Home / Rumah Tangga / MERTUA IDAMAN / 3. TETANGGA JULID

Share

3. TETANGGA JULID

last update Last Updated: 2023-02-17 07:08:10

Hari pertama, ke dua, dan ke tiga di rumah mertua rasanya aman-aman saja. Apa mungkin karena ada Mbak Dewi yang masih menginap di sini? Namun, di hari ke empat ini Mbak Dewi sudah kembali ke kota asal karena suaminya harus segera bekerja. 

Kedua kakak Mas Yusuf memiliki suami yang mapan. Hidup keduanya pun terbilang sangat cukup. Begitu pun dengan Mas Yusuf yang kurasa hidup berkecukupan. 

Mas Yusuf memiliki dua coffee shop dan aku adalah admin di salah satu coffee shop miliknya. Baru tiga bulan bekerja di tempatnya, Mas Yusuf sudah melamar diriku tanpa fase pacaran. Gadis mana yang akan menolak lamaran dari pria tampan sekaligus bos muda seperti Mas Yusuf? Sungguh, aku beruntung mendapatkannya. 

Sejujurnya, aku bekerja sebagai kasir di kedai kopinya karena dituntut mandiri oleh orangtua. Mungkin mereka lelah melihat anak gadisnya ini bermalas-malasan dan selalu menghabiskan uang. Namun, dalam tiga bulan itu aku sering melakukan kesalahan sampai membuat semua orang kesal dan menginginkan Mas Yusuf supaya memecatku. 

Alih-alih dipecat, aku justru dinikahi olehnya. Kupikir, menikah saat itu adalah solusi terbaik. Tak perlu repot bekerja dan hanya rebahan menunggu uang datang, eh, maksudnya menunggu suami datang. Dulu hal itu memang sangat menarik untuk dibayangkan. Sekarang? Sedikit membuat takut gara-gara Hela dan Rini.  

“Aku kerja dulu. Baik-baik di rumah sama Ibu!” Mas Yusuf yang sudah berpakaian rapi itu mengusap kepalaku dengan lembut. 

“Hati-hati!” Masih tidak menyangka jika bos tempatku bekerja sekarang menjadi suamiku. 

Selepas Mas Yusuf pergi, aku bingung harus berbuat apa. Selama empat hari ini pula Ibu tidak memasak karena Mbak Dewi dan Mas Yusuf selalu bergantian membeli makanan untuk kami semua. 

Aku keluar kamar, mencoba untuk melakukan hal yang bisa kulakukan. Aku putuskan untuk mengambil sapu dan mulai menyapu rumah ini hingga di halaman depan. Tiba di halaman samping rumah, aku cukup tersentak. Aku baru sadar jika halaman samping rumah Mas Yusuf amat sangat luas, bahkan bisa dibangun dua rumah besar sekaligus. 

Tak masalah, aku pasti bisa melakukannya. Kulanjutkan aktivitasku menyapu. Banyak daun berjatuhan dari pohon mangga yang berjajar. Hal ini cukup melelahkan memang. 

“Almira, kamu ngapain?” 

Aku menoleh dan mendapati Ibu mendekat. “Nyapu, Bu.”

“Kalau menyapu di tanah, pakai sapu yang ini. Kalau sapu yang kamu pakai itu … sulit dan gak akan selesai-selesai.” Ibu memberikan sebuah sapu lidi kepadaku. 

“Oh, hehe. Ini, ya?” Aku mengambil sapu lidi di tangan Ibu. Cukup berat dan gagangnya lebih besar dari sapu biasanya. 

“Kalau kamu belum terbiasa pakai sapu ini, biar ibu saja yang menyapu. Toh, hanya halaman samping rumah.” Hanya halaman samping rumah kata Ibu? Seluas ini dibilang hanya? 

“Jangan, Bu! Aku saja.” Aku kembali melanjutkan aktivitasku. Tak biasa menyapu menggunakan sapu lidi membuat diri ini kesulitan. 

“Udah, sini! Ibu aja!” Ibu mengambil alih pekerjaanku. Mungkin Ibu tahu kalau aku sangat kesulitan. Kuperhatikan betul-betul bagaimana Ibu menyapu menggunakan sapu lidi. Kini, aku sudah mulai paham. 

“Ibu, aku ngapain?”

Ibu menoleh kemudian tertawa kecil. “Udah, kamu duduk aja!” 

Aku pun duduk sesuai kata Ibu sembari memperhatikannya menyapu. 

“Bu Ine! Nyapu, Bu?” Seseorang menyapa ibu mertuaku. Sudah jelas menyapu, masih saja ditanya. Aku baru ingat, kata Mas Yusuf, hidup di desa memang begini. Harus bisa basa-basi dengan tetangga. 

“Itu menantunya, kok, malah duduk-duduk aja? Kok, gak bantuin, sih? Malah mertuanya yang nyapu,” celetuknya lagi. 

Menyebalkan sekali! Tidak tahu awalnya bagaimana, sudah main ceplas-ceplos. 

“Tadi udah bantuin, kok. Saya yang menyuruhnya istirahat. Kasihan, capek.” Jawaban ibu mertua membuatku sedikit tenang. 

“Oh, gitu? Kebanyakan gadis zaman sekarang memang begitu. Sedikit manja, Bu. Gerak dikit katanya capek, apalagi dia dari kota, kan?” 

Tetangga satu ini menyebalkan. Terang-terangan bergosip ria tentangku di hadapanku. Ingin masuk rumah, tetapi aku masih ingin tahu apa yang selanjutnya dibicarakan. Tidak masuk rumah, telinga dan hati ini terasa panas. 

“Gak semua gadis zaman sekarang seperti itu, Bu. Dan gak semua gadis kota seperti yang Bu Ajeng katakan. Menantu saya itu gak ngeluh capek, kok. Justru saya yang memang berinisiatif mengambil alih pekerjaannya.” Sedari tadi jawaban ibu mertua selalu membuat tenang. 

“Oh, gitu? Kalau saya, sih, akan ongkang-ongkang kaki setiap hari kalau punya menantu perempuan. Lumayan, ada yang bantu pekerjaan rumah. Jadi, bisa santai sekaligus mendidiknya mandiri. Sayangnya, menantu saya laki semua dan gak ada yang serumah sama saya.” 

Hanya ongkang-ongkang kaki? Sedikit mengerikan mendengar ucapannya. Apa jangan-jangan yang Hela dan Rini katakan itu memang benar?

Aku mendengar ibu mengalihkan pembicaraan. Tak lama kemudian, wanita dengan belanjaan di tangannya itu pergi. 

“Jangan dengarkan kata Bu Ajeng! Orangnya memang begitu,” ucap Ibu setelah menghampiriku. 

Aku mengangguk. “Mau aku bantu apa, Bu?”

“Apa, ya? Gak ada yang perlu dikerjakan lagi, Mir.” Ibu kembali melanjutkan aktivitasnya. 

Tiba-tiba terlintas dalam pikiran, setelah menyapu itu mengepel. Aku sering melihat Bibi melakukan itu. Aku pun mencari alat pel di dalam rumah. 

“Nah, ketemu.” Bergegas aku mengepel lantai yang di dalam rumah terlebih dahulu. 

Ini pertama kalinya aku mengepel lantai. Sangat licin dan berpotensi tergelincir jika tak hati-hati. Entah bagaimana bisa Bibi mengepel lantai di rumahku dengan mudah. Mungkin aku harus bisa memeras kain pelnya lagi agar tak terlalu basah begini. 

Sedari tadi aku mengepel, tapi lantainya tak kunjung kering dan bersih. Justru kembali kotor karena terinjak kakiku. 

“Loh? Almira, kamu ngapain?” 

“Eh, Ibu. Lagi ngepel, Bu.”

Ibu pun tertawa bahkan sampai suaranya terdengar serak. Beliau memperhatikan sekitarku kemudian mendekatiku. 

“Anak cantik, apa kamu belum pernah mengepel sebelumnya?” tanyanya dengan lembut. 

Aku tersenyum dan menggeleng pelan. Sungguh, ini membuat diriku malu apalagi saat Ibu menyebut diriku anak cantik. 

“Begini, kalau ngepel itu mundur. Jangan maju! Kalau maju, lantai tetap kotor dan kamu bisa kepleset.” Ibu mengajariku bagaimana caranya mengepel dengan benar. 

“Oh, begitu? Pantas saja aku kesulitan, ternyata aku salah.” Aku manggut-manggut melihat ibu mertua mengepel. Apa aku kurang teliti saat melihat Bibi mengepel di rumahku dulu?

“Kalau mau ngepel, baiknya dari teras dulu, Mir.” Ibu beralih ke teras dan aku mengikutinya. Duh, rasanya aku terlalu merepotkan ibu mertua. Semoga beliau tidak kapok memiliki menantu sedikit oon sepertiku. 

Saat mengepel di teras rumah, Bu Ajeng kembali melintas. Kali ini dia bersama seorang wanita yang entah siapa namanya. 

“Tadi nyapu, sekarang ngepel. Menantunya cuma lihatin aja. Bu Ine, kok, mau aja, sih? Kasih pekerjaan itu ke menantunya, Bu!” seru Bu Ajeng.

“Iya. Enak banget, tuh, cuma diem aja!” timpal wanita di samping Bu Ajeng. 

“Menantu saya udah membersihkan seisi rumah. Giliran saya sekarang,” kata ibu mertuaku. 

“Jangan-jangan menantunya gak bisa ngepel. Kebanyakan anak kota gitu, kan? Manja, nyentuh sapu aja gak mau. Kok, bisa Bu Ine mau menjadikan dia sebagai menantu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MERTUA IDAMAN   42. ENDING

    “Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah

  • MERTUA IDAMAN   41. KE HOTEL?

    Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y

  • MERTUA IDAMAN   40. DIMINTA BERKENCAN?

    “Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi

  • MERTUA IDAMAN   39. UNDANGAN

    Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k

  • MERTUA IDAMAN   38. SELALU DIRATUKAN

    “Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert

  • MERTUA IDAMAN   37. ZEN JADI REBUTAN

    “Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status