"Karin ...."Dia hanya diam menatapku."Boleh kami masuk?" tanya Dokter Fandi yang berdiri di belakangnya."Tentu, Dokter. Tentu. Silakan masuk," jawab Papa karena aku diam, memandang bingung Karin yang terlihat tak bahagia."Ayo!" ajak Dokter Fandi.Tanpa menoleh pada Dokter Fandi, Karin melangkah perlahan. Pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan yang telah dihias pita dan foto-foto kebersamaan kami yang digantung. Karin berhenti melangkah. Satu tangan terulur ke atas meraih foto pernikahan kami yang berukuran kecil, lalu mencabutnya. Mengamati sebentar masih dengan ekspresi datarnya."Mari, Nak," ajak Papa dan berhasil membuat Karin kembali melangkah dengan foto itu di tangannya.Karin duduk di sofa panjang, sedangkan Dokter Fandi duduk di sofa single dengan Kamal berada di pa
Karin terus melangkah tanpa peduli denganku di sini. Meski sedikit kecewa, akhirnya aku kembali ke dalam. Kami masih ingin berbincang dan bermain dengan Kamal, tapi Karin bilang lelah.Papa mengantarnya ke kamar, sedangkan aku hanya bisa memandangnya dari bawah sini. Ingin sekali ikut naik ke sana, bercerita banyak tentang kenangan manis kami di kamar itu, tapi kondisi kaki tidak mendukung.Namun, tidak mengapa. Karin pasti bisa melihat sendiri banyaknya foto yang tertempel di dinding. Foto di mana aku selalu berbicara sendiri seperti orang tidak waras, seolah tengah mengajak Karin berbicara."Mal."Aku menoleh. Anthony menghampiriku dengan kedua tangannya yang masuk ke saku celana."Ada apa?""Kita harus bicara.""Ya sudah, bicara saja.""Kita bicara d
Aku tersentak dari lamunan karena Papa menepuk pundak, lalu berdehem pelan sembari kembali menatapnya gugup."Apa kamu sudah lama di sini?" ulangku.Karin masih diam yang membuat telapak tanganku terasa lembab. Akan tetapi, tak berselang lama dia menggeleng."Baru saja, kok. Aku hanya mau mengajak Mas sarapan," jawab Karin pada akhirnya.Syukurlah. Aku pikir dia mendengar semua percakapan kami tadi."Iya. Ini juga baru mau ke sana. Ayo!" ajakku yang dijawabnya dengan anggukan, lalu pergi lebih dulu sambil menggendong Kamal."Apa papa bilang. Kita tidak akan bisa tenang dengan terus membohonginya seperti ini, Malik. Coba pikirkan kembali sebelum terlambat," ucap Papa pelan."Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi, Pah. Aku sudah yakin dengan semua ini," sahutku, lalu mulai melangkah m
Sesuai permintaan Karin tadi pagi, sore ini dia akan pergi mengunjungi panti. Tentu tidak hanya berdua saja dengan Kamal, tapi juga bersamaku. Meski dia sempat melarang, tapi aku bersikeras ikut. Kami pergi ke sana menggunakan taksi.Sepanjang perjalanan, Karin hanya diam menatap keluar jendela. Sementara, aku bernyanyi-nyanyi kecil bersama Kamal yang berada di pangkuan. Sesekali aku menoleh saat mendengar helaan napasnya yang berat. Akan tetapi, saat ditanya kenapa, dia hanya menjawab dengan gelengan.Mobil taksi berhenti tepat di depan panti tempat Karin dibesarkan. Aku berjalan tertatih untuk menyusulnya yang sudah masuk lebih dulu dengan menggendong Kamal. Dia berhenti, berdiri tertegun memandangi sekeliling panti ini.Mungkinkah dia sedang mencoba mengingat-ngingat masa lalunya?"Kenapa? Apa kamu sudah meng
Tak hanya aku yang terkejut, tapi begitu juga Ayu. Hanya saja, dia bukan terkejut karena melihatku, melainkan Karin. Dengan mulut yang sedikit terbuka, dia mendekat. Menelisik penampilan Karin dari ujung kepala sampai ujung kaki."Karin?" gumamnya tak percaya.Karin terlihat bingung. Dia menoleh padaku, sedangkan diri ini masih membeku."Mas, ini serius Karin?" Pertanyaan Ayu menyentakku dari kebekuan."Iya, ini Karin. Ayo kita pergi!" ajakku pada Karin."Tunggu, Mas!" Ayu menahan langkah kami dengan menghadang di depan. "Aku masih tidak percaya kalau ternyata dia masih hidup. Bagaimana bisa?""Sudahlah diam. Kami harus pulang," tukasku. Kesal dan takut bercampur menjadi satu. "Ayo, Karin. Jangan hiraukan dia!""Sebentar, Mas!" Lagi-lagi Ayu menahan langkahku.
Hatiku teriris perih, terasa diremas-remas melihat wajah Karin yang syok melihat foto-foto di ponsel itu. Dia diam terpaku dengan bulir-bulir kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Tak berselang lama, ponsel dari tangannya yang gemetar jatuh begitu saja. Karin berlari meninggalkan kami. Dengan cepat aku menyusul, tapi pintu kamarnya sudah lebih dulu ditutup. Aku masih sempat melihat wajahnya yang sudah bersimbah air mata. Langkah ini terhenti dengan kedua tangan mengepal kuat melihat pintu yang telah tertutup sempurna. Andaikan saja kamu tahu, Karin. Bukan hanya kamu yang sakit, tapi aku juga merasakan hal yang sama. Hati ini ingin berontak dan menolak kenyataan, tapi apa daya? Aku tak bisa melakukannya. Dengan langkah lesu, aku kembali menghampiri Malik dan temannya. Berkata jika Karin belum siap untuk dibawa pergi sekarang karena dia masih syok. Aku meminta wakt
Aku duduk gelisah di depan ruang pemeriksaan bersama Anthony. Cukup lama Karin diperiksa karena takut dia mengalami cedera di dalam akibat benturan. Anthony berusaha menenangkanku yang tidak bisa duduk dengan tenang. Tak berselang lama, Dokter Fandi yang tengah berlari mendekat membuat kami serempak menoleh. Untuk apa dia ke sini? "Bagaimana kondisi Karin?" tanyanya dengan napas terengah. Seperti orang yang habis berlari ratusan kilo saja. "Masih diperiksa," jawabku dingin. Aku tidak suka melihatnya di sini. Dia melanggar janjinya padaku yang berkata tidak akan pernah menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana dia bisa terjatuh?" tanyanya khawatir.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku sudah rapi dengan memakai jas saat menikah kami dulu. Harusnya aku bahagia, bukan? Tapi kenapa air mata malah tak mau berhenti menetes di pipi sedari tadi."Mal."Aku terkesiap dan secepatnya menyeka air mata saat Anthony menepuk pundak dari belakang."Kenapa masih diam di sini? Ayo keluar! Penghulu sudah menunggu.""Apa Karin sudah turun?" tanyaku dengan suara sedikit serak."Belum," jawabnya, lalu menelisik wajahku, "kamu habis nangis? Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku menggeleng sembari menahan air mata yang hampir kembali menetes."Ada apa, Malik?" tanyanya khawatir.Aku menunduk dan kembali terisak,