Farrel terperanjat. "San, bagaimana bisa kamu ada di sini? Bukannya kamu sudah meninggal?" tanya Farrel sambil mengusap-usap matanya.Farrel berharap dirinya hanya berhalusinasi. Tetapi memang sosok sahabatnya itu, masih duduk di atas motor yang terparkir di depan rumah. Kedua mata dengan tatapan kosong itu mengarah pada Farrel."Kamu hati-hati, Rel. Mereka mengincar kamu, malam satu suro kamu jangan ke mana-mana, Rel," ucapnya dengan nada serak. "Orang yang kamu anggap baik, dialah yang bekerjasama membunuhku, bantu Pak Bintang dan Pak Haji," lanjutnya lagi.Kemudian Hasan menatap ke arah pekarangan rumah yang masih ramai dengan para tamu undangan. Tampak bibir pucat milik Hasan tersenyum sekilas.Farrel mengikuti arah pandangan Hasan sebentar. "Apa maksud kamu orang ba--" tanya Farrel terjeda sejenak. "Nyet, Hasan!" panggilnya, ketika tidak lagi melihat keberadaan Hasan di situ.Farrel memutar tubuhnya. Pemuda itu mencari keberadaan sahabat sejak kecilnya itu, tetapi nihil. Pemuda it
"Sigit menggeleng pelan, lalu membuang pandangan ke depan. "Terserah kamu saja. Mungkin memang sebaiknya aku menyerahkan diri saja ke polisi, kalau aku terlibat dalam kematian Hasan. Biar kamu puas, Gus!" ancamnya yang membuat Agus terperanjat."Hentikan kekonyolanmu ini, Git! Seharusnya, kamu berpikir dulu sebelum bertindak, kalau sampai kamu masuk penjara, bagaimana dengan kita?""Kembalilah ke mantan istrimu!" sahut Sigit tak acuh. Tentu saja itu, hanyalah gertakan semata. Sigit tidak akan rela jika Agus kembali ke mantan istrinya dan hidup bahagia dengan orang lain. Dan Sigit tahu, membicarakan mantan istri Agus, adalah hal terlarang di antara mereka. Karena Agus sangat membenci wanita yang telah mengkhianati kepercayaannya dan kebaikannya. Bahkan karena wanita tersebutlah, usaha milik Agus di ambang kebangkrutan.Perlahan tapi pasti, hal tersebut menimbulkan trauma mendalam bagi Agus dan mengubah persepsinya tentang wanita dan pasangan hidup."Jaga bicaramu, jangan main-main!" Ag
Farrel langsung menggenggam tangan mungil itu dan menciumnya. Bu Siti dan Bu Halimah yang ikut mendengar ucapan polos Sofi, mereka saling pandang. Bu Siti menggaruk tengkuknya yang meremang."Yu, kami pulang dulu, ya. Baca do'a dulu sebelum buka warungnya, Yu," bisik Bu Halimah sambil mengulurkan uang pada perempuan paruh baya itu."Eyang, anak kecil itu lihatin Mas Fallel telus," celoteh Sofi lagi dengan polosnya.Farrel segera mendekap wajah mungil Sofi ke dalam dadanya supaya anak itu tidak bisa melihat sekeliling.Sedangkan Bu Halimah bergegas menuju motor anaknya. Farrel, pemuda itu semenjak menjalani puasa beberapa hari belakangan bisa merasakan kehadiran makhluk aneh tersebut."Nyet, sudah dibayar semua sama Ibuk, ayo pulang!" seru Farrel pada Vio dan Dino.Mereka masih di tempat yang sama. Yakni, duduk di atas motor mereka masing-masing. Kedua sahabatnya itu melirik ke arah dalam warung lalu mengangguk. "Tua Bangka itu memang biangnya bangsat," desis Vio, begitu pandangannya t
Dendam, itulah yang dirasakan Sigit waktu itu. "Aku nggak pernah memperkosamu. Kamu yang menjebakku. Bagaimana kalau tubuhmu yang murahan itu dinikmati banyak orang? Pasti menyenangkan, kan, Karina?" tanya Sigit dengan seringaian penuh kemenangan. "Bangsat kamu, Sigit! Kamu akan masuk penjara!" teriak Karin yang hanya dibalas kekehan tak berdosa dari Sigit. Caci maki dan sumpah serapah dari mulut Karin tidak membuat Sigit menghentikan aksinya. Dengan sekali kode, dua orang berandalan yang dibayarya itu mendekat. Mereka lantas menikmati tubuh polos Karin di depan matanya. Sigit tertawa puas melihat Karin yang menangis kesakitan.Sigit mendekati tubuh tak berdaya Karina. "Silakan lapor polisi, kalau mau video ini menyebar. Orang tuamu yang sombong itu, akan kena serangan jantung dan mati," desisnya sambil mengacungkan kamera ke arah Karin yang terus menangis. "Jangan anggap kamu paling pintar, Karin. Nggak semua orang percaya sama kelicikanmu!" sentaknya geram sambil mencengkram rahang
Mereka berdua tampak begitu riang. Keduanya duduk mengelilingi wadah berisi air, dengan binatang bergerak-gerak memutar di dalam baskom plastik tersebut. Tangan-tangan kecil itu terulur masuk ke air dan memainkan beberapa binatang berupa kepiting sawah atau yuyu itu dengan senang.Seperti anak kecil yang menemukan mainan kesayangan, keduanya asyik di situ. Sehingga tak menyadari beberapa pasang mata mengawasi mereka berdua. Pasang-pasang mata milik manusia itu menunggu mereka berdua benar-benar lengah."Gila, jijikin Rel, aku emoh. Wajahnya menjijikkan," bisik Dino bergidik ngeri yang langsung dibekap mulutnya oleh Farrel.Pemuda berambut biru itu melotot ke arah Dino yang masih ketakutan. "Jangan gagalin rencana, Cuk. Badan gede, rambut kayak preman, tapi takut tuyul. Sana pulang! Minta roknya Lek Santi, pakai!" bisiknya geram.Dino melengos dan melirik Vio yang tersenyum seolah mengejeknya. Dino mengumpat dalam hati, sungguh sialan kedua temannya itu."Cuk, awas kalau ngompol," bisik
"Pak, Pak!" Sang istri berteriak panik. Sedangkan sang suami masih memegangi lehernya yang seperti dipatahkan oleh tangan tak terlihat.Luar biasa sakit."Argh ... arghh!"Hanya kata itu yang keluar dari tenggorokannya. Tangan dan kakinya juga terasa ditindih dengan benda berat. Istrinya yang panik hendak berlari keluar rumah mencari pertolongan. Tetapi langkahnya terhenti ketika melihat makhluk yang selama ini diperlakukan seperti emas itu, meringkuk mengenaskan di ruangan tersebut. Tidak tahu kapan dia berada di situ, yang pasti, kondisinya juga begitu mengenaskan."Anakku..." ucap perempuan paruh baya itu dengan kebingungan. "Ono opo iki, Le?" ( Ada apa ini, Nak?) tanyanya sambil mengangkat tubuh kecil yang penuh luka lebam di mana-mana.Dia melangkah mendekati sang suami yang masih meringis dan meringkuk di lantai. "Pak, lihat kenapa anak ini? Terus kenapa tinggal satu, yang satu ke mana, Pak?" tanyanya kebingungan menatap sang suami dan anaknya.Laki-laki itu pun mendongak dan ter
"Nuraini, anakku..." gumam laki-laki itu dengan perasaan kalut. Laki-laki di depannya mengangguk tegas, dalam hati dia tertawa puas. Memanfaatkan orang bodoh yang berambisi kaya raya memang tidak terlalu sulit. Dengan menjadikan Nur sebagai tumbal maka dirinya sendiri tidak perlu repot-repot mencari tumbal untuk sesembahannya sendiri. Soal ilmu dompleng dan memanfaatkan keadaan adalah keahliannya. Sangat licik."Tapi Pak, apa nggak ada solusi lain?" tanya laki-laki berbadan ceking itu lirih. Sungguh, inilah yang dinamakan makan buah simalakama. Maju kena, mundur juga kena. Laki-laki di depannya memberikan reaksi gelengan kepala. Pertanda tak ingin dibantah."Aku nggak tega menjadikan anakku sendiri sebagai tumbal, Pak. Walaupun Nur nggak setuju aku mencari pesugihan, tapi semua ini demi dirinya juga. Dia anakku satu-satunya, Pak," ucapnya dengan bergetar. Membayangkan nyawa anaknya yang akan ditukar dengan harta kekayaan suatu hal yang berat. Walaupun nantinya harta itu yang akan me
Alisha menoleh cepat pada sang suami. Kemudian dia mengikuti arah pandangan Bintang. Laki-laki itu pun tampak terus beristighfar dan menggumamkan do'a. Tetapi anehnya, Alisha tidak melihat apa pun di depan sana. Dia hanya melihat seorang perempuan paruh baya duduk di teras rumah adat Jawa itu. Tepatnya di di depan pintu yang terbuka lebar. Alisha memperhatikan gerak-gerik perempuan bertubuh tambun tersebut. "Ngapain dia, Mas, kok noleh-noleh gelisah gitu?" tanyanya lirih, namun tidak mendapatkan jawaban dari Bintang. Laki-laki itu masih menatap ke depan sana yang jaraknya memang cukup jauh. Mungkin perempuan tersebut tidak menyadari kehadiran mobil yang hendak melewati jalan kecil depan rumahnya. Entahlah.Perempuan itu kemudian seperti merangkul seorang anak kecil duduk di pangkuannya. Ini pengalaman pertama bagi Bintang, setelah melihat makhluk aneh bermulut memanjang ke atas. Kemudian menangkap makhluk tersebut dan bisa memegangnya. Masih terasa ketika kulit tangannya menyentuh ku