Share

Bab 4. Hatiku Tersilet

PoV Vania

"Aku titip Fauzan, Mbak Farah, sudah ada Asih juga disini yang bantuin," ucapku pada Mbak Farah, dia sedang sibuk dengan kalkulator dan gamis-gamis yang baru sampai. Sementara Queen sedang nonton film kartun di youtube. Queen nama anak Mbak Farah yang berusia 5 tahun sementara Asih adalah baby sitter Fauzan. Aku mempekerjakan dia mengurus Fauzan saat aku sibuk di toko.

"Eh, kamu mau kemana? Masih banyak pekerjaan nih," Kata Mbak Farah yang sangat sibuk.

"Aku lagi mikirin rencana ku, Mbak. Aku juga mau menghubungi Auriga, langkah apa yang harus kuambil buat memberi pelajaran pada suamiku."

"Ya sudah, pergilah. Asal kamu bisa jaga diri dan jangan macam-macam. Sayangi dirimu," ucap Mbak Farah. Apa maksud kakak ku ini. Mungkin dia takut aku bunuh diri gara-gara galau diselingkuhi suamiku. Enak sekali hidup Mas Prabu jika aku sampai melakukan itu. Aku disiksa di neraka dan dia enak kawin lagi serta tinggal di tanah warisan Bapakku.

"Aku masih waras juga kali, Mbak. Ngapain aku nyakitin diriku buat nge-bucinin Mas Prabu. Surat penting juga sudah ku simpan saat tahu Mas Prabu malam itu menghubungi Marsya. Hatiku sudah curiga padanya, masa selama enam bulan ada lelaki yang tahan gak dapat jatah kan aneh, eh ternyata dia udah kenyang di luar sana. Gak selera lagi sama yang ada di rumah!" Kataku kesal melampiaskan perasaan kecewaku. Mbak Farah menghembuskan napasnya melihat diriku yang dirundung dilema.

"Vania, aku mendukungmu. Untuk berpisah asal kamu bahagia aku tetap mendukungmu. Kamu masih muda dan cantik. Jangan sia-siakan usia mu untuk bersamanya jika dia berkhianat."

"Iya, tetapi aku harus lihat sendiri sikapnya selama ini saat menjadi Dosen. Dia pasti ke gatalan jadi laki-laki. Apakah hanya Marsya yang ditidurinya atau ada perempuan lain. Aku semakin jijik sama suamiku, Mbak."

"Iya, ambil rumah itu dan tinggalkan dia jika macam-macam." Kata Mbak Farah menyemangati ku. Aku mengangguk dan pergi keluar toko. Untuk menyibukkan diri di toko aku belum mood. Biarlah Mbak Farah yang ambil tanggung jawab dulu sementara waktu. Aku dan dia tak pernah berbohong satu dan lainnya.

Aku terduduk di taman kota. Kesendirian yang kurasakan ini menambah perih hatiku. Mulutku berkata tak ingin bucin pada Mas Prabu. Tetapi hatiku masih tetap sakit, rasanya perih dikhianati seperti ini. Bagaikan silet dia mengikis bagian tubuhku namun tak berdarah. Sakitnya sampai ulu hatiku. Bohong kalau wanita bisa tegar saat dikhianati. Ada fase mereka rapuh dan tak berdaya seperti diriku.

Dalam kesendirian tak terasa air mata turun membasahi pipiku, aku tetap wanita rapuh dan pura-pura tegar. Namun aku tak mau menunjukkan pada siapapun kalau aku nelangsa. Air mata ini dan kesedihan ini adalah pengobat lukaku agar tetap tegar. Setelah menumpahkan kesedihan dalam kesendirian aku jauh lebih tenang.

Bohong kalau aku tak merasa bergejolak dan tak butuh nafkah batin. Teganya suamiku selama enam bulan mengacuhkan ku, membiarkan ranjang kami dingin. Sekarang setelah tahu penghianatan nya aku semakin muak dan bahkan jijik padanya. Aku memilih berpuasa untuk mengontrol nafsuku.

Aku akan berusaha bisa tanpa suamiku. Aku akan tegar tanpa dirinya lagi.

Semudah itu kau ucapkan kata maaf, kekasihku

Setelah kau lakukan lagi kesalahan yang sama

Di mana perasaanmu?

Saat kau melakukan salah yang sama

Inikah cara dirimu

Membalas tulus cinta yang t'lah ku beri? Oh

Menyakitkan, bila cintaku dibalas dengan dusta

Namun mencintamu takkan ku sesali

Karena aku yang memilihmu

Lagu itu agaknya cocok menggambarkan perasaan hatiku yang terluka karena penghianatan. Lagu yang suka ku nyanyikan saat zaman aku kuliah dulu. Tak sangka lagu itu kini sama dengan kisah hidupku.

🍁🍁

"Assalamualaikum, ini Bapak Auriga," ucapku saat kami sudah tersambung. Aku mendapatkan nomornya dari temanku di group kuliah. 

"Waalaikumsalam, Nia," jawabnya dengan antusias, aku terkaget ternyata dia masih menyimpan nomorku. 

"Bapak kutu buku nomorku masih ada sama kamu?"

"Iya Nia, apa kabar dan ada apa kamu hubungi aku, nih?"

"Aku sehat, Pak dosen. Aku mau minta tolong nih makanya menghubungi kamu."

"Apa, Nia?"

"Kamu mengajar di FMIPA kan, sama Pak Prabu juga?"

"Oh, suami kamu itu."

"Iya."

"Kan kamu udah tahu ngapain nanya."

"Riga aku mau jadi dosen seperti kamu dan aku akan daftar kuliah di universitas itu juga mengambil S2. Kamu bisa bantu aku Riga?"

"Maksud kamu apasih, Nia? Gak paham aku."

Kuhela napasku dan ku ceritakan maksud dan tujuanku pada Auriga, temanku yang unik itu. Dia unik karena dia laki-laki yang beda. Zaman kami kuliah dulu, media sosial kami hanya aplikasi biru dan belum ada aplikasi lainnya. Biasanya teman teman menulis status macam-macam. Hanya caption tanpa photo karena belum ada android. Tetapi Auriga beda dia sering menulis status tentang soal matematika, persamaan kuadrat, hitung integral, persamaan linear dan tulisan-tulisan aneh lainnya yang membuat kami kadang tertawa membaca statusnya. 

Dia juga pernah bilang kalau selama kuliah kita wajib fokus dan tidak perlu berpacaran. Pacaran setelah kerja saja, Auriga sering menghabiskan waktu di masjid buat mengerjakan soal matematika. Dia juga suka ke perpustakaan buat membaca kalkulus dan buku matematika lainnya. Berbeda dengan aku yang datang kesana buat membaca novel. 

"Kamu baca apa, Nia?" Pernah ditanya olehnya saat kami di perpustakaan. 

"Baca novel," kataku mengedikkan bahuku. 

"Bacalah sesuatu yang bermanfaat seperti buku statistik atau persamaan kuadrat, banyak soal cerita juga disana" katanya duduk di dekatku. 

"Hadeh, kepalaku pusing baca itu. Kamu aja yang baca. Ini juga bermanfaat menghibur hatiku," ujarku kala itu, dia hanya mendesah tak setuju. Itulah masa lalu di zaman kuliah. 

"Bantu aku Riga. Jadikan aku asisten Dosen mu, aku juga ingin jadi dosen."

"Tidak semudah itu, Nia."

"Aku akan daftar S2 Riga. Sama siapa lagi aku minta tolong." Kudengar dia mendesah. 

"Ok, aku akan mengusahakan kamu bisa mengajar paling tidak menjadi asisten ku."

"Ok, Riga. Aku mau ketemu kamu juga buat daftar kuliah lagi. Sedang terima mahasiswa juga kan?"

"Iya, kamu datang saja dan daftar kuliah saja dulu."

"Baiklah Bapak dosen. Terima kasih."

"Iya,"

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Aku merasa senang setidaknya Auriga mau membantuku. Kini aku dengan kepala tegak bisa menghadapi Mas Prabu dan dia tidak akan menyepelekan ku lagi seperti wanita murahan yang mengharapkan dia menyentuhku untuk hak ku sebagai istri. 

🍁🍁

Aku masuk kedalam rumahku, aku sengaja kesini buat mengambil pakaian ku dan pakaian anakku, serta beberapa berkas untuk keperluan aku kuliah. Aku hanya menyembunyikan surat tanah karena takut Mas Prabu menguasainya. Sekarang benda berhargaku akan kusembunyikan dari dia. 

Kudengar suara dari dalam kamar mandi. Tumben sekali dia belum pergi kerja biasanya dia pergi sangat cepat. Aku bergegas mengambil barang-barang yang ku perlukan dan kumasukkan kedalam tas. 

Mataku membola ketika di dekat laptopnya yang masih menyala aku melihat gawainya. Ada dua gawai disana. Aku segara meraihnya, dengan tangan bergetar kubuka gawai barunya. Dan langsung ke aplikasi hijau. 

Tubuhku lemas membaca chat nya dengan wanita yang ditulisnya My Love. Aku berencana mengirimnya ke nomorku. Baru satu chat yang ku screen shoot dia sudah keluar kamar mandi. Tubuhku bergetar hebat melihat Mas Prabu. Begitupun dia terkejut melihat aku berdiri dengan gawainya. 

"Vania!" sentaknya dengan rahang mengeras.

Bersambung

TBC.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status