Tanpa sadar, hanya tersisa dirinya yang belum dipanggil sementara para wanita tadi yang menurut Gina saingan beratnya dalam mendapatkan pekerjaan tersebut justru ditolak semuanya!
‘Mereka semua ditolak, bagaimana dengan aku?’ Hati Gina berbisik demikian. Tak lama, seorang pegawai perempuan menuntun Gina untuk masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya, Gina bisa melihat ada seorang pria yang sedang duduk di sofa besar. Pria itu tampak sangat berwibawa dengan kemeja putih dan celana hitam. Namun, tatapannya sangat tajam seolah ingin mengintimidasi siapapun yang ada di hadapannya. Ia tampak mengerutkan dahi ketika melihat Gina masuk membawa bayi di gendongannya, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. “Ini yang terakhir?” tanya pria itu akhirnya pada pegawai perempuan yang membawa Gina masuk. Suaranya terdengar berat, tetapi seolah mampu membuat siapapun yang mendengarnya merasa takluk. “Iya, Tuan. Namanya Gina Nirmala, dia membawa anaknya yang masih bayi, Tuan,” jawab pegawai itu dengan hati-hati. Pria itu adalah Bara Gautama, seorang CEO dari perusahaan properti besar di negara ini, Gautama Urban Property. Entah alasan apa yang membuatnya mencari seorang ibu susu, yang jelas, semua orang tahu bahwa ia akan melakukan segala cara untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya yang baru lahir satu bulan yang lalu. Melihat tatapan penuh intimidasi dari Bara, Gina menundukkan kepalanya. Ia merasa takut dan tidak pantas ketika melihat pria itu. Bagaimanapun juga, saat ini penampilannya sangat tidak layak. Namun, ia juga masih berharap untuk bisa mendapat pekerjaan ini. “Berapa usia anakmu?” tanya Bara dengan tegas. Mendengar itu, Gina yang tahu bahwa pertanyaan itu untuknya, langsung menjawab dengan hati-hati. “Sa–satu bulan, Tuan.” “Suruh dia pompa ASInya, lalu berikan ASI itu untuk Gavin,” perintah Bara pada salah satu pegawainya. “Baik, Tuan,” jawab sang pegawai dengan patuh. “Mari, ikut saya.” Gina kembali melangkah mengikuti sang pegawai menuju ruangan kecil yang berada di dalam ruang kerja Bara. Ia dengan pasrah mengikuti permintaan untuk memompa ASI miliknya dan menaruhnya di sebuah botol bayi. Setelah botol bayi itu penuh dengan ASI, Gina memberikannya kepada sang pegawai. Sambil menunggu, Gina merasa cukup cemas, tetapi juga penuh harapan. Ini adalah satu-satunya pekerjaan yang mungkin bisa dengan cepat membuatnya mampu menjamin kehidupan anaknya. Gina menatap Raya yang masih terlelap dengan tenang, lalu berbisik lembut, “Doakan Mama agar bisa dapat pekerjaan ya, Nak.” Tak lama kemudian, Gina kembali dipanggil. Sebelum keluar dari ruangan kecil itu, sejenak Gina merapikan penampilannya, lalu menghela napas dalam, berharap akan mendapat hasil yang baik. Di sana, pegawai yang tadi membawa ASI Gina telah kembali. Pegawai itu menunjukkan botol bayi yang sebelumnya penuh dengan ASI, kini telah kosong. “Tuan, sepertinya Tuan Muda cocok dengan ASI itu. Tuan Muda meminumnya hingga habis,” jelas pegawai itu. Bara tampak sedikit mengerutkan dahinya, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia mengalihkan pandangannya pada Gina, menatap Gina yang sedang menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang. “Bawa dia untuk membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui wanita lusuh dan bau keringat,” titah Bara yang langsung diikuti dengan anggukan kepala pegawainya. “Tu–Tuan, jadi maksudnya saya …” ucap Gina lirih, masih tidak begitu mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, Bara tidak langsung menjawab. Ia menatap Gina sambil mengangkat satu alisnya. “Tidak mau bekerja?” “Mau, saya mau kerja, Tuan!” jawab Gina dengan penuh antusias. “Terima kasih banyak, Tuan.” Bara hanya menanggapi ucapan terima kasih Gina seadanya. Gina yang merasa sangat senang, terus mengulas senyum di wajahnya. Hingga tanpa sadar, ia telah dituntun menuju salah satu kamar di rumah besar itu. “Ini kamarmu, sudah ada baju dan perlengkapan lain di sana. Bersihkan dirimu, lalu makanlah makanan yang sudah disiapkan di dalam. Setelah itu, kamu harus mulai menyusui Tuan Gavin, bayi Tuan Bara,” jelas pegawai itu kepada Gina. Ketika melihat kamar yang diberikan untuknya, Gina merasa terkejut. Kamar itu sangat luas, kalau tidak salah, bahkan setara dengan luar ruang tamu di rumah Haris dulu. “Ini benar kamarku? Apa nggak terlalu besar?” tanya Gina dengan ragu. Pegawai itu tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. “Ini memang kamarmu. Aku akan pergi dulu, nanti Arin akan mengantarmu ke kamar Tuan Gavin." Pegawai perempuan itu tampaknya memang mengetahui bahwa Gina adalah teman Arin. Setelah selesai bicara, ia langsung pergi meninggalkan Gina. Gina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, di sudut kamar ada sebuah meja yang telah penuh dengan makanan. Gina merasa seolah ini adalah bayaran atas rasa sakitnya sebelumnya. Tanpa berpikir lama, Gina meletakkan Raya di ranjang bayi yang sudah disediakan, lalu pergi membersihkan diri. Setelah selesai, ia langsung menyantap makanan yang disediakan dengan begitu lahap. “Terima kasih, Tuhan,” kata Gina lirih sambil sekali lagi menyuapkan makanan ke mulutnya. Air matanya bahkan hampir menetes karena rasa syukur itu. Tak lama kemudian, Arin masuk dan langsung mengajak Gina untuk pergi ke kamar Gavin. “Gina, hafalkan setiap sudut ruangan di rumah ini karena aku nggak mungkin akan temenin kamu terus di sini,” kata Arin dengan santai. Gina mengangguk pelan sambil terus memperhatikan semua sudut rumah yang terasa sangat besar baginya. Ketika sampai di kamar Gavin, naluri keibuan Gina mencuat saat melihat betapa tampannya anak Bara yang mirip dengan ayahnya tersebut. Jauh di dasar hati Gina, ingin sekali Gina mengetahui, mengapa anak setampan itu tidak disusui oleh ibu kandungnya sendiri? Gina tidak berani, khawatir dianggap ikut campur masalah orang lain. Yang penting sekarang ia punya tempat tinggal dan pekerjaan. Setelah Arin pergi, Gina langsung menyusui Gavin. Bayi itu benar-benar menyusu dengan kuat, Gina sampai dibuat kewalahan. “Pinter banget nyusunya, minum yang banyak ya biar cepat besar,” kata Gina lirih dengan senyum di wajahnya. Beberapa saat kemudian, Gavin tertidur setelah diberi ASI oleh Gina sampai kenyang. Gina memastikan bahwa Gavin benar-benar tertidur pulas baru kemudian, ia perlahan turun dari tempat tidur itu, dan melangkah keluar dari kamar untuk kembali ke kamarnya dan ganti menyusui anaknya sendiri. "Anakku mana?" tanya Gina pada Arin yang saat itu ada di kamar Gina. "Oh, sama pengasuh Tuan Muda, Gin. Aman," jawab Arin singkat sambil ingin meninggalkan Gina karena ia masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya. Namun, Gina mencekal pergelangan tangannya hingga niat Arin untuk pergi tidak terealisasi. "Aku mau ketemu Raya, Rin. Dia pasti lapar," kata Gina dengan wajah yang penuh harap. "Nggak akan kelaparan, aman. Anak kamu itu diurus babysitter terbaik Pak Bara, sudah diberikan susu formula juga, susu formula terbaik!" jelas Arin dan Gina mengerutkan keningnya mendengar apa yang diucapkan oleh teman satu kampungnya tersebut. "Apa?!”"Kalau enggak, terus apa? Mereka itu kaya, anak seberapa banyak pun enggak akan jadi masalah, lagipula, kalau alasannya khawatir Bu Gina kerepotan, mereka bisa kok bayar babysitter double buat bantu, iya, kan?"Arin semakin meluaskan kesimpulannya, hingga Bi Narsih meletakkan jari telunjuk di bibir, tidak mau mendengar perempuan itu bicara lagi, khawatir Gina yang sekarang ada di dapur mendengar apa yang sedang mereka bicarakan."Ini masalah mereka, kita tidak perlu ikut campur. Mau punya anak sekarang atau nanti, itu hak mereka, lagipula, mengurus anak kecil itu tidak mudah, Arin. Kau memang mengatakan bahwa mereka bisa menyewa babysitter beberapa orang, memang, itu benar, tapi kau lihat sendiri, Bu Gina itu bukan tipe perempuan yang suka meyerahkan semuanya pada pengasuh. Tidak seperti Bu Karina."Setelah mengatakan hal itu pada Arin, Bi Narsih berlalu meninggalkan Arin dan tak lupa juga ia memperingatkan Arin untuk jangan sembarangan bicara jika tidak mau kehilangan pekerjaan. Ari
Melihat keadaan sang istri, Bara langsung menggendong tubuh Gina keluar dari kamar Gavin usai sebelumnya berpesan pada pengasuh anak mereka agar menjaga dua anak mereka dengan baik selagi ia membawa istrinya ke kamar mereka. Setelah membaringkan tubuh Gina di atas tempat tidur, Bara segera menghubungi dokter pribadi keluarga mereka agar segera datang untuk memeriksa keadaan sang istri.Beberapa saat kemudian, dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Gina dengan sangat teliti. "Bagaimana, Dokter? Apakah istri saya harus diopname di rumah sakit?" tanya Bara dengan wajah yang terlihat masih sangat khawatir."Tidak perlu, istri Pak Bara hanya tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang dipakainya, ada sejumlah penolakan dalam tubuhnya, hingga menyebabkan rasa mual dan pusing secara berlebihan, mungkin nanti bisa dikonsultasikan kepada dokter yang menangani itu pada istri Pak Bara, supaya nanti bisa diberikan alat kontrasepsi yang lebih cocok."Dokter itu menjawab pertanyaan Bara, seka
"Maaf," kata Gina seolah tidak tega untuk mengiyakan kesimpulan yang dibuat Bara tadi."Maaf? Kenapa harus minta maaf, apakah yang kukatakan tadi benar?" desak Bara tidak puas Gina hanya mengatakan kata itu saat ia melontarkan pertanyaan."Aku-""Katakan saja, tidak perlu sungkan. Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Gina," potong Bara ketika melihat wajah istrinya terlihat ragu.Melihat Bara yang serius ingin mengetahui apa yang akan dikatakannya, Gina berusaha untuk mengumpulkan kekuatan, dan akhirnya...."Iya. Itu maksudku, maaf kalau mungkin aku membuat kamu tersinggung.""Tersinggung apa? Tidak masalah, aku justru percaya dengan apa yang kau katakan itu.""Percaya?" tanya Gina seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bara. "Ya. Bukan karena kamu istriku, bukan pula karena aku tidak menyukai Karina, tapi aku setuju karena memang, itulah yang mungkin terjadi."Gina menghela napas. Wajahnya terlihat sangat serius, dan itu tertangkap mata Bara. "Sudahlah. Biarkan saj
Sebenarnya, emosi Bara terpancing mendengar apa yang dikatakan oleh Karina, tapi karena ia tahu, jika ia terpancing, Karina akan semakin menjadi-jadi, Bara mau tidak mau berusaha untuk menahan emosinya. "Kamu memang ibu Gavin, Karina, tidak ada yang bisa membantah hal itu, tapi kau baru merasa bertanggung jawab sekarang? Dahulu ke mana saja? Gina memang hanya ibu pengganti, tapi dia sangat tahu apa yang dibutuhkan Gavin."Telapak tangan Karina mengepal mendengar Bara justru membela Gina."Sangat tahu apa yang dibutuhkan Gavin? Gina itu ngajarin anak kita hidup melarat, Bara! Enggak pake Pampers! Bodoh tau! Uang kamu enggak akan habis hanya karena Gavin pake Pampers!""Cukup!"Karina mendelik mendengar Bara yang membentaknya demikian. "Kamu membentak aku?" protes Karina tidak suka dibentak Bara seperti tadi. "Kalau kamu mengatakan sesuatu yang buruk tentang Gina, aku tidak hanya membentak kamu, Karina! Tapi juga mengusir paksa kamu dari sini!""Jadi, kamu setuju dengan cara didik Gi
"Kamu itu seorang ibu atau bukan, Karina?" tanya Gina dengan nada suara terdengar datar tapi mata yang menatap lurus ke arah Karina. Mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Gina, Karina mendelik. Ia kembali tersinggung dengan isi pertanyaan tersebut seolah-olah ingin mengatakan bahwa ia benar-benar tidak becus sebagai ibu meskipun sebenarnya kalimat itu memang juga tidak sepenuhnya salah lantaran banyak sekali hal yang tidak ia ketahui tentang mengurus anak kecil, tapi Karina tidak mau mengakuinya."Jelas-jelas aku sudah melahirkan Gavin, kau masih bertanya apakah aku seorang ibu atau bukan! Pertanyaan bodoh, Gina!" gerutu Karina, hingga membuat Gina menarik napas kembali untuk sesaat."Aku tahu, itu sudah jelas, yang aku maksud, jika memang kamu itu seorang ibu, kamu pasti punya naluri. Naluri itu yang akan membuat kamu merasa mampu menghadapi sikap dan tingkah anak kamu. Enggak harus marah-marah seperti tadi."Telapak tangan Karina mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh Gina.
Mendengar bentakan yang diucapkan oleh Karina, tangisan Gavin semakin keras. Ini memancing Raya juga berbuat demikian meskipun tadi ia sedikit jauh lebih tenang dibandingkan dengan Gavin.Sebenarnya, Gina kesal mendengar tuduhan yang diucapkan oleh Karina. Akan tetapi, karena khawatir akan semakin menambah situasi menjadi kacau apalagi ada dua anak yang mentalnya harus dijaga, Gina berusaha untuk menahan diri."Turunkan nada suaramu, Karina. Kalau kamu bersuara dengan nada tinggi seperti itu, khawatir anak-anak ketakutan, apalagi Gavin paling tidak suka situasi seperti itu."Gina mencoba untuk membujuk Karina meskipun itu tidak berhasil, karena Karina justru mendelik ke arahnya."Jadi, kamu mau bilang, kamu lebih tahu Gavin daripada aku?!" katanya masih dengan nada suara yang tinggi dan itu langsung direspon Gavin dengan cara menendang Karina dengan kakinya hingga Karina semakin kesal dibuatnya. Satu tangannya terangkat dan bersiap untuk memukul bokong sang anak. Namun, dengan cepat