Share

3. TETANGGA JULID

Hari pertama, ke dua, dan ke tiga di rumah mertua rasanya aman-aman saja. Apa mungkin karena ada Mbak Dewi yang masih menginap di sini? Namun, di hari ke empat ini Mbak Dewi sudah kembali ke kota asal karena suaminya harus segera bekerja. 

Kedua kakak Mas Yusuf memiliki suami yang mapan. Hidup keduanya pun terbilang sangat cukup. Begitu pun dengan Mas Yusuf yang kurasa hidup berkecukupan. 

Mas Yusuf memiliki dua coffee shop dan aku adalah admin di salah satu coffee shop miliknya. Baru tiga bulan bekerja di tempatnya, Mas Yusuf sudah melamar diriku tanpa fase pacaran. Gadis mana yang akan menolak lamaran dari pria tampan sekaligus bos muda seperti Mas Yusuf? Sungguh, aku beruntung mendapatkannya. 

Sejujurnya, aku bekerja sebagai kasir di kedai kopinya karena dituntut mandiri oleh orangtua. Mungkin mereka lelah melihat anak gadisnya ini bermalas-malasan dan selalu menghabiskan uang. Namun, dalam tiga bulan itu aku sering melakukan kesalahan sampai membuat semua orang kesal dan menginginkan Mas Yusuf supaya memecatku. 

Alih-alih dipecat, aku justru dinikahi olehnya. Kupikir, menikah saat itu adalah solusi terbaik. Tak perlu repot bekerja dan hanya rebahan menunggu uang datang, eh, maksudnya menunggu suami datang. Dulu hal itu memang sangat menarik untuk dibayangkan. Sekarang? Sedikit membuat takut gara-gara Hela dan Rini.  

“Aku kerja dulu. Baik-baik di rumah sama Ibu!” Mas Yusuf yang sudah berpakaian rapi itu mengusap kepalaku dengan lembut. 

“Hati-hati!” Masih tidak menyangka jika bos tempatku bekerja sekarang menjadi suamiku. 

Selepas Mas Yusuf pergi, aku bingung harus berbuat apa. Selama empat hari ini pula Ibu tidak memasak karena Mbak Dewi dan Mas Yusuf selalu bergantian membeli makanan untuk kami semua. 

Aku keluar kamar, mencoba untuk melakukan hal yang bisa kulakukan. Aku putuskan untuk mengambil sapu dan mulai menyapu rumah ini hingga di halaman depan. Tiba di halaman samping rumah, aku cukup tersentak. Aku baru sadar jika halaman samping rumah Mas Yusuf amat sangat luas, bahkan bisa dibangun dua rumah besar sekaligus. 

Tak masalah, aku pasti bisa melakukannya. Kulanjutkan aktivitasku menyapu. Banyak daun berjatuhan dari pohon mangga yang berjajar. Hal ini cukup melelahkan memang. 

“Almira, kamu ngapain?” 

Aku menoleh dan mendapati Ibu mendekat. “Nyapu, Bu.”

“Kalau menyapu di tanah, pakai sapu yang ini. Kalau sapu yang kamu pakai itu … sulit dan gak akan selesai-selesai.” Ibu memberikan sebuah sapu lidi kepadaku. 

“Oh, hehe. Ini, ya?” Aku mengambil sapu lidi di tangan Ibu. Cukup berat dan gagangnya lebih besar dari sapu biasanya. 

“Kalau kamu belum terbiasa pakai sapu ini, biar ibu saja yang menyapu. Toh, hanya halaman samping rumah.” Hanya halaman samping rumah kata Ibu? Seluas ini dibilang hanya? 

“Jangan, Bu! Aku saja.” Aku kembali melanjutkan aktivitasku. Tak biasa menyapu menggunakan sapu lidi membuat diri ini kesulitan. 

“Udah, sini! Ibu aja!” Ibu mengambil alih pekerjaanku. Mungkin Ibu tahu kalau aku sangat kesulitan. Kuperhatikan betul-betul bagaimana Ibu menyapu menggunakan sapu lidi. Kini, aku sudah mulai paham. 

“Ibu, aku ngapain?”

Ibu menoleh kemudian tertawa kecil. “Udah, kamu duduk aja!” 

Aku pun duduk sesuai kata Ibu sembari memperhatikannya menyapu. 

“Bu Ine! Nyapu, Bu?” Seseorang menyapa ibu mertuaku. Sudah jelas menyapu, masih saja ditanya. Aku baru ingat, kata Mas Yusuf, hidup di desa memang begini. Harus bisa basa-basi dengan tetangga. 

“Itu menantunya, kok, malah duduk-duduk aja? Kok, gak bantuin, sih? Malah mertuanya yang nyapu,” celetuknya lagi. 

Menyebalkan sekali! Tidak tahu awalnya bagaimana, sudah main ceplas-ceplos. 

“Tadi udah bantuin, kok. Saya yang menyuruhnya istirahat. Kasihan, capek.” Jawaban ibu mertua membuatku sedikit tenang. 

“Oh, gitu? Kebanyakan gadis zaman sekarang memang begitu. Sedikit manja, Bu. Gerak dikit katanya capek, apalagi dia dari kota, kan?” 

Tetangga satu ini menyebalkan. Terang-terangan bergosip ria tentangku di hadapanku. Ingin masuk rumah, tetapi aku masih ingin tahu apa yang selanjutnya dibicarakan. Tidak masuk rumah, telinga dan hati ini terasa panas. 

“Gak semua gadis zaman sekarang seperti itu, Bu. Dan gak semua gadis kota seperti yang Bu Ajeng katakan. Menantu saya itu gak ngeluh capek, kok. Justru saya yang memang berinisiatif mengambil alih pekerjaannya.” Sedari tadi jawaban ibu mertua selalu membuat tenang. 

“Oh, gitu? Kalau saya, sih, akan ongkang-ongkang kaki setiap hari kalau punya menantu perempuan. Lumayan, ada yang bantu pekerjaan rumah. Jadi, bisa santai sekaligus mendidiknya mandiri. Sayangnya, menantu saya laki semua dan gak ada yang serumah sama saya.” 

Hanya ongkang-ongkang kaki? Sedikit mengerikan mendengar ucapannya. Apa jangan-jangan yang Hela dan Rini katakan itu memang benar?

Aku mendengar ibu mengalihkan pembicaraan. Tak lama kemudian, wanita dengan belanjaan di tangannya itu pergi. 

“Jangan dengarkan kata Bu Ajeng! Orangnya memang begitu,” ucap Ibu setelah menghampiriku. 

Aku mengangguk. “Mau aku bantu apa, Bu?”

“Apa, ya? Gak ada yang perlu dikerjakan lagi, Mir.” Ibu kembali melanjutkan aktivitasnya. 

Tiba-tiba terlintas dalam pikiran, setelah menyapu itu mengepel. Aku sering melihat Bibi melakukan itu. Aku pun mencari alat pel di dalam rumah. 

“Nah, ketemu.” Bergegas aku mengepel lantai yang di dalam rumah terlebih dahulu. 

Ini pertama kalinya aku mengepel lantai. Sangat licin dan berpotensi tergelincir jika tak hati-hati. Entah bagaimana bisa Bibi mengepel lantai di rumahku dengan mudah. Mungkin aku harus bisa memeras kain pelnya lagi agar tak terlalu basah begini. 

Sedari tadi aku mengepel, tapi lantainya tak kunjung kering dan bersih. Justru kembali kotor karena terinjak kakiku. 

“Loh? Almira, kamu ngapain?” 

“Eh, Ibu. Lagi ngepel, Bu.”

Ibu pun tertawa bahkan sampai suaranya terdengar serak. Beliau memperhatikan sekitarku kemudian mendekatiku. 

“Anak cantik, apa kamu belum pernah mengepel sebelumnya?” tanyanya dengan lembut. 

Aku tersenyum dan menggeleng pelan. Sungguh, ini membuat diriku malu apalagi saat Ibu menyebut diriku anak cantik. 

“Begini, kalau ngepel itu mundur. Jangan maju! Kalau maju, lantai tetap kotor dan kamu bisa kepleset.” Ibu mengajariku bagaimana caranya mengepel dengan benar. 

“Oh, begitu? Pantas saja aku kesulitan, ternyata aku salah.” Aku manggut-manggut melihat ibu mertua mengepel. Apa aku kurang teliti saat melihat Bibi mengepel di rumahku dulu?

“Kalau mau ngepel, baiknya dari teras dulu, Mir.” Ibu beralih ke teras dan aku mengikutinya. Duh, rasanya aku terlalu merepotkan ibu mertua. Semoga beliau tidak kapok memiliki menantu sedikit oon sepertiku. 

Saat mengepel di teras rumah, Bu Ajeng kembali melintas. Kali ini dia bersama seorang wanita yang entah siapa namanya. 

“Tadi nyapu, sekarang ngepel. Menantunya cuma lihatin aja. Bu Ine, kok, mau aja, sih? Kasih pekerjaan itu ke menantunya, Bu!” seru Bu Ajeng.

“Iya. Enak banget, tuh, cuma diem aja!” timpal wanita di samping Bu Ajeng. 

“Menantu saya udah membersihkan seisi rumah. Giliran saya sekarang,” kata ibu mertuaku. 

“Jangan-jangan menantunya gak bisa ngepel. Kebanyakan anak kota gitu, kan? Manja, nyentuh sapu aja gak mau. Kok, bisa Bu Ine mau menjadikan dia sebagai menantu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status