“Astaga … lupa!” Mas Yusuf menepuk jidatnya sendiri. “Almira, kenapa kamu udah bangun? Katanya capek?” tanyanya kepadaku.
Mbak Diva masih tertawa sambil melihat diriku kemudian beralih menatap Mas Yusuf. “Kamu tahu? Istrimu mengira kalau ini udah siang. Dia panik, padahal ini masih jam 1 malam. Bhahahaha ….”“Aduh, maaf, Almira! Nanti aku ganti baterainya.” Enteng sekali Mas Yusuf berujar. Aku sudah kelimpungan dan panik setengah mati karena melihat jam dinding di kamarnya yang ternyata mati. “Hm.” Hanya itu sahutan kecilku. Ingin marah juga segan karena ada Mbak Diva.Mas Yusuf mengusap pundakku sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu. Kata Mbak Diva, wajar jika sampai larut malam sanak saudara maupun teman dekat Mas Yusuf masih begadang meski acara sudah usai. Itu sudah biasa di sini. Mbak Diva mengajakku kembali ke kamar. Semua perempuan di rumah ini sudah tidur, kecuali kami berdua. Ibu mertua juga sudah terlelap karena Mbak Diva bilang jika Ibu kelelahan. “Almira, kamu gak lihat jam sebelum tidur tadi? Aku pikir kamu tahu kalau jam di kamar Yusuf itu mati.”“Aku gak sadar, Mbak. Aku lihat jam di HP dan langsung tidur.” “Hihihi …. Yaudah, kamu tidur sekarang! Gak usah buru-buru bangun! Aku tahu kamu capek. Jangan terlalu kaku dan jangan takut kalau bangun kesiangan! Pengantin baru … wajar.” Mbak Diva mengedipkan sebelah mata kepadaku. Aku hanya meringis menanggapi ucapan Mbak Diva. Saat Mbak Diva keluar kamar, aku mencari ponselku. Sedari tadi memang aku tidak mendapati ponsel milikku. Wajar saja jika aku melihat jam dinding Mas Yusuf sebagai patokan. “Di mana, ya?” Semua bantal dan guling sudah aku singkap. Namun, tak kudapati benda yang kucari itu. Dalam sekejap, aku melihat benda hitam terselubung di celah kasur dan dipan. Entah tidur dengan gaya apa sehingga ponselku bisa nyempil di sana. Sudah, prakara jam sudah selesai. Kini aku bisa kembali melanjutkan tidur karena jujur, memang masih sangat berat untuk membuka mata meski tadi sudah mandi. Mbak Diva juga tampak santai dan tidak mempermasalahkan jika aku bangun kesiangan. Ya sudah, ngebo sesekali rasanya tak masalah.**“Astaga, Mas! Ini jam tujuh, ha?” Aku terbelalak saat melihat jam di ponsel. Jam di dinding juga menunjukkan pukul tujuh. Itu artinya, jam dinding itu sudah betul. “Mas!” Aku mengguncang tubuh Mas Yusuf. Dia tetap memejamkan mata meski bibirnya mengulas senyum. “Mas! Duh, kok, kamu gak bangunin aku?” “Alarm-mu sudah bunyi, tapi aku matikan karena kamu gak dengar. Menyimpan HP di bawah bantal itu gak baik. Jangan ulangi lagi! Kamu juga udah aku bangunin, tapi kamu malah nendang.” Mas Yusuf menyahut sambil memejamkan mata. Nendang? Apa benar aku menendang suamiku? Perasaan aku anteng-anteng saja. “Em … Mas, ini hari pertamaku di rumah kamu. Kalau aku bangun siang, apa kata Ibu?” tanyaku khawatir. Mas Yusuf menarik tubuhku dalam dekapannya. Dia tersenyum dan semakin mengeratkan tangan kekarnya di tubuhku. Entah kenapa ini begitu geli kurasa. Embusan napasnya pun membuat sekujur tubuh ini merinding. “Kamu gak usah takut! Kamu gak usah panik! Ibuku itu sangat santai. Ibuku gak akan marah meski menantunya yang sangat cantik ini bangun kesiangan.”“Healah! Jelas saja aku menantu Ibu yang paling cantik karena dua menantu lainnya laki-laki. Oiya, gimana nanti kalau Ibu marah, Mas?” Jujur, aku sangat khawatir jika ibu mertuaku marah besar gara-gara cerita Hela dan Rini. Mas Yusuf membuka mata kemudian tersenyum melihat diriku. Baru kali ini aku melihat wajah Mas Yusuf dengan jarak dekat. “Coba saja keluar sekarang! Lihat reaksi Ibu!”“Sendiri?”“Ya iyalah. Aku ngantuk, Sayang. Aku baru tidur satu jam yang lalu.”“Gak mau. Takut.” Mas Yusuf terkekeh dan kembali memejamkan mata. Terdengar suara ramai-ramai. Mungkin orang-orang sedang membongkar tenda pernikahan semalam. Terdengar pula suara panci dan peralatan dapur lainnya yang saling bersahutan. Aduh! Pasti semua lagi bersih-bersih, tapi aku enak-enakan tidur di sini. **Berjam-jam sudah aku berada di kamar sampai Mas Yusuf bangun. Pukul sepuluh kami keluar dari kamar. Kulihat semuanya sudah bersih dan rapi. Lantai rumah juga sudah dipel. Aku sangat lapar, tetapi takut untuk mengambil makanan. Untung saja Mas Yusuf peka. Dia segera mengajakku ke dapur. Sebenarnya aku ingin makan di kamar, tetapi Mas Yusuf melarang. “Eh, eh! Menantuku baru bangun.” Rasanya aku memang akan uji nyali. Keringat dingin mulai menjalar di seluruh tubuh. Ibu mertua tiba-tiba duduk di sampingku. Sama sekali aku tidak berani menatapnya. “Mir, makan yang banyak! Lagian, Yusuf itu gimana? Istrinya baru diajak keluar kamar jam segini. Pasti kelaparan, kan?” Aku masih menunduk dan tersenyum menanggapi ucapan Ibu. Hanya Mas Yusuf saja yang menimpali dengan kata maaf. “Loh? Kok, berhenti makan? Malu, ya, karena ada ibu di sini? Ya udah, lanjutkan dulu makannya! Gak usah terburu-buru. Tambah lagi lauknya!” Aku pun mengangguk. Rasanya lega saat Ibu beranjak. Saat berada di dekatku tadi, aku seperti sedang sidang skripsi meski Ibu tampak santai. Semua ini karena Hela dan Rini. Andai mereka tidak menakutiku, pasti aku tidak akan seperti ini. Usai makan, aku belajar mencuci piring. Sekedar mencuci piring, bisalah. Hanya digosok-gosok lalu dibilas. Biasanya aku tak pernah melakukan ini karena memang malas. Saat hendak ke kamar, Mas Yusuf menarik tanganku. Dia mengajakku ke ruang tamu, berkumpul bersama keluarga besarnya. Dua kakaknya bernama Mbak Diva dan Mbak Dewi ada di sana beserta suami dan anak mereka yang tengah bermain bersama Ibu. “Sini! Jangan kaku-kaku! Kita ngobrol bareng biar makin dekat!” kata Mbak Dewi seraya memberikan tempat kepadaku.Aku yang semula hendak duduk di samping Mas Yusuf pun segera mengambil posisi di dekat Mbak Dewi. Rasanya canggung sekali. Mereka semua masih membahas perihal diriku yang salah melihat jam. Semuanya tertawa, termasuk diriku yang menertawakan diri sendiri. “Mir, kamu itu gak usah takut bangun siang di sini. Ibu kasih tahu, ya! Ibu baru mulai masak itu selesai subuh. Itu kalau masak, terkadang ibu beli yang udah matang di ujung jalan sana,” ujar ibu mertua. “Kalau lagi pengin masak, ya, masak. Kalau gak pengin masak, ya, beli," timpal Mas Yusuf. Setahuku, di rumah ini memang hanya ditempati Ibu dan Mas Yusuf. Ayah Mas Yusuf sudah tiada beberapa tahun lalu. “Rumah ini sekarang rumah kamu juga. Kamu bersedia tinggal bersama ibu, itu ibu udah sangat senang. Jangan sungkan melakukan apapun! Jangan mengira kalau ibu ini akan banyak mengatur dan menuntut! Gak, ibu gak akan lakukan itu. Ibu sebagai orangtua hanya bisa menasehati saja kalau memang ada kekeliruan,” kata ibu mertua. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Semoga saja memang sesuai dengan yang Ibu ucapkan, apalagi nanti saat mengetahui diri ini tidak bisa memasak sama sekali. Semoga Ibu tidak marah.“Selamat, ya! Kamu udah mendapatkan gadis yang kamu impikan,” celetuk ibu mertua kepada Mas Yusuf. Aku? Gadis yang diimpikan? Mungkin Ibu akan meminta putranya itu untuk mencuci muka dengan kembang tujuh rupa setelah tahu betapa minus-nya diriku.Hari pertama, ke dua, dan ke tiga di rumah mertua rasanya aman-aman saja. Apa mungkin karena ada Mbak Dewi yang masih menginap di sini? Namun, di hari ke empat ini Mbak Dewi sudah kembali ke kota asal karena suaminya harus segera bekerja. Kedua kakak Mas Yusuf memiliki suami yang mapan. Hidup keduanya pun terbilang sangat cukup. Begitu pun dengan Mas Yusuf yang kurasa hidup berkecukupan. Mas Yusuf memiliki dua coffee shop dan aku adalah admin di salah satu coffee shop miliknya. Baru tiga bulan bekerja di tempatnya, Mas Yusuf sudah melamar diriku tanpa fase pacaran. Gadis mana yang akan menolak lamaran dari pria tampan sekaligus bos muda seperti Mas Yusuf? Sungguh, aku beruntung mendapatkannya. Sejujurnya, aku bekerja sebagai kasir di kedai kopinya karena dituntut mandiri oleh orangtua. Mungkin mereka lelah melihat anak gadisnya ini bermalas-malasan dan selalu menghabiskan uang. Namun, dalam tiga bulan itu aku sering melakukan kesalahan sampai membuat semua orang kesal dan mengingin
“Ibu-ibu, tolong berhenti mengatakan yang tidak-tidak tentang menantu saya. Menantu saya tidak seperti itu. Dia bisa melakukan apapun dan dia sangat rajin. Saya yang tinggal satu rumah dengannya. Jadi, saya yang lebih tahu tentangnya.” Mengharukan! Ibu mertua benar-benar membela diriku. “Baru beberapa hari tinggal serumah udah begini. Nanti kalau udah bertahun-tahun, Bu Ine akan lelah sendiri,” celetuk Bu Ajeng. “Jangankan bertahun-tahun, satu bulan kemudian mungkin Bu Ine akan tertekan.” Wanita di sebelah Bu Ajeng itu menimpali. Kalau saja tidak ada ibu mertua, sudah aku tonjok mereka berdua. Mulutnya tidak bisa di-filter. “Ibu, mereka menyebalkan,” gerutuku kesal. “Gak usah diladeni. Semakin mereka diladeni, semakin panjang obrolannya. Mereka memang doyan omong. Warga sini juga sering, kok, dikasih omongan pedas. Dua orang itu, jika ditimpali, akan semakin menjadi. Yuk, masuk aja! Yang di teras udah bersih.” Tanpa menimpali ucapan dua orang itu, aku dan Ibu memasuki rumah. Aku
“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua. “Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. “Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. “Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku suda
Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. “Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. “Mira! Pakai tissue!”“Kelamaan,” kataku kesal. Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. “Jijik, ya?” tanyaku. “Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu.
Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang ke
Walau sudah tiga kali ibu mertua memanggilku, tetapi aku tak berani melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pundak. Aku menoleh dan ternyata ibu mertua yang menepuk pundakku. Ibu mengusap air mataku dengan tangan kosong. “Jadi begini gadis yang Yusuf nikahi? Selucu ini? Sepolos ini, hm?” Sebuah senyum terukir di wajah Ibu. Kupikir beliau akan memarahiku. Nyatanya, Ibu justru menghapus air mataku. Ini bukan seperti ibu mertua, melainkan seperti ibu kandung.Ibu memegang kedua lenganku. “Almira, gak semua wanita itu pandai memasak. Dulu, ibu juga seperti kamu yang gak bisa memasak. Apa neneknya Yusuf marah? Gak. Neneknya Yusuf sama sekali gak marah. Neneknya Yusuf mengajari ibu bagaimana cara memasak dengan benar. Apa yang sudah neneknya Yusuf lakukan kepada ibu dulu, akan ibu terapkan ke kamu. Kamu bilang mau belajar, kan?”Aku mengangguk. Benar-benar lembut ibu mertua berbicara. “Ibu akan mengajari kamu bagaimana me
Sayangnya, aku tak mendengar sahutan ibu mertua. Suara Ibu terdengar sangat pelan seperti orang sedang bisik-bisik. Mungkin Ibu takut aku mendengar perbincangan mereka. Entah apa jawaban Ibu, yang jelas pikiran buruk mulai menghantui saat ini. Ibu pernah mendambakan gadis lain untuk dijadikan menantu? Jujur saja, aku sangat cemburu mendengar ucapan itu, apalagi saat mendengar gadis itu pernah jadi incaran Mas Yusuf. Aku ingin tahu, sesempurna apa gadis yang sedang dibicarakan itu. Sebelum keluar kamar, aku bercermin terlebih dahulu, memastikan bahwa tidak ada air mata yang keluar akibat perkataan wanita itu. “Ibu.”“Nah, ini Almira, istrinya Yusuf.” Ibu menarik diriku supaya mendekat dan menyalami wanita itu. “Mir, ini namanya Atika, adik kandung ibu. Kamu panggil saja Bibi Tika.”Oh, ternyata wanita itu adalah adik kandung ibu. Pantas saja wajahnya sama persis dengan ibu mertuaku. “Kemarin, waktu pernikahan kalian,
“Gimana kabarnya?” Wanita bernama Syafira itu mengulurkan tangan kepada Mas Yusuf. Namun, sebelum Mas Yusuf menerima uluran tangannya, aku sudah terlebih dahulu menjabatnya. Kini, aku dan Syafira saling berjabat tangan.“Baik,” jawabku.“Ini … siapa? Keponakan apa sepupu?”“Saya Almira, istrinya Mas Yusuf.” Aku melepaskan tangan wanita tersebut. Enak saja aku dibilang keponakan atau sepupu. “Oh, jadi Mas Yusuf udah nikah?”“Udah. Kan, udah jelas tadi saya bilang kalau saya ini istrinya,” kataku sewot.Aku pun menoleh ke arah Mas Yusuf. “Mas, katanya mau ke rumah Bunda?” “Fir, kami pergi dulu. Permisi!” ujar Mas Yusuf.Jangan ditanya lagi sekesal apa diriku di dalam mobil. Pantas saja jika Mas Yusuf mengincar Syafira. Wajahnya sangat cantik, seperti orang Arab. Tubuhnya tinggi, langsing, dan rambutnya tergerai panjang. Dia begitu wangi.“Mira … Sayang?”“Ternyata dia sangat cantik dan tinggi.