Seleb 8.Aku keluar dari kamar, seperti uring-uringan bolak balik dari ruang tengah, teras, dan ke kamar. Gak biasanya sinyal seperti lumpuh total, padahal sejak lama aku sudah pakai provider yang bisa dibilang paling kuat sinyalnya. Aku berkali-kali berdecak kesal karena harus mengecek beberapa data di ponsel ini, juga harus mengirimkan beberapa keperluan lainnya untuk orang lain. Namun, karena masalah sinyal, jadi terhambat.Ah, menyebalkan sekali. Padahal sejak awal menikah, aku sudah bertanya pada Bang Fahri mengenai sinyal di rumahnya. Bagus katanya.Aku kembali ke teras, dan menarik salah satu kursi. Bahkan aku tak peduli pada Adel yang sedang sibuk mereview salah satu produk bodycare lokal yang sangat terkenal, juga sangat terkenal suka bagiin sampel dan memakai jasa endorse seleb pemula yang memerlukan dukungan.Aku menjauh dari Adel, karena gak mau ribut, masih pagi."Pasti iPhone bekas kan?" Tiba-tiba aku menoleh pada Adel. Lalu, menatap ponsel yang kini kupegang. Mungkin
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 6."Maaaak, apa ini apa ini?" Mata Adel membeliak saat menerima sebuah paket dari kang kurir."Lah mana kutau, itu punya kau!" kata Ibu."Beneran? Cubit aku, Mak. Cubit aku," kata Adel pada Ibu yang kini berada di sampingnya.Sudah tak heran lagi kalau di rumah ini sering diisi dengan teriakan Adel, katanya live memang harus seru dan gokil biar gak pada pindah lapak.Kadang aku merasa dia terlalu heboh dengan teriak-teriak. Kadang emang udah kayak itu tuh, neriakin monyet yang lagi nyolong mangga tetangga.Apa harus serame itu untuk live? Entahlah.Aku pernah juga ngepoin livenya, yang nonton cuma sekitar lima puluhan. Entah mereka co semua atau tidak. Belum berani kutanyakan ke Adel.Ibu pun mencubit pipi Adel atas perintahnya, ia pun meringis kesakitan."Maaaak sakit, pen nangis.""Ya nangis aja lah kau. Suruh nyubit sendiri, habis tu bilang sakit sendiri. Lama-lama kau makin sarap kau gini, Nak." Ibu mendumel panjang lebar, lalu ia kembali ke tempat jualan es tebu."Gak mimp
Seleb 5.Minggu sore kulihat Ozan kembali duduk di gazebo belakang rumah. Itu anak-anak benar-benar adem banget jiwanya. Dia mengalah lagi dari Adel.Bang Fahri beberapa hari ini masih menghabiskan waktu di sawah. Suamiku memang tipe orang yang gak bisa duduk diam rumah, harus gerak biar berkeringat.Ibu pun seperti itu kulihat. "Bang, kenapa Mamak masih kerja? Kasian kali lah Adek tengok. Bisa gak Mamak gak usah kerja lagi?" kataku pada Bang Fahri saat kami akan tidur malam hari."Mamak tuh gak bisa kalau gak kerja. Bisa sakit badannya, Dek!""Lah, kok gitu?""Ya gitu, karena memang udah dari dulu Mamak jualan es tebu. Langganan pun udah banyak, katanya kalau beli di tempat lain banyakan campur air atau pemanis buatan biar makin banyak untung."Bang Fahri menjelaskan. Katanya, Ibu jualan es tebu sejak setelah Bapak meninggal.Dulu Bapak kerja di pabrik, nanam sayur, bajak sawah, apapun ia kerjakan. Ia sempat beli lahan dan membangun rumah ini dari hasil kerjanya. Namun, takdir mere
Seleb 4.Aku baru keluar dari kamar setelah mandi pagi. Namun, kulihat Ozan membuat beberapa gerakan dan berbisik pada Adel yang sedang live. Terlihat Adel hanya melihat sekilas, tanpa peduli.Ozan tak mau suaranya malah terekam live Adel, sebab itu ia hanya mengisyaratkan dengan gerakannya dan menunjukkan pada kakaknya itu.Ia malah asik dengan live jualannya."Harganya cuma 60 ribuan, buaruan di co ya. Kapan lagi dapat harga murah, gais, khusus di room live aku ya. Setelah live, harga balik ke normal."Adel malah masih terus mempromosikan barang-barang yang dijualnya melalui live. Entahlah dengan Adel, entah berapa pendapatannya sehari dari live itu hingga ia mengabaikan Ozan yang mau ngomong sama dia.Ozan pasrah, terlihat ia yang menghembuskan napas lelah."Kenapa, Zan?" tanyaku.Hari ini Sabtu, Ozan libur kuliah. Bang Fahri juga libur kerja, tapi ia tak di rumah. Bang Fahri ke sawah, karena ingin membersihkan rumput liar di sawah agar tak mengganggu padi yang sedang hijau."Ribu