[Beberapa Tahun Lalu]
Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu.
“Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.
Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang.
“Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Ma..maaf Mas! Aku ngambilin serbet ya?” Afura bergegas pergi ke daput dengan tergopo-gopo. Sampai-sampai menyandung meja dapur dan kursi. “Ini Mas!” Menyerahkan kain pada suaminya.“Kamu masih nyuruh saya bersihin?”“Maaf.” Afura langsung jongkok dan membersihkan kaligrafi Abizar yang tersiram kopi.“Saya udah bilang nggak butuh kopi. Tapi lihat, kamu tetap buat kopi sampai kaligrafi saya kotor!” jelas Abizar panjang lebar saking marahnya. “Kamu itu emang keras kepala. Seperti bekal yang biasa kamu bikin. Saya udah bilang nggak mau tapi tetap kamu bawain. Dan saya kemarin sengaja buang bekal itu di depanmu agar kamu sedikit sadar bahwa perjuanganmu sia-sia. Saya tetap tidak akan pernah mengingatmu.”Mendengar ucapan Abizar yang menusuk dadanya. Afura langsung beranjak pergi ke kamar. “Hiks…hiks…”&
“Keluar kamu Afura! Jangan rusak acara ini.” “Diam kau mas, aku tidak berurusan denganmu.” “Apa?” teriak rahang Abizar mengeras menahan amarah. “Kamu berani dengan suamimu Afura?” Afura tidak menghiraukan perkataan Abizar. Malahan menggeser lengan Abizar agar tidak menghalangi jalannya. “Kamu kemarin nanyak gimana perasaanku terhadapmu?” tanya Afura pada Salman yang langsung merespon dengan berdiri. “Aku masih mencintaimu, batalkan pernikahanmu.” “Lalu, Mas Abizar?”&nb
“Diam! Kepala pusing mendengar ocehanmu.” “Mas, awas!” Afura mendorong kuat lengan Abizar membuat pria itu terpental. Bruk! Satu batang bambu yang di gunakan untuk menyanggah bangun jatuh tepat di atas kaki Afura. Untung saja, gadis itu segera mendorong Abizar. Sehingga pria itu terhindar dari bahaya. Sayangnya, kaki Afura yang menjadi penggantinya. “Aw..aw...” Afura mengigit ujung bibirnya sambil menahan rasa sakit di kakinya. Melihat Hal itu, membuat Abizar panik. Dia segera mengangkat bambu menjauh dari atas kaki Afura. “Kamu bodoh, ngapain pakai ngorbanin diri.” “Yang penting, Mas Abizar nggak kenapa-kenapa.” “Dasar bodoh, aku baru melihat gadis sebodoh dia,” batin Abizar. “Bentar, aku panggilan santri untuk membawamu ke rumah.” “Jangan Mas, takutnya masalah ini tambah heboh. Kemarin aja ada tukang yang jatuh wali santri heboh. Mereka berniat mencabut anak mereka dari pondok. Apalagi para donator, yang mengatak
3 tahun lalu…. Wanita berkerudung panjang dengan kerutan di dahi itu merasa pusing memikirkan anaknya yang tidak mau kuliah. Entah, setan apa yang menghasutnya. Jangan-jangan ini semua atas hasutan teman-teman nongrkongnya yang ada di dekat pasar itu. “Assalamualaikum!” suara parau Salman yang baru pulang. “Dari mana saja kamu?” “Dari berdakwah Umi.” “Berdakwah apa? Orang kerjaanmu duduk di dekat pasar sana!” “Umi, aku hanya ingin dekat ke warga agar tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Juga sebagian dari mereka adalah temanku sd.”” “Omong kosong! Lebih baik kamu lanjutkan kuliahmu sana!” “Umi, aku ingin fokus berdakwah. Lihat! Aku sampai bikin chanel youtube bareng masyarakat. Kami bahkan mencoba untuk berdakwah di tempat balapan liar.” “Astaga! Kamua sampai masuk ke tempat kotor itu. Mending kamu fokus kejar masa depanmu. Janga
Umi Ima mengoyang-goyangkan tubuh putranya. “Sadar Salman! Umi memang merasa bersalah selama ini tanpa sadar membuatmu terluka. Tapi, apa mungkin kamu menikah dengan istri kakakmu sendiri?” “Salman tahu, Kak Abizar belum bisa mengingat dan bahkan mencintai istrinya.” “Semuanya butuh proses Salman, tidak mungkin kita dapat uang tanpa bekerja.” “Tapi, Salman nggak mau lihat Afura terluka dan pingsan seperti kemarin. Salman nggak mau dia menderita Umi.” “Jaga ucapanmu, menikah bukanlah hal yang mudah. Dan sebuah rumah tangga pasti ada naik tu
Wanita paruh baya itu terbangun dari tidur dengan berteria. Mulutnya termengap-mengap seperti sedang melihat setan. Keringat dingin bercucuran dari pelipis keriputnya. “Ada apa Umi?” Abah yang tertidur di samping Umi sampai bangun. Terlihat wajahnya tidak kalah khawatir melihat istrinya tiba-tiba berteriak di tengah malam. “Umi minum dulu ya! Bentar, Abah ngambilin.” Tangan Abah terulur mengambil segelas air. “Makasih Bah!” Umi memegang gelas itu dan meneguknya keras. Sampai-sampai Abah bisa mendengar suara tegukan tenggorankan Umi Ima.Tiba-tiba Umi Ima menangis histeris sambil menangkup wajahnya. “Hiks…hiks…” &ld
“Maksud ke datangan kami kemari untuk melamar putri Anda!” ucap Abah terus terang pada sahabat pondoknya yang kini juga Kiyai di sebuah pondok Salaf. Gadis yang ada di belakang Kiyai Mustofa itu terus saja menunduk. Terlihat wajahnya ayu yang di sembunyikan di balik rasa malu dan terus menunduk. Tapi tetap saja tidak membuat goyah hati Salman. “Gimana anakku? Kamu menerima lamaran Kiyai Rifai?” “Insya’Allah jika itu keputusan Abah yang terbaik. Awa akan menerimannya Bah!”&n
“Iya, aku akan segera ke sana.” Resah dan khawatir bercampur menjadi satu. Diambil kerudung instans yang tergantung di pintu. “Udah malam, apa aku pergi sendiri aja.” Afura mengintip suaminya yang sudah terlelap di kamarnya. Diam-diam Afura keluar dari kamar, mengeluarkan motor matic dari garasi motor. Takut sebenarnya keluar malam-malam, apalagi ini udah jam 1 malam. “Bismillah!” “Mau ke mana?” tanya suara bariton yang berada di belakang Afura. Membuat jantungnya seperti mau keluar dari tempatnya saja. “Mas Abizar!” gumam