“Maksud ke datangan kami kemari untuk melamar putri Anda!” ucap Abah terus terang pada sahabat pondoknya yang kini juga Kiyai di sebuah pondok Salaf.
Gadis yang ada di belakang Kiyai Mustofa itu terus saja menunduk. Terlihat wajahnya ayu yang di sembunyikan di balik rasa malu dan terus menunduk. Tapi tetap saja tidak membuat goyah hati Salman.
“Gimana anakku? Kamu menerima lamaran Kiyai Rifai?”
“Insya’Allah jika itu keputusan Abah yang terbaik. Awa akan menerimannya Bah!”
&n
“Iya, aku akan segera ke sana.” Resah dan khawatir bercampur menjadi satu. Diambil kerudung instans yang tergantung di pintu. “Udah malam, apa aku pergi sendiri aja.” Afura mengintip suaminya yang sudah terlelap di kamarnya. Diam-diam Afura keluar dari kamar, mengeluarkan motor matic dari garasi motor. Takut sebenarnya keluar malam-malam, apalagi ini udah jam 1 malam. “Bismillah!” “Mau ke mana?” tanya suara bariton yang berada di belakang Afura. Membuat jantungnya seperti mau keluar dari tempatnya saja. “Mas Abizar!” gumam
[Beberapa Tahun lalu] Afura menyelsaikan hafalanya di depan mikrofon di saksikan oleh para santri dan juga layar ponsel. Tidak sia-sia dia mencuri waktu untuk menyelsaikan hafalan. “sadakallahul azim….” Menyudahi bacaan suratnya. “Alhamdulilah Fa, kamu menyelsaikan hafalanmu. Bapak bangga sama kamu,” ucap Pria paru baya dari dalam ponsel. Suara mesin printer mendekteksi jatung terus terdengar. “Maafin Affa Bapak, nggak bisa ke sana!” suara Afura menahan isak tangis yang di tahankan. “Bapak ngerti banget Afura. Bapak, udah senang bisa meny
*** Afura dan Abizar bergegas memasuki lorong rumah sakit. Mencari kamar yang sudah di tunjukan Umi Ima. “Ini Mas, Kamar Melati 003.” Abizar langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Terlihat pria dengan wajah babak belur dan kaki di perban di atas bankar. Sedangkan Umi Ima dan Abah terlihat duduk di pinggir ranjang. “Syukurlah kalian datang! Umi benar-benar syok lihat adekmu udah jadi gini.” “Kamu ngapain sampai babak beluar hah?” tanya Abizar yang setengah emosi. 
Afura mengenggam erat telapak tangan Abizar. Tidak sengaja kuku panjangnya mencakar pria itu. “Awas Mas!” Di depan mereka ada kucing yang melintas. Mata Abizar menoleh ke Afura yang terus mengenggam tangannya.MBruk!Mobil Abizar tidak sengaja menambrak kucing tersebut. “Astagfirullah!” Mereka berdua turun dari mobil, memeriksa keadaan kucing tersebut. Ternyata kaki kucing malang itu terserempet mobil. “Astagfirullah, Mas ada kota P3K?” “Kayaknya ada di belakang.”
Semenjak kepergian Salman, sikap Abizar sangat aneh. Dia mendiamkan Afura beberapa hari. Bahkan, hanya berbicara seperlunya. Membuat perasaan Afura tidak enak. “Ih, emang aku pernah ada salah gitu? Kok, diemin aku,” gertu Afura sambil mondar-mandir di depan Asrama Ustadzah. “Seharusnya kan, aku yang marah. Dia udah udah bilang kasar sama aku kemarin.” “Hai Bu Nyai, lagi apa sih. Kok, mukanya kayak seterika rusak.” “Bukan apa-apa.” “Bohong!” tunjuk Hanina tidak percaya.&nbs
Pyar! Sebuah batu besar menghantam kaca asramaputra membuat seluruh santri keluar dengan ketakutan. Kejadian itu bukan hanya sekali tapi berulang kali selama satu minggu. Abah dan Abizar bergegas menuju tempat kerjadian perkara dengan wajah panik. “Mana batunya?” “Ini Ustadz!” Rama ketua pengurus asrama Khalid bin walid menyerahkan batu yang di bungkus kertas. Abizar membuka isi surat tersebut yang bertulis ‘Pondok Pembunuh’ “Astagfirullah siapa yang menulis ini?” “Bawa dia ke kantor Abah. Dan kerahkan seluruh santri untuk menjaga keamaan pondok lebih ketat.” “Baik Bah!” Abizar tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Abah Rifaai. Di dalam kantor pengasuh, Abah memegang kepalanya yang penat. Sudah puluhan tahun pria tua itu mengurus santri. Tapi belum pernah ada kejadian seperti ini. “Gimana Bah, udah hampir seminggu pondok di terror. Alangkah lebih baiknya kita lapor ke polisi.”
“Gimana Mas? Kasus terror di pondok sudah selesai?” tanya Afura sambil meletakkan sup di atas meja. “Udah.” “Alhamdulilah Mas… Mas!” “Iya, ada apa?”Afura meletakkan tangan suaminya di atas kepala. “Maaf Mas, aku baru memintak maaf sekarang. Dan apapun kesalahnku, aku benar-benar mintak maaf.” “Gadis ini, apa aku terlalu keras padanya,” batin Abizar. “Saya maafkan.”&nbs
“Maaf Mas!” tutur Afura di depan pintu toilet pesawat. Dia benar-benar merasa bersalah karena muntah di kemeja Abizar. Pria itu keluar dari toilet dengan wajah datar. Terlihat wajah lelah kesal bercampur menjadi satu. “Masukin bajuku ke kresek!” “Iya Mas.” Mereka pun meneruskan perjalan dengan diam-diaman. Hingga sesampainya di bandara, Ulin di abaikan oleh Abizar. “Kumat deh Mas Abizar,” batin Afura. “Tunggu Mas!” teriak Afura sambil membawa barangnya yang banyak. Hingga dia menabrak seseorang bertubuh besar. Membuat badannya meringsut kebelakang. “Aw!” “I’am Sorry!” ujar B