Selesai Salat Subuh, Abah mengiring putranya duduk di depan teras masjid. Melihat para santri satu persatu keluar dari masjid dengan berlari. Di pagi hari, ada kewajiban bagi santri untuk belajar di luar Asrama. Jadi seluruh santri cepat-cepat berlari agar tidak telat belajar. Jika telat, ada bagian pengajaran yang menghukum mereka.
“Man Jadda, wa Jadda!” teriak salah satu santri menggema di tengah-tengah lapangan.
“Fakkir Kobla…” timpal santri lain membuat suasana pondok ramai dengan hafal-hafalan.
Abah menatap putranya. “Bagaimana Le, hubunganmu dengan istrimu.”
“Baik-baik saja Bah!”
“Bohong! Matamu jelas mengatakan hal lain.”
“Wajar Bah, kalau hubunganku dengannya itu nggak baik-baik saja. Aku juga nggak kenal dia Bah.”
“Dia istrimu Le, coba kamu belajar untuk menerima semuanya.”
“Semua ini seperti mimpi Bah. Tiba-tiba aku punya istri yang sama sekali nggak aku kenal.”
“Walaupun rasanya aneh. Tapi inilah kenyataanya. Kamu adalah suaminya sah di mata agama dan Negara. Kamu sudah mengingkat janji dengan Allah akan menjaganya seumur hidupmu Zar.”
“Janji apanya Bah, aku aja nggak inget pernah ucapin ijab Kabul atas namanya.”
“Astagfirullah Zar. Nyebut kamu! Dia istrimu. Ingat ketika Rasullah di perintahkan Allah untuk menikahi Zainab, mantan istri dari putra ngangkatnya sendiri. Walaupun beberapa kali Rasullah menyangkal tapi itu perintah Allah. Hingga Allah menikahkan Zainab dengan Rasul di langit. Ini seperti kisahmu, walaupun kamu menyangkal. Dia tetap istrimu Zar. Karena Allahlah kalian bersama.”
Tertunduk amat lama mendengar nasehat Abahnya. Mencoba mencerna satu persatu perkataan Abah agar di terima oleh akal pikiran sehatnya.”Tapi kenapa Bah, setelah satu tahun lamanya. Dia baru muncul dan mengaku-ngaku sebagai istri Abizar.”
“Abah juga nggak tahu. Tapi Abah yakin Afura punya alasan sendiri kenapa baru mengaku sekarang.”
“Sudah mau jam enam Bah. Abizar pamit pulang dulu.”
“Hati-hati… Abah nitip salam sama istrimu.”
“Insya’Allah Bah! Assalamualaikum.”
“Walaikumsallam.”
***
Masa Lalu…
Wanita berambut hitam panjang merapikan kasur di kamarnya. Wajahnya memerah saat mengingat-ingat malam pertama mereka. Mereka baru menjalankan ibadah sepasang suami istri setelah 3 minggu menikah. Karena waktu akad nikah, Afura baru saja haid.
Satu buah bantal terlempar di punggungnya. Walaupun tidak terasa sakit dia sedikit kesal. Afura memutar kepala. Melihat suaminya menyungging senyum menggoda.
“Mas! Aku udah capek-capek beresin loh. Kok, malah di berantakin lagi.”
Bukannya merasa bersalah Abizar kemudian mengambil bantal lagi dan memukul istri. Terlihat amarah Afura terpancing. Dia pun membalas pukulan suaminya yang suka menggoda. Perang kapuk pecah di kamar. Karena kelelahan Afura menghentikan perang dan menjatuhkan badannya di kasur. Kemudian di susul Abizar menjadikan perut Afura menjadi bantal.
“Paling suka liet istriku marah.”
“Mas…” gertu Afura lalu tertawa. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini setelah di tinggal ayahnya.
“Sayang!”
“Apa?”
“Besok aku pingen bekal buatanmu. Nggak suka masakan dapur.”
Karena kegiatan mengajar di pesantren sangat padat. Dan baru selesai pembelajaran adalah jam 3 siang. Membuat pondok mengambil kebijakan menyiapkan makan siang untuk para pengajar. Dengan menu sangat lezat dan bervariasi tapi tetap sederhana.
“Masakan Ustadz-ustadzah itu paling enak loh Mas. Dulu waktu jadi santri, aku sering makan sisa ustadz-ustadzah kalau habis piket,” jelas Afura.
Di pondok santriwati kelas empat sampai 6 di gilir piket pagi dan piket malam. Piket malam adalah menjaga pondok di malam hari. Sedangkan piket pagi adalah bersih-bersih pondok putri dan juga membantu Mak dapur menyiapkan masakan untuk para guru.
“Oh, jadi masakan di dapur guru habis gara-gara kamu.” Abizar mengelitiki Afura sampai mereka tertawa bersama.
Pagi itu Abizar membawa bekal buatan istrinya. Membuat semua guru-guru di kantor menggoda Abizar. Tapi dia hanya menjawab dengan senyuman. Hingga suatu hari Abizar lupa membawa bekal makanan. Sedangkan masakan Mak dapur sudah habis.
Hujan mengguyur tanah pesantren untuk pertama kalinya. Abizar hanya menyaksikan rintikan hujan dengan perut keroncong. Ingin pulang tapi dia lupa tidak membawa payung. Mau menghubungi istrinya dia tidak tega harus menyaksikan istrinya hujan-hujanan.
“Lapar! Andai ada bekal,” cicit Abizar sambil menggosok-nggosok perut kosongnya.
“Mas!” teriak gadis di tutupi mantel warna biru. Mengayunkan sepedah ke arah kantor Abizar. Mata lelaki itu mendilik saat melihat istrinya datang dengan berani menerjang hujan.
Memparkirkan sepedah. Menghampiri Abizar yang mematung melihat kedatangannya. “Bekalmu ketinggalan. Aku sengaja datang ke sini buat anterin bekal. Takut, kamu mati kelaparan,” kekehnya.
“Lepaskan mantelmu!”
“Nggak usah. Aku mau langsung pulang.”
“Lihat! Hujan deras seperti ini kamu mau pulang. Nggak boleh!”
“Ayolah Mas! Besok ada tamu Umi dari sumenep inep di rumah kita. Aku harus bersih-bersih dong.”
“Nggak boleh. Tetap di sini sampai aku selesai makan.”
Afura menghelai nafas putus asa dan mengikuti perintah suaminya. “Baiklah. Tapi habis makan, aku langsung pulang.”
Abizar mengajak Afura duduk di depan kantor. “Duduk sini!”
“Nggak di dalam dapur aja. Nggak enak di lihat.”
“Kitakan udah suami istri. Ngapain malu.”
“Cie…cie… mentang-mentang pengantin baru istri sampai di bawa ke tempat kerja,” goda salah satu guru luar yang khusus mengajari pelajaran Umum untuk para santri.
“Aduh… terasa dunia milik berdua,” timpal yang lain.
“Padahal hujan lebat, Ning Afura berani banget.”
Karena pelajaran agama dan Umum jadi satu. Guru Umum yang berasal dari luar pondok dan guru pondok asli berasal dari pondok atau pondok lain yang system pendidikannya sama.
“Lagi nyari pahala. Makanya berdua sama istri.” Abizar menarik tubuh Afura agar semakin dekat duduknya. Membuat wajahnya berubah merah padam.
“Kan Mas, aku malu.”
“Nggak papa.” Abizar masuk kembali membuatkan teh hangat untuk istrinya. Kemudian memeluk tangan dingin Afura. “Dingin.”
“Lumayan.”
“Lain kali jangan nekat. Aku takut kamu kenapa-kenapa.”
“Kan, deket.”
“Tetap aja bahaya. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.”
“Aku takut kamu kelaparan. Katamu, kamu nggak mau makan makanan selain buatanku.”
“Tapi kalau menyangkut nyawa istriku itu beda.”
Afura tersipu malu dengan tangan di genggam Abizar. Di bawah guyuran hujan. Jatung terus berderup kencang.
Beberapa guru yang lewat baper melihat kemesraan Abizar dan Afura. “Astagfirullah! Hujan-hujan tambah berduan di sini,” pekik salah satu guru bahasa Indonesia bertubuh besar. Dia adalah mantan guru Afura, buru-buru Afura mencium tangannya.
“Iya Cik! Menikmati bulan madu ke dua.”
“Jangan gitu, aku jadi iri nanti,” cetusnya. “Duh, nggak nyangka kamu udah nikah Fa! Kayaknya baru kemarin gulung-gulung depan gerbang pondok.”
“Cik! Bikin malu aja.” Afura tersipu malu. Kemudian guru Afura kembali ke dalam kantor.
Afura melihat suaminya melahap habis makanan buatannya. “Emang makanan buatan kamu paling enak ke dua setelah masakan umi.”
***
Kembali kemasa kini…
Kenangan manis itu membuat dada Afura semakin sesak. Dulu, suaminya selalu memuja masakannya. Tapi sekarang, masakan yang susah payah di buatnya itu malahan di buang tepat depan matanya. Rasa kecewa marah bercampur menjadi satu. Tapi niatnya untuk memarahi suaminya hanya terurungkan.
“Begitu sulitkah Mas mengingatku kembali.”
Jangan lupa Follow akun resmi author IG : aysea_akira20 Tik tok: @aysea_akira Twitter : Ayeaakira
Hari ini adalah hari pertama Afura kembali mengajar di pondok sebagai Ustadzah pembimbing. Para santri menyambutnya dengan penuh antusias. “Alhamdulilah… Ustadzah Afura kembali ngajar.” “Maaf, kemarin Ustadzah lagi sibu.” “Hmm… hmm… sibuk berduaan sama Ustadz Abizar,” bisik Hanina, Ustadzah yang sudah mengabdi 2 tahun.Afura hanya membalas dengan tatapan melotot kemudian menyuruh Santriwati berkerudung putih senada masuk ke dalam ruang komputer. Menyuruh mereka memakai earphone yang sudah tersambung dengan kom
[Beberapa Tahun Lalu]Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu. “Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang. “Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Ma..maaf Mas! Aku ngambilin serbet ya?” Afura bergegas pergi ke daput dengan tergopo-gopo. Sampai-sampai menyandung meja dapur dan kursi. “Ini Mas!” Menyerahkan kain pada suaminya.“Kamu masih nyuruh saya bersihin?”“Maaf.” Afura langsung jongkok dan membersihkan kaligrafi Abizar yang tersiram kopi.“Saya udah bilang nggak butuh kopi. Tapi lihat, kamu tetap buat kopi sampai kaligrafi saya kotor!” jelas Abizar panjang lebar saking marahnya. “Kamu itu emang keras kepala. Seperti bekal yang biasa kamu bikin. Saya udah bilang nggak mau tapi tetap kamu bawain. Dan saya kemarin sengaja buang bekal itu di depanmu agar kamu sedikit sadar bahwa perjuanganmu sia-sia. Saya tetap tidak akan pernah mengingatmu.”Mendengar ucapan Abizar yang menusuk dadanya. Afura langsung beranjak pergi ke kamar. “Hiks…hiks…”&
“Keluar kamu Afura! Jangan rusak acara ini.” “Diam kau mas, aku tidak berurusan denganmu.” “Apa?” teriak rahang Abizar mengeras menahan amarah. “Kamu berani dengan suamimu Afura?” Afura tidak menghiraukan perkataan Abizar. Malahan menggeser lengan Abizar agar tidak menghalangi jalannya. “Kamu kemarin nanyak gimana perasaanku terhadapmu?” tanya Afura pada Salman yang langsung merespon dengan berdiri. “Aku masih mencintaimu, batalkan pernikahanmu.” “Lalu, Mas Abizar?”&nb
“Diam! Kepala pusing mendengar ocehanmu.” “Mas, awas!” Afura mendorong kuat lengan Abizar membuat pria itu terpental. Bruk! Satu batang bambu yang di gunakan untuk menyanggah bangun jatuh tepat di atas kaki Afura. Untung saja, gadis itu segera mendorong Abizar. Sehingga pria itu terhindar dari bahaya. Sayangnya, kaki Afura yang menjadi penggantinya. “Aw..aw...” Afura mengigit ujung bibirnya sambil menahan rasa sakit di kakinya. Melihat Hal itu, membuat Abizar panik. Dia segera mengangkat bambu menjauh dari atas kaki Afura. “Kamu bodoh, ngapain pakai ngorbanin diri.” “Yang penting, Mas Abizar nggak kenapa-kenapa.” “Dasar bodoh, aku baru melihat gadis sebodoh dia,” batin Abizar. “Bentar, aku panggilan santri untuk membawamu ke rumah.” “Jangan Mas, takutnya masalah ini tambah heboh. Kemarin aja ada tukang yang jatuh wali santri heboh. Mereka berniat mencabut anak mereka dari pondok. Apalagi para donator, yang mengatak
3 tahun lalu…. Wanita berkerudung panjang dengan kerutan di dahi itu merasa pusing memikirkan anaknya yang tidak mau kuliah. Entah, setan apa yang menghasutnya. Jangan-jangan ini semua atas hasutan teman-teman nongrkongnya yang ada di dekat pasar itu. “Assalamualaikum!” suara parau Salman yang baru pulang. “Dari mana saja kamu?” “Dari berdakwah Umi.” “Berdakwah apa? Orang kerjaanmu duduk di dekat pasar sana!” “Umi, aku hanya ingin dekat ke warga agar tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Juga sebagian dari mereka adalah temanku sd.”” “Omong kosong! Lebih baik kamu lanjutkan kuliahmu sana!” “Umi, aku ingin fokus berdakwah. Lihat! Aku sampai bikin chanel youtube bareng masyarakat. Kami bahkan mencoba untuk berdakwah di tempat balapan liar.” “Astaga! Kamua sampai masuk ke tempat kotor itu. Mending kamu fokus kejar masa depanmu. Janga
Umi Ima mengoyang-goyangkan tubuh putranya. “Sadar Salman! Umi memang merasa bersalah selama ini tanpa sadar membuatmu terluka. Tapi, apa mungkin kamu menikah dengan istri kakakmu sendiri?” “Salman tahu, Kak Abizar belum bisa mengingat dan bahkan mencintai istrinya.” “Semuanya butuh proses Salman, tidak mungkin kita dapat uang tanpa bekerja.” “Tapi, Salman nggak mau lihat Afura terluka dan pingsan seperti kemarin. Salman nggak mau dia menderita Umi.” “Jaga ucapanmu, menikah bukanlah hal yang mudah. Dan sebuah rumah tangga pasti ada naik tu
Wanita paruh baya itu terbangun dari tidur dengan berteria. Mulutnya termengap-mengap seperti sedang melihat setan. Keringat dingin bercucuran dari pelipis keriputnya. “Ada apa Umi?” Abah yang tertidur di samping Umi sampai bangun. Terlihat wajahnya tidak kalah khawatir melihat istrinya tiba-tiba berteriak di tengah malam. “Umi minum dulu ya! Bentar, Abah ngambilin.” Tangan Abah terulur mengambil segelas air. “Makasih Bah!” Umi memegang gelas itu dan meneguknya keras. Sampai-sampai Abah bisa mendengar suara tegukan tenggorankan Umi Ima.Tiba-tiba Umi Ima menangis histeris sambil menangkup wajahnya. “Hiks…hiks…” &ld