtua.” Papanya semakin berang. Lagi-lagi istrinya berusaha menenangkan dengan mengelus lembut bagian lengan kanan. Sementara Amanda yang sudah jengah segera bangkit berdiri. “Mau ke mana kau, hah?”

“Aku capek,” jawab Amanda dengan tubuh yang sudah berdiri tegak. “Dari dulu Papa memang enggak pernah ngertiin maunya aku.”

“Manda, tunggu!! Kau harus menikah dengan Radit. Kalau enggak —"

“Apa?? Kalau enggak … Mama Tiara aja yang nikah sama Radit. Gimana, heh??”

“Kau!! Aggh!!”

              Amanda bersiap hendak menyelonong pergi. Namun, pekikan mama tirinya membuat gadis itu berbalik badan.

“Papa!!”