"Jika ada yang perlu dipersalahkan, maka itu adalah salahku salah Rissa. Ahh, bukan … lebih tepatnya itu adalah garis takdir kami yang begitu buruk. Tidak ada yang tahu, mungkin sejak di dalam rahim pun kami sebenarnya sudah memiliki dendam pribadi,” batinku.
Baik di dunia lama atau pun di dunia ini, kami tetap membawa dendam dan permusuhan. Bahkan, hingga akhir hayat, dendam itu terus tertanam dan dibawa mati. Peristiwa di dunia kabut itu membuatku yakin bahwa Rissa tetap membenciku sampai akhir.“Kamu benar, Rissa. Sebaiknya kita tidak bertemu lagi di kehidupan berikutnya,” gumamku.
Tidak buruk juga untuk melampiaskan semua dalam tangisan sebelumnya. Kini hatiku sudah merasa lega dan semua emosiku sudah tercurah bersamaan dengan teriakan dan air mata. Memang rasa sedih itu tidak sepenuhnya hilang, tetapi setidaknya saraf otakku sudah mulai bisa aku gunakan kembali.
“Baiklah, ayo kita bergerak,” batinku sambil b
Dengan lembut, Raja Edgar meraih belakang kepalaku dan menariknya dalam pelukannya. Sambil mengelus-elus rambut yang tergerai panjang di punggungku, ia berkata pelan, “Tidak apa-apa, kamu bisa melakukan apa pun semamu kamu. Aku paham perasaanmu … pasti berat karena ia adalah satu-satunya saudaramu, dan kalian ditarik bersama ke dunia ini.”Mendengar perkataan Raja Edgar itu, aku langsung melepas pelukannya dan memprotes, “Memangnya siapa yang telah menarik kami tanpa izin ke dunia ini?”“Ah … iyah, em … maafkan aku,” balas Raja Edgar sambil gantian menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.Karena ia kembali gusar dan merasa bersalah, aku pun melanjutkan, “Aku hanya bercanda. Setelah aku pikir-pikir, ini bukan salah kamu. Sejak awal, kami memang sudah memendam kebencian terhadap satu sama lain. Ketika masalah terjadi, akhirnya semua perasaan itu meledak sekaligus. Karena akhir yang parah, kami bahkan
"Jika kamu saja tidak tahu jawabannya, bagaimana aku bisa tahu?” balasku.Rasa heran Raja Edgar itu beralasan. Meramal masa depan bukanlah sesuatu yang bisa aku lakukan. Akan tetapi, dari buku sejarah aku membaca bahwa Saintess Im Ha Yun sudah meramalkan tidak ada Saintess selama beberapa generasi, tetapi di generasi Raja Edgar, akan ada Saintess yang muncul, itu adalah aku dan Rissa.“Masih ada banyak pertanyaan yang belum bisa terjawab, Yang Mulia, tetapi aku yakin kalau kita bisa mengetahuinya pelan-pelan,” lanjutku untuk memberi pendapat.“Menurut dugaanku, ada dua prediksi. Yang pertama, sama seperti kekuatan Saintessmu yang terlambat datang, mungkin kemampuan meramalmu juga akan bangkit menyusul. Atau, kemungkinan lainnya … mengingat perbedaan kekuatan Saintess antara kamu dan Rissa, bisa jadi kekuatan Saintess di tiap orang juga berbeda. Tidak sepertimu, Saintess yang lalu tidak memiliki kemampuan penyembuhan untuk menyembuh
Ketika Steein masuk, wajah Mariana berubah menjadi merah padam. Gelagatnya juga menunjukkan kalau ia sedang salah tingkah, meskipun ia menutupinya dengan menggendong bayiku. Tanda yang jelas itu menunjukkan dengan jelas kalau ia memiliki rasa yang berbeda kepada Steein.“Oh? Siapa ini?” tanya Steein yang menyadari keberadaan Mariana begitu ia menyusul Karl dan masuk ke dalam kamar.“Kamu tidak tahu? Ia adalah Ibu Asuh pangeran,” jawab Karl dengan acuh tak acuh.“Aku sudah tahu itu, Karl, lagi pula aku sedang tidak bertanya padamu. Maksudku bukan posisinya … tetapi aku baru pertama kali melihatnya ada di Istana ini, atau apakah ada kesalahan di ingatanku?” tanya Steein.“Kamu mengingat semua pelayan yang ada di Istana ini, Steein?!” tanyaku terkejut.“Ya, aku tidak sengaja mau mengingatnya, tetapi mau tidak mau aku jadi ingat karena aku terlalu sering keluar masuk istana sejak kecil. Jadi,
BAB 177Arti Sebuah NamaSetelah memakan beberapa waktu, Raja Edgar datang menghampiriku sambil menggendong anak kami di tangannya. Namun, yang lucunya … wajah Raja Edgar sangat tegang dan ia berjalan dengan tubuh yang kaku. Hampir saja aku tertawa lepas karena menyaksikan penampilannya yang seperti itu. Sangat disayangkan karena dunia ini tidak memiliki alat perekam, karena seharusnya hal langka ini cocok untuk dijadikan sebagai suatu kenangan.“Rambutnya benar-benar hitam,” gumamku. Tidak bisa aku ungkiri, aku sedikit kecewa. Padahal aku berharap agar ia memiliki rambut yang cerah dan bersinar mewah sebagai rambut turunan dari seorang Raja Heroit dari generasi terdahulu.“Apakah kam kecewa akan penampilannya, Lissa?” tanya Raja Edgar yang bisa membaca arti dari raut wajahku.“Ah, ya … hanya sedikit … ia memang tampan dan mungil … tetapi, aku sempat membayangkan untuk memiliki seorang anak yang
Karena tidak ada yang menentang, sepertinya nama calon Raja berikutnya sudah diputuskan. Namun, karena membahas arti nama, aku jadi terpikirkan sesuatu hal yang berkaitan dengan itu.“Kalau nama kamu, Edgar Coelom, apakah ada artinya?” tanyaku penasaran.“Hmmm … aku tidak tahu apakah orang tuaku sempat memikirkan artinya ketika hendak memberikan nama padaku. Namun, sejauh yang aku tahu, arti nama Edgar adalah tombak kekayaan. Sementara itu, nama Coelom … aku tidak tahu artinya,” jawab Raja Edgar.“Hmmm … begitukah,” balasku. Di saat aku kembali mengorek luka Raja Edgar, dibandingkan merasa bersalah, sejujurnya aku lebih merasa kecewa. Padahal aku berencana untuk mewariskan nama itu untuk putraku juga,tetapi karena itu tidak ada artinya, aku jadi mempertimbangkannya kembali.“Sepertinya aku tahu arti nama itu,” cetus Steein tiba-tiba.“Apa?” tanyaku tanpa menunda-nunda.
Karena menyadari bahwa ini adalah topik yang sensitif, Raja Edgar langsung menaikkan emosinya.“Apa yang sedang kalian lakukan sehingga tetap berdiri di situ? Sekarang keluar!” perintah Raja Edgar.“Baik Yang Mulia!” seru Karl sambil berlari dengan terburu-buru keluar.Sementara itu, Steein malah sempat berkata, “Baik, Yang Mulia, kalau begitu saya akan keluar dan melaksanakan perintah Yang Mulia untuk membuat pengumuman tentang pemberian nama Yang Mulia Pangeran dan pelantikannya menjadi Putra Mahkota di usianya yang pertama. Saya permisi.”Setelah mengatakan itu, Steein berjalan dengan santai ke arah pintu keluar. Akan tetapi, aku bisa tahu kalau Steein sedang memaksakan dirinya untuk bersikap tenang karena meskipun ia sudah berbalik, aku bisa melihat daun telinganya yang memerah.“Ummm … Kalau begitu, saya juga akan keluar,” ucap Raja Edgar dengan nada suara yang bergetar karena merasa malu.
“Itu karena kamu terampil melakukannya,” ujar Raja Edgar untuk memberikan alasannya.“Aku terampil bukan karena aku berpengalaman, Edgar, tetapi karena hal seperti ini merupakan sebuah pengetahuan dasar yang sudah dibagikan kepada semua orang,” jelasku.“Apa? Semua orang diajarkan tentang caranya menyusui?!” tanya Raja Edgar dengan ekspresi kagetnya untuk ke sekian kali.Reaksi Raja Edgar yang berlebihan untuk topik ini malah membuatnya jadi terkesan aneh. “Yang Mulia, memang tampaknya tidak biasa dan sulit untuk dibayangkan, tetapi di dunia kami, sejak kurang lebih usia lima hingga nanti usia 18, setiap orang harus menjalani pendidikan wajib dalam hidup. Itu dinamakan dengan sekolah. DI sana mereka belajar banyak hal tentang kebiasaan hidup hingga dari untuk menangani beberapa urusan penting. Mengenai kemampuanku untuk menjadi sekretaris pun, aku mendapatkannya dari sekolah itu,” jelasku. Walau memang aku menjalan
Begitu Eden sampai di tanganku, tiba-tiba tangisan Eden langsung berhenti. “Apa?! Apa ini?! Kenapa ia langsung diam padahal kamu belum melakukan apa pun?” protes Raja Edgar. Aku bisa mengerti alasan Raja Edgar melayangkan protes. Itu karena segala perjuangan nyang sudah ia tunjukkan, tetapi Eden tidak mau bekerja sama dengannya dan terus menangis. Sementara denganku, Eden langsung diam tanpa aku perlu melakukan apa pun. Aku membalas tatapan mata merah sayu yang memandangku itu. Ketika kami saling memandang setelah sekian detik, Eden tersenyum kecil dengan bibir merahnya. “Hei! Ia baru saja tersenyum! Apa kamu melihatnya?!” seruku girang kepada Raja Edgar karena baru saja melihat sesuatu yang membawa berkah. Aku pikir reaksiku sudah berlebihan karena terlalu heboh untuk hal seperti ini, tetapi raut wajah Raja Edgar memberikan reaksi yang lebih jauh daripada aku. Ia termangu di tempatnya sambil menatap ke arah Eden. Dengan ucapan yang lirih kare