Share

7. PILIH IBU ATAU DIA??

              Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?”

              Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya.

              Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.

“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.

Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring juga boleh.”

“Ajarin istrimu beres-beres, Dit! Jangan manja sementang dari kota!!”

              Oh ya ampun. Ibu mertuanya ternyata masih bisa mendengar meskipun berada di kamar. Apa dinding di ruangan rumah ini punya kemampuan super yang menjadikan wanita paruh baya itu mendengar semuanya? Amanda tak habis pikir sama sekali.

“Iya, Bu!” sahut Radit yang malas membantah. Namun, tangannya masih juga sibuk membereskan meja makan. Sementara Amanda hanya mengikut langkahnya yang kini menuju pintu bagian samping.

              Terdapat tempat cucian piring ukuran 2x2 meter. Ada ember sedang untuk penampungan air di sana. Dengan cekatan Radit menurunkan barang bawaannya.

“Kau mencuci sambal berjongkok?”

“Hu um. Ada dudukan di sebelah kirimu. Pakai saja.” Radit menunjuk benda persegi panjang dengan dagunya. Seolah mengisyaratkan sang istri untuk membantu pekerjaan yang ia lakoni saat ini. Apalagi kalau bukan membasuh piring.

“Merepotkan. Iih!” Amanda memberengut kesal.

“Sabar ya. Besok juga kita balik.”

              Manalah Amanda betah jika lama-lama tinggal di desa. Terlebih saat melihat kondisi kamar mandi yang tadi sempat ia gunakan untuk buang air kecil. Gerimis sedikit saja maka bajunya akan basah karena tempat itu tidak memiliki atap. Heran juga kenapa sampai sekarang masih ada orang yang suka hidup susah dan serba terbatas seperi mertuanya. Itulah yang ia pikirkan.

“Setidaknya masih aman. Tak masalah kalaupun harus menggunakan kipas angin,” gumamnya saat Radit mengutarakan tidak ada pendingin ruangan di kamar itu.

              Matanya kemudian beralih pada dua buah figura yang ada di dinding. Menampakkan foto pernikahan yang sangat ia kenali. Tentu saja mendiang sang adik dan suaminya yang sekarang. Tampak serasi sekali. Bahkan tadi dirinya juga tak sengaja melihat satu yang serupa di ruang tamu. Sekali lagi Amanda harus sadar bahwa dia sudah menikahi mantan iparnya.

              Butuh waktu lama untuk bisa menyamankan tubuh di atas ranjang besi yang ia tempati saat ini. Entah kenapa pemandangan yang sekarang mengingatkannya pada film horror yang pernah ditonton. Pun lengkap dengan segala furniture yang ada pula.

“Kenapa? Ini masih siang loh,” kekeh Radit yang bisa menangkap raut wajah tak nyaman istrinya. “Belum lagi kalau malam. Suara jangkrik udah biasa di sini.”

              Amanda enggan menyahuti celotehan ringan barusan. Dia mengembuskan napas pelan lalu memunggungi Radit yang baru saja duduk di bibir ranjang.

              Suara kaum ibu di halaman rumah memaksa Amanda membuka matanya. Jelas terdengar memekakkan telinga lantaran riuh sekali. Padahal sepertinya dia baru saja terlelap beberapa saat.

“Oh. Jadi si Radit naik ranjang ya?”

“Wah. Sama perawan tua yang Bu Ningsih pernah ceritakan itu? Walah. Kok mau sih? Walaupun cantik, tapi apa bisa hamil nantinya? Udah kepala tiga lebih loh. Masa’ Ibu mau punya cucu cuma satu saja.”

              Apa-apaan ini? Perawan tua? Hamil? Sumpah. Amanda benar-benar terusik dengan omongan para tetangga kaum julid barusan. Dia tentu tak ingin tinggal diam. Bersiap hendak membalas apa yang diutarakan oleh mereka.

“Hei?” sapa Radit yang baru saja selesai mandi. Pria itu tampak seperti remaja tanggung dengan sarung dan kaus oblong kebesarannya. “Mandi dulu gih. Sudah jam enam.”

              Belum sempat Amanda menanggapinya, suara derit pintu yang terbuka terdengar dari arah depan. Wajah Bu Ningsih sudah tampak merah padam.

“Bagus ya! Menantu apa kau ini, hah? Bangun tidur jam segini. Mau enak tinggal makan. Iya??” sentaknya dengan tatapan berapi-api.

“Bu, tenang dulu,” kata Radit. “Ibu kenapa sih? Kesambet setan menjelang Maghrib ya? Pulang-pulang kok marah.”

“Gimana enggak marah coba? Kau sama istrimu udah buat ibu malu,” geram Bu Ningsih lagi. “Mereka semua bertanya-tanya kenapa kau nikah lagi. Ihh! Baru ibu sadar kalau kerabat kita belum pada tahu. Pusing ibu kau buat, Dit.”

              Napas mertua Amanda itu terengah-engah lantaran menahan emosi. Lantas Radit pun membimbingnya  untuk duduk di ruang tamu. Tak lupa memijat bahu tubuh ringkih tersebut dengan sabar.

“Nanti darah tinggi Ibu kambuh lagi,” ucap Radit prihatin. Dia memasang kode pada Amanda untuk duduk mendekat.

“Kalian pokoknya enggak boleh pulang. Selesaikan dulu masalah yang ada di sini.”

Amanda yang sangat syok lekas menggeleng. “Mana bisa begitu. Aku mau pulang.”

“Radit ini anakku. Harus nurut sama ibunya!!” Bu Ningsih menatap menantunya dengan penuh permusuhan.

“Oke. Kalau gitu aku yang pulang sendiri. Fine!!”

“Eh eh. Kok malah berantem jadinya sih?” Radit pun jadi kalang kabut sendiri.

“Kau yang janji ‘kan kalau besok kita pulang?”

“Jangan, Dit,” Bu Ningsih tak mau kalah. “Kau mau pilih ibu atau dia??”

             

             

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status