Share

2. BENAR KESIANGAN

“Astaga … lupa!” Mas Yusuf menepuk jidatnya sendiri. “Almira, kenapa kamu udah bangun? Katanya capek?” tanyanya kepadaku. 

Mbak Diva masih tertawa sambil melihat diriku kemudian beralih menatap Mas Yusuf. “Kamu tahu? Istrimu mengira kalau ini udah siang. Dia panik, padahal ini masih jam 1 malam. Bhahahaha ….”

“Aduh, maaf, Almira! Nanti aku ganti baterainya.” Enteng sekali Mas Yusuf berujar. Aku sudah kelimpungan dan panik setengah mati karena melihat jam dinding di kamarnya yang ternyata mati. 

“Hm.” Hanya itu sahutan kecilku. Ingin marah juga segan karena ada Mbak Diva.

Mas Yusuf mengusap pundakku sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu. Kata Mbak Diva, wajar jika sampai larut malam sanak saudara maupun teman dekat Mas Yusuf masih begadang meski acara sudah usai. Itu sudah biasa di sini. 

Mbak Diva mengajakku kembali ke kamar. Semua perempuan di rumah ini sudah tidur, kecuali kami berdua. Ibu mertua juga sudah terlelap karena Mbak Diva bilang jika Ibu kelelahan. 

“Almira, kamu gak lihat jam sebelum tidur tadi? Aku pikir kamu tahu kalau jam di kamar Yusuf itu mati.”

“Aku gak sadar, Mbak. Aku lihat jam di HP dan langsung tidur.” 

“Hihihi …. Yaudah, kamu tidur sekarang! Gak usah buru-buru bangun! Aku tahu kamu capek. Jangan terlalu kaku dan jangan takut kalau bangun kesiangan! Pengantin baru … wajar.” Mbak Diva mengedipkan sebelah mata kepadaku. 

Aku hanya meringis menanggapi ucapan Mbak Diva. Saat Mbak Diva keluar kamar, aku mencari ponselku. Sedari tadi memang aku tidak mendapati ponsel milikku. Wajar saja jika aku melihat jam dinding Mas Yusuf sebagai patokan. 

“Di mana, ya?” Semua bantal dan guling sudah aku singkap. Namun, tak kudapati benda yang kucari itu. 

Dalam sekejap, aku melihat benda hitam terselubung di celah kasur dan dipan. Entah tidur dengan gaya apa sehingga ponselku bisa nyempil di sana. 

Sudah, prakara jam sudah selesai. Kini aku bisa kembali melanjutkan tidur karena jujur, memang masih sangat berat untuk membuka mata meski tadi sudah mandi. Mbak Diva juga tampak santai dan tidak mempermasalahkan jika aku bangun kesiangan. Ya sudah, ngebo sesekali rasanya tak masalah.

**

“Astaga, Mas! Ini jam tujuh, ha?” Aku terbelalak saat melihat jam di ponsel. Jam di dinding juga menunjukkan pukul tujuh. Itu artinya, jam dinding itu sudah betul. 

“Mas!” Aku mengguncang tubuh Mas Yusuf. Dia tetap memejamkan mata meski bibirnya mengulas senyum. 

“Mas! Duh, kok, kamu gak bangunin aku?” 

“Alarm-mu sudah bunyi, tapi aku matikan karena kamu gak dengar. Menyimpan HP di bawah bantal itu gak baik. Jangan ulangi lagi! Kamu juga udah aku bangunin, tapi kamu malah nendang.” Mas Yusuf menyahut sambil memejamkan mata. 

Nendang? Apa benar aku menendang suamiku? Perasaan aku anteng-anteng saja. “Em … Mas, ini hari pertamaku di rumah kamu. Kalau aku bangun siang, apa kata Ibu?” tanyaku khawatir. 

Mas Yusuf menarik tubuhku dalam dekapannya. Dia tersenyum dan semakin mengeratkan tangan kekarnya di tubuhku. Entah kenapa ini begitu geli kurasa. Embusan napasnya pun membuat sekujur tubuh ini merinding. 

“Kamu gak usah takut! Kamu gak usah panik! Ibuku itu sangat santai. Ibuku gak akan marah meski menantunya yang sangat cantik ini bangun kesiangan.”

“Healah! Jelas saja aku menantu Ibu yang paling cantik karena dua menantu lainnya laki-laki. Oiya, gimana nanti kalau Ibu marah, Mas?” Jujur, aku sangat khawatir jika ibu mertuaku marah besar gara-gara cerita Hela dan Rini. 

Mas Yusuf membuka mata kemudian tersenyum melihat diriku. Baru kali ini aku melihat wajah Mas Yusuf dengan jarak dekat. “Coba saja keluar sekarang! Lihat reaksi Ibu!”

“Sendiri?”

“Ya iyalah. Aku ngantuk, Sayang. Aku baru tidur satu jam yang lalu.”

“Gak mau. Takut.” 

Mas Yusuf terkekeh dan kembali memejamkan mata. Terdengar suara ramai-ramai. Mungkin orang-orang sedang membongkar tenda pernikahan semalam. Terdengar pula suara panci dan peralatan dapur lainnya yang saling bersahutan. Aduh! Pasti semua lagi bersih-bersih, tapi aku enak-enakan tidur di sini. 

**

Berjam-jam sudah aku berada di kamar sampai Mas Yusuf bangun. Pukul sepuluh kami keluar dari kamar. Kulihat semuanya sudah bersih dan rapi. Lantai rumah juga sudah dipel. 

Aku sangat lapar, tetapi takut untuk mengambil makanan. Untung saja Mas Yusuf peka. Dia segera mengajakku ke dapur. Sebenarnya aku ingin makan di kamar, tetapi Mas Yusuf melarang. 

“Eh, eh! Menantuku baru bangun.” 

Rasanya aku memang akan uji nyali. Keringat dingin mulai menjalar di seluruh tubuh. Ibu mertua tiba-tiba duduk di sampingku. Sama sekali aku tidak berani menatapnya. 

“Mir, makan yang banyak! Lagian, Yusuf itu gimana? Istrinya baru diajak keluar kamar jam segini. Pasti kelaparan, kan?” 

Aku masih menunduk dan tersenyum menanggapi ucapan Ibu. Hanya Mas Yusuf saja yang menimpali dengan kata maaf. 

“Loh? Kok, berhenti makan? Malu, ya, karena ada ibu di sini? Ya udah, lanjutkan dulu makannya! Gak usah terburu-buru. Tambah lagi lauknya!” 

Aku pun mengangguk. Rasanya lega saat Ibu beranjak. Saat berada di dekatku tadi, aku seperti sedang sidang skripsi meski Ibu tampak santai. Semua ini karena Hela dan Rini. Andai mereka tidak menakutiku, pasti aku tidak akan seperti ini. 

Usai makan, aku belajar mencuci piring. Sekedar mencuci piring, bisalah. Hanya digosok-gosok lalu dibilas. Biasanya aku tak pernah melakukan ini karena memang malas. 

Saat hendak ke kamar, Mas Yusuf menarik tanganku. Dia mengajakku ke ruang tamu, berkumpul bersama keluarga besarnya. Dua kakaknya bernama Mbak Diva dan Mbak Dewi ada di sana beserta suami dan anak mereka yang tengah bermain bersama Ibu. 

“Sini! Jangan kaku-kaku! Kita ngobrol bareng biar makin dekat!” kata Mbak Dewi seraya memberikan tempat kepadaku.

Aku yang semula hendak duduk di samping Mas Yusuf pun segera mengambil posisi di dekat Mbak Dewi. Rasanya canggung sekali. Mereka semua masih membahas perihal diriku yang salah melihat jam. Semuanya tertawa, termasuk diriku yang menertawakan diri sendiri. 

“Mir, kamu itu gak usah takut bangun siang di sini. Ibu kasih tahu, ya! Ibu baru mulai masak itu selesai subuh. Itu kalau masak, terkadang ibu beli yang udah matang di ujung jalan sana,” ujar ibu mertua. 

“Kalau lagi pengin masak, ya, masak. Kalau gak pengin masak, ya, beli," timpal Mas Yusuf. 

Setahuku, di rumah ini memang hanya ditempati Ibu dan Mas Yusuf. Ayah Mas Yusuf sudah tiada beberapa tahun lalu. 

“Rumah ini sekarang rumah kamu juga. Kamu bersedia tinggal bersama ibu, itu ibu udah sangat senang. Jangan sungkan melakukan apapun! Jangan mengira kalau ibu ini akan banyak mengatur dan menuntut! Gak, ibu gak akan lakukan itu. Ibu sebagai orangtua hanya bisa menasehati saja kalau memang ada kekeliruan,” kata ibu mertua. 

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Semoga saja memang sesuai dengan yang Ibu ucapkan, apalagi nanti saat mengetahui diri ini tidak bisa memasak sama sekali. Semoga Ibu tidak marah.

“Selamat, ya! Kamu udah mendapatkan gadis yang kamu impikan,” celetuk ibu mertua kepada Mas Yusuf. Aku? Gadis yang diimpikan? Mungkin Ibu akan meminta putranya itu untuk mencuci muka dengan kembang tujuh rupa setelah tahu betapa minus-nya diriku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status