Share

6. BOJO

CIIT!!

Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka.

"Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."

Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit."

"Baik, Bu."

Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu.

"Maaf ya, Mbak."

"Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya.

"Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."

Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali tak ingin menanggapi apa yang diutarakan sang suami. Sementara Radit sendiri mulai bergerak memilih kopi dan teh pesanan Bu Ningsih. Barulah dia kembali duduk dengan dua cup minuman yang masih mengepulkan asap.

"Aku bisa ambil sendiri," gumam Amanda memotong gerakan bibir Radit yang sepertinya hendak mengucapkan sesuatu.

Pria berparas tampan itu tersenyum kecut lalu mengangguk singkat. Membiarkan Amanda kemudian bangkit dan bergerak menyambar sebotol air mineral di rak supermarket yang ada di sana.

"Apa yang kau harapkan dari dia sih?"

Ibunya muncul entah dari mana, tetapi yang jelas sekarang jarinya sudah menggenggam sebuah cup berisi teh pesanan yang dibelikan Radit. Tak pelak memandang sinis ke arah sang menantu yang tengah berdiri di depan meja kasir.

"Mbak Manda itu kakaknya Dinda, Bu. Tolong bersikap baik sama dia," pinta Radit dengan wajah memelas. "Kalian masih belum saling kenal. Aku paham kok."

"Karepmu lah, tapi feeling ibu yakin kalau dia bukan perempuan yang baik. Beda sama Dinda yang lebih kalem," cerocos ibunya panjang lebar.

Percakapan mereka terjeda lantaran Amanda sudah muncul kembali. Radit lekas menyudahi minumnya setelah merasa kondisi cukup bisa dikendalikan lagi.

"Apa kita bisa lanjutkan perjalanan lagi?" tanyanya pada dua wanita itu.

Ibunya mengangguk, sedangkan Amanda mengiyakan dengan suara lirih.

Lagi. Situasi kembali menjadi canggung. Namun, kali ini Bu Ningsih tidak lagi banyak bicara. Melainkan mencuri pandangan lewat lirikan sinisnya pada cermin yang menggantung di atas dasboard.

Jelas Amanda tahu bahwa ia tengah diperhatikan seperti sekarang. Jadilah dirinya bersikap masa bodo. Lebih memilih memejamkan mata hingga sampai di tempat tujuan.

Pekarangan luas beserta tanaman bewarna hijau mendominasi pemandangan Amanda begitu mobil yang dikemudikan Radit menepi di ujung persimpangan gang. Rumah yang bahan bangunannya menyatu dengan alam seolah menyapa kedatangan mereka bertiga.

"Kita sudah sampai," ujar Radit yang sempat menolehkan kepalanya di kabin belakang. Dia tersenyum pada Amanda yang sempat terpana dengan keasrian rumah milik orangtuanya itu.

Namun, suara deheman keras lekas merebut kekaguman sang gadis. Barulah ia sadar tengah ditatap horor oleh si empu penghuni itu.

"Kenapa?"

"Eng-gak," balas Amanda dengan suara tercekat.

Menghindari percakapan yang mungkin akan menciptakan perang dingin lagi, Radit lekas mengambil alih atensi keduanya.

"Ayo masuk. Aku juga sudah kangen sama rumah ini."

Entah kepada siapa dirinya berbicara. Yang penting dua wanita itu sekarang sudah sibuk ke luar dari mobil.

"Selamat datang di rumah ini, Mbak. Semoga betah ya," ucap Radit sambil tersenyum.

Amanda mengangguk ragu. Tak pelak dia mengikuti langkah Radit yang sudah lebih dulu ada di depannya. Sementara sang ibu mertua buru-buru melipir menuju dapur.

"Di sini enggak ada pembantu. Jadi apa-apa harus disediakan sendiri. Masak juga pake tungku, buat sambal enggak pake blender. Mandi ya pake timba." Bu Ningsih meletakkan teko kecil di atas meja tamu.

"Iya," jawab Amanda seadanya.

"Udah jam makan siang nih."

"Kita makan pecel aja ya, Bu. Aku yang beliin. Sekalian nyapa warga sekitar juga."

"Buat apa? Kenalin istri baru gitu?" nyinyir ibunya. "Emang mau dikatain yang tidak-tidak? Istri belum lama meninggal eh udah dapet pengganti. Naik ranjang pula. Malu-maluin ih!!"

Alih-alih menanggapi dengan nada yang sama, Radit malah terkekeh pelan. Dia bahkan berani menggenggam tangan Amanda tanpa ragu lagi. Membuat istrinya itu sempat tersentak kaget.

"Enggak ada yang salah kok. Aku 'kan laki-laki. Manalah punya masa iddah. Malah boleh nikah sampai empat kali juga. Jadi semua masih sesuai syariat agama kok," katanya seolah tanpa beban. "Kami keluar dulu ya, Bu."

Gendikan bahu Bu Ningsih sama sekali tak membuat Radit berpikir dua kali. Pria berkulit kuning langsat itu kemudian menghela napas pelan saat Amanda menarik kasar lengannya dari genggaman tadi.

"Aku bisa jalan sendiri."

"Ya ya. Belok kanan, Manda." Radit lebih dulu mendorong bahunya dengan lembut ke arah yang dimaksud tadi.

Sementara Amanda? Wanita itu segera menghentikan langkah usai mendengar namanya dielukan tanpa embel-embel lagi.

"Kau panggil aku apa?"

"Manda. Jadi apalagi?" ucap Radit balik bertanya. "Kita sudah jadi suami istri."

Amanda tak menggubris ucapannya lagi. Hingga kemudian mereka tiba di warung pecel. Semua orang yang ada di sana memandang heran ke arah Amanda dan Radit.

"Eh, Dit. Udah balik kampung aja. Kami turut berduka atas meninggalnya istrimu."

"Iya," balas Radit disertai dengan anggukan pelan. Tak pelak para tetangganya memandang heran Amanda yang tampak berdiri tak nyaman di sampingnya.

"Lah lah. Sopo iki?" tanya salah satu di antara mereka.

Semua membelalak kaget saat Radit kembali menggenggam tangan Amanda.

"Bojo," jawab Radit sambil mengulum senyuman tipis.

"HAHH!!?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status