Gadis itu sekuat tenaga memberontak, melawan segala hasrat yang mulai bergejolak di dalam tubuhnya. Marrie mungkin akan memilih untuk mati daripada harus menyerahkan mahkotanya pada laki-laki seperti Raymond.
"Mo fo! Katakan dimana kamar atas nama Raymond!" pekik Yudhi yang tengah membuat keributan di Lobby hotel, pria itu menodongkan senjata api tiruannya agar resepsionis hotel itu menuruti kemauannya.
(Kenapa tiruan, karena kalo asli jatuhnya ilegal ya gaes hehehe)Suasana lobby begitu kacau, pria itu mengamuk bagai orang yang kehilangan akal."Hurry up! Jangan sampai besok hotel ini sudah rata dengan tanah! Kalian tau siapa yang disekap di kamar itu? Nona besar dari keluarga Larry, cepat!"pekik Yudhi murka, pikirannya kalut memikirkan hal yang tidak-tidak.
Mendengar nama keluarga Larry, dengan cepat mereka segera memberitahukan kamar Raymond. Mereka sudah tidak peduli walapun Ray adalah anak salah satu pemilik saham hotel tersebut, karena mereka tahu
"Katakan, siapa lelaki brengsek itu?" Jhon mencengkram bahu Yudhi dengan tatapan siap membunuhnya. Sekilas ia melihat hickey pada leher dan dada Yudhi yang sedikit terbuka, menambah pikiran-pikiran negatifnya dengan apa yang baru saja adiknya alami."Aku hanya mengetahui namanya Raymond , Rose, dan Vyon. Mereka semua mantan teman sekolah Marrie," jawabnya mengingat-ingat.Jhon mengepalkan tangannya erat, ia begitu sangat familiar dengan nama-nama tersebut. Nama deretan anak-anak pengusaha di Inggris yang bersekolah di sekolah yang sama dengan Marrie dan tidak pernah jera untuk mengganggu Marrie.Jhon segera mengambil ponselnya, perbuatan mereka sudah sangat keterlaluan dan harus diberi pelajaran.Jhon menelepon Frans, sang asisten dan juga David untuk mengeksekusi ketiga tersangka.Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Yudhi yang tengah termenung, sontak ia menoleh kebelakang dan melihat seorang pria tua yang tidak lain adalah Tuan Andrew."Nak, bisa
Yudhi termenung di balkon kamarnya, ia terus-menerus menatap dan membolak-balikkan kotak berisi cincin pertunangan di tangan kanannya.Pikirannya melayang kemana-mana, egois kah jika ia mengikat Marrie yang sama sekali tidak memiliki perasaan kepadanya. Namun, dirinya tetap harus melakukannya sebagai bentuk tanggung jawab dan janjinya kepada Tuan Andrew.Bukankah seorang pria sejati adalah pria yang dapat dipegang perkataannya? TOK TOK TOK Pintu kamarnya diketuk beberapa kali, Yudhi beranjak bermaksud untuk membukanya. Cklek "Yudhi, aku ingin bicara denganmu!" Marrie segera menarik Yudhi kedalam kamar dan menutup pintunya rapat-rapat, gadis itu seketika menggenggam kedua tangan pria tersebut dengan mata berkaca-kaca."Yudh, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak menginginkan pertanggung jawaban apapun darimu, kamu tidak salah. Yudh, tolong tolak permintaan konyol keluargaku." "..." "Aku tau, kita sama-sama gak ada rasa.
WARNING! Part ini mengandung adegan dewasa!"Kamu mau kemana?" tanya Tuan Andrew terkejut melihat Yudhi sudah begitu terlihat rapih dengan barang-barang miliknya yang sudah di masukan dalam koper dengan baik.Yudhi tersenyum dan mencium punggung tangan Tuan Andrew serta istrinya."Aku mau kembali ke hotel saja, namun besok aku akan kembali lagi untuk menemui Marrie," tuturnya sopan. Yudhi bertekad tidak akan sedikitpun menikmati fasilitas mewah keluarga Larry walaupun sebatas tempat tinggal. Dia akan membuktikan pada gadis kesayangannya, bahwa ia sama sekali tidak seperti yang Marrie tuduhkan."Hati-hati, Nak! Maafkan sikap anak Mommy, Marrie memang seperti itu jika sikap paranoidnya muncul," tutur Nyonya Anna lembut, terbersit rasa kasihan kepada pemuda di hadapannya Nyonya Anna yang selama ini terlihat diam sesungguhnya sangat merasakan ketulusan hati Yudhi kepada putri bungsunya.Yudhi mengangguk dan tersenyum lalu berpamitan melanjutkan per
Pagi hari di Mansion keluarga Larry, hampir seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. Namun Marrie masih nampak belum menunjukan batang hidungnya."Mom, Dad, aku gak sarapan ya. Aku ada meeting di kantor," tutur Marrie mencium pipi kedua orang tuanya.Kedua manik mata birunya melirik sejenak, mencari sosok seseorang yang tidak ia dapati keberadaanya."Semalam Yudhi kembali ke hotel," ceplos Maxim tanpa mengalihkan pandangan dari piring makannya. Gadis itu tampak bungkam dan langsung pergi bersama dengan Albert sang asisten yang telah menunggunya.Sepanjang perjalanan menuju perusahaan, gadis itu terus termenung. Pikirannya terus-menerus menerka-nerka alasan Yudhi pergi dengan tiba-tiba.Waktu terus berputar, menunjukan jam makan siang. Marrie masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya hingga seperti biasa, gadis itu selalu saja melewatkan jam makan siang.Tok Tok TokPintu ruangannya diketuk beberapa kali, dan terbuka.M
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak