CIIT!!
Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka."Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit.""Baik, Bu."Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu."Maaf ya, Mbak.""Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya."Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali tak ingin menanggapi apa yang diutarakan sang suami. Sementara Radit sendiri mulai bergerak memilih kopi dan teh pesanan Bu Ningsih. Barulah dia kembali duduk dengan dua cup minuman yang masih mengepulkan asap."Aku bisa ambil sendiri," gumam Amanda memotong gerakan bibir Radit yang sepertinya hendak mengucapkan sesuatu.Pria berparas tampan itu tersenyum kecut lalu mengangguk singkat. Membiarkan Amanda kemudian bangkit dan bergerak menyambar sebotol air mineral di rak supermarket yang ada di sana."Apa yang kau harapkan dari dia sih?"Ibunya muncul entah dari mana, tetapi yang jelas sekarang jarinya sudah menggenggam sebuah cup berisi teh pesanan yang dibelikan Radit. Tak pelak memandang sinis ke arah sang menantu yang tengah berdiri di depan meja kasir."Mbak Manda itu kakaknya Dinda, Bu. Tolong bersikap baik sama dia," pinta Radit dengan wajah memelas. "Kalian masih belum saling kenal. Aku paham kok.""Karepmu lah, tapi feeling ibu yakin kalau dia bukan perempuan yang baik. Beda sama Dinda yang lebih kalem," cerocos ibunya panjang lebar.Percakapan mereka terjeda lantaran Amanda sudah muncul kembali. Radit lekas menyudahi minumnya setelah merasa kondisi cukup bisa dikendalikan lagi."Apa kita bisa lanjutkan perjalanan lagi?" tanyanya pada dua wanita itu.Ibunya mengangguk, sedangkan Amanda mengiyakan dengan suara lirih.Lagi. Situasi kembali menjadi canggung. Namun, kali ini Bu Ningsih tidak lagi banyak bicara. Melainkan mencuri pandangan lewat lirikan sinisnya pada cermin yang menggantung di atas dasboard.Jelas Amanda tahu bahwa ia tengah diperhatikan seperti sekarang. Jadilah dirinya bersikap masa bodo. Lebih memilih memejamkan mata hingga sampai di tempat tujuan.Pekarangan luas beserta tanaman bewarna hijau mendominasi pemandangan Amanda begitu mobil yang dikemudikan Radit menepi di ujung persimpangan gang. Rumah yang bahan bangunannya menyatu dengan alam seolah menyapa kedatangan mereka bertiga."Kita sudah sampai," ujar Radit yang sempat menolehkan kepalanya di kabin belakang. Dia tersenyum pada Amanda yang sempat terpana dengan keasrian rumah milik orangtuanya itu.Namun, suara deheman keras lekas merebut kekaguman sang gadis. Barulah ia sadar tengah ditatap horor oleh si empu penghuni itu."Kenapa?""Eng-gak," balas Amanda dengan suara tercekat.Menghindari percakapan yang mungkin akan menciptakan perang dingin lagi, Radit lekas mengambil alih atensi keduanya."Ayo masuk. Aku juga sudah kangen sama rumah ini."Entah kepada siapa dirinya berbicara. Yang penting dua wanita itu sekarang sudah sibuk ke luar dari mobil."Selamat datang di rumah ini, Mbak. Semoga betah ya," ucap Radit sambil tersenyum.Amanda mengangguk ragu. Tak pelak dia mengikuti langkah Radit yang sudah lebih dulu ada di depannya. Sementara sang ibu mertua buru-buru melipir menuju dapur."Di sini enggak ada pembantu. Jadi apa-apa harus disediakan sendiri. Masak juga pake tungku, buat sambal enggak pake blender. Mandi ya pake timba." Bu Ningsih meletakkan teko kecil di atas meja tamu."Iya," jawab Amanda seadanya."Udah jam makan siang nih.""Kita makan pecel aja ya, Bu. Aku yang beliin. Sekalian nyapa warga sekitar juga.""Buat apa? Kenalin istri baru gitu?" nyinyir ibunya. "Emang mau dikatain yang tidak-tidak? Istri belum lama meninggal eh udah dapet pengganti. Naik ranjang pula. Malu-maluin ih!!"Alih-alih menanggapi dengan nada yang sama, Radit malah terkekeh pelan. Dia bahkan berani menggenggam tangan Amanda tanpa ragu lagi. Membuat istrinya itu sempat tersentak kaget."Enggak ada yang salah kok. Aku 'kan laki-laki. Manalah punya masa iddah. Malah boleh nikah sampai empat kali juga. Jadi semua masih sesuai syariat agama kok," katanya seolah tanpa beban. "Kami keluar dulu ya, Bu."Gendikan bahu Bu Ningsih sama sekali tak membuat Radit berpikir dua kali. Pria berkulit kuning langsat itu kemudian menghela napas pelan saat Amanda menarik kasar lengannya dari genggaman tadi."Aku bisa jalan sendiri.""Ya ya. Belok kanan, Manda." Radit lebih dulu mendorong bahunya dengan lembut ke arah yang dimaksud tadi.Sementara Amanda? Wanita itu segera menghentikan langkah usai mendengar namanya dielukan tanpa embel-embel lagi."Kau panggil aku apa?""Manda. Jadi apalagi?" ucap Radit balik bertanya. "Kita sudah jadi suami istri."Amanda tak menggubris ucapannya lagi. Hingga kemudian mereka tiba di warung pecel. Semua orang yang ada di sana memandang heran ke arah Amanda dan Radit."Eh, Dit. Udah balik kampung aja. Kami turut berduka atas meninggalnya istrimu.""Iya," balas Radit disertai dengan anggukan pelan. Tak pelak para tetangganya memandang heran Amanda yang tampak berdiri tak nyaman di sampingnya."Lah lah. Sopo iki?" tanya salah satu di antara mereka.Semua membelalak kaget saat Radit kembali menggenggam tangan Amanda."Bojo," jawab Radit sambil mengulum senyuman tipis."HAHH!!?"Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?” Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya. Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring ju
“Manda!” Suara barusan tak dipedulikan oleh sang pemilik nama. Dia terus memacu langkahnya hingga terhenti di ambang pintu kamar. Terhambat oleh tubuh tegap tinggi Radit yang sudah berada di sana.“Enggak usah menjelaskan. Aku tahu!” ketus Amanda yang membuat wajah tegang suaminya sirna dalam sekejap.“Makasih ya. Maaf karena kita harus tinggal sedikit lebih lama di sini. Ibu cuma tinggal sendiri. Aku enggak mau dia kenapa-napa lantaran banyak pikiran nantinya,” jelas Radit panjang lebar. Dia melirik handuk yang tersampir di bahu kanan Amanda. “Aku antar yuk. Kau pasti belum terbiasa mandi dengan kondisi begini.” Ucapan Radit ada benarnya. Amanda kembali melangkah hingga sempat berpapasan dengan sang mertua yang tengah menghidangkan makan malam.“Radit itu anakku. Dia pasti akan memilih ibunya.”“Bu,” tegur Radit yang merasa tak enak hati.“Sudahlah. Cepat temani istri manjamu. Ibu sudah lapar.” Bu Ningsih menghalaukan tangannya ke udara agar Radit tak memb
Perempuan bernama Arini itu menatap lekat manik mata kecokelatan milik Amanda. Berusaha meyakinkan diri kalau rumor yang ia dengar tidaklah benar. Sayangnya anggukan dari sang lawan bicara lekas memusnahkan harapan yang sempat terjalin.“Iya. Aku istrinya,” gumam Amanda kemudian. Gurat kecewa yang tergambar dari wajah Arini sangat kelihatan jelas sebenarnya. “Kenapa?”“Enggak.” Suasana menjadi canggung seketika. Beruntung beberapa detik kemudian Radit muncul bersama Bu Ningsih. Arini pun segera memasang tampang ceria seperti semula.“Ke sini kok enggak ngomong dulu sih, Rin? Tahu gitu ‘kan bude nyiapin makanan. Yang ada cuma teh aja,” ucap Bu Ningsih sambil tersenyum.Arini menggeleng pelan. Tak pelak menyeruput teh yang disajikan untuknya. “Aku enggak lama kok, Bude. Niatnya mampir untuk ngasih oleh-oleh aja. Habisnya kemarin bude ke Medan ‘kan?”“Iya. Ibu hadirin acara pernikahanku dengan Manda.” Kali ini Radit yang bersuara. Tak pedulikan lirikan sebal dari ibunya.“A
“Mau berapa kali sih harus dibilangin, hah?! Sudah jam berapa ini?” Suara lengkingan barusan berhasil merenggut akal liar Radit. Pria itu buru-buru menyudahi mandinya. Pun begitu juga dengan Amanda yang sekarang sedang berganti pakaian.“Sudah?” tanya Radit dengan sedikit berbisik. Istrinya mengangguk pelan dengan wajah yang tampak menahan kesal. Kini keduanya kompak ke luar dari kamar mandi dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bu Ningsih. Wanita paruh baya itu memandangi mereka dengan heran.“Kalian … mandi bersama?”“Iya, Bu. Kenapa sih? Namanya juga suami istri. Apa ada yang salah?” ucap Radit balik bertanya. Ibunya menggeleng cepat. Radit lantas lekas menarik lengan Amanda untuk segera bergegas ke kamar. Tahu bahwa mereka tak mungkin diomeli lantaran waktu mendesak menjelang Maghrib.Jangan merasa bersalah, Radit. Dia ‘kan sudah jadi istrimu. Sah-sah saja kok. Batinnya kembali bersuara. Radit mengembuskan napas kasar l
[“Iya, Nak. Kami bahkan sudah di rumah sekarang.”] Sahutan di seberang sana membuat Radit mengembuskan napas lega. Bagaimana tidak. Luka kehilangan karena kepergian mendiang Dinda masih sangat menyesakkan dada. Apalagi mendengar kabar buruk tentang putrinya sendiri. Dunianya bisa saja runtuh seketika.[“Maaf ya, Nak. Papa saja yang panik makanya langsung mengabari kalian. Ternyata Ayra hanya demam karena efek imunisasi tadi sore.”] Terdengar suara omelan setelahnya. Tentu saja Mama Tiara yang memprotes sikap ceroboh pria paru baya tadi. Kini Amanda dan Radit saling menoleh tanpa suara. Sama-sama menyimpan perasaan tenang usai mendapatkan pencerahan dari pasangan suami istri tersebut.[“Syukurlah kalau Ayra baik-baik saja. Tolong jagain ya, Ma, Pa. Aku sama Manda lagi dalam perjalanan pulang.”] Radit pun menyerahkan ponsel yang ia genggam barusan pada sang empu. Kemudian kembali fokus pada kemudinya lagi.“Ya udah ya. Aku tutup teleponnya dulu,
Pagi-pagi sekali seisi kamar sudah dihebohkan oleh suara tangis Ayra. Sementara dua orang dewasa di sana terus saja berdebat. “Kau saja yang tidur seperti orang mati. Kalau saja Ayra bisa bicara, dia pasti membelaku. Dasar payah!” ketus Amanda yang berusaha menenangkan bayi mungil di gendongannya. Radit mendengkus pelan. “Aku minta maaf. Sumpah. Suaramu tidak terdengar.” “Alasan. Kau terlalu banyak bicara. Baru satu malam saja sudah terbukti gagal.” “Hei! Namanya juga belum terbiasa.” Radit masih membela diri. “Mungkin dia haus makanya nangis terus.” Amanda memicingkan matanya. Memberi kode lewat gerakan dagu agar Radit melihat botol susu yang masih berisi susu di dalam boks bayi. “Dia menolak. Tidak pipis juga kok. Entahlah,” erangnya hampir frustrasi. “Sini, Sayang. Papa yang gendong ya?” Tangan Radit sudah terjulur di depan Amanda. Namun, Ayra malah menggerak-gerakkan kakinya. Membuat sepasang suami istri itu kebingungan sendiri. “Hah. Kita pangg
Amanda lantas memandang Radit dan papanya secara bergantian. Menanti jawaban yang ke luar dari mulut kedua pria itu.“Aku belum sempat bicara dengan Manda, Pa,” ucap Radit akhirnya. Penuturan barusan membuat Tuan Yuda mengangguk paham. Dia dan sang istri kemudian pamit terlebih dahulu dari sana. Membiarkan pasangan tersebut mengambil waktu untuk mengobrol. Di sinilah keduanya sekarang. Kamar Amanda yang sudah sah menjadi milik Radit juga. Hanya sayang sampai detik ini tubuh dan hati wanita cantik yang merupakan istrinya itu masih belum bisa disentuh sama sekali.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Amanda langsung pada intinya. Dia menatap lekat Radit yang juga memandang ke arahnya.Radit meng
“Kita sudah sampai.” Radit mengatakannya sembari menepikan mobil yang ia kendarai. Lantas segera keluar dan membuka pintu pagar rumah setinggi bahu orang dewasa tersebut. Hingga kemudian pria itu kembali dan melajukan kendaraan roda empat tadi hingga tiba di garasi. Jantungnya berdetak tidak karuan mengingat banyak momen manis yang mulai menyambangi pikiran. Kenangan bersama mendiang Dinda muncul tanpa kompromi begitu saja. Barulah ia sadar bahwa hatinya masih belum tertata dengan baik. Terus apa? Mana mungkin dia mengusir wanita yang sudah dinikahi hanya karena terus dibayangi masa lalu.“Apa kami sudah boleh turun?” tanya Amanda yang lekas membuyarkan lamunannya.Radit pun terkesiap dan segera mengangguk mengiyakan. Tangannya menyambar kunci rumah yang berada di atas dashboard dengan sedikit gemetar. Beruntung tak ada yang melihat karena Amanda sudah keluar bersama dengan Sus Rini yang sedang menggendong Ayra.“Mungkin di dalamnya sedikit berantakan karen