Share

MERTUA IDAMAN
MERTUA IDAMAN
Author: Bintang Aldebaran

1. BANGUN KESIANGAN?

Seharusnya memang aku bahagia di hari pernikahan ini. Namun, hatiku mendadak resah lantaran banyak orang yang menakutiku. Mereka bilang, tinggal bersama mertua itu tidak menyenangkan dan tidak akan membuat nyaman. 

Mereka yang merupakan teman-temanku sekaligus perias diriku juga menceritakan kisah hidup mereka masing-masing. Satu dengan yang lainnya saling adu nasib. Sejurus kemudian mereka melotot ke arahku. “Habislah dirimu, Mir. Setelah ini giliranmu yang banyak mengeluh tentang hidup bersama mertua.”

Sebal! Mereka membuat hariku sangat tidak nyaman. Aku pun menyahut, “Ibunya Mas Yusuf itu baik.”

“Heleh, baik pas di depan doang. Dulu sebelum aku menikah, mertuaku juga kelihatan sangat baik. Kenyataannya, pas udah nikah malah baru ketahuan sifat aslinya.” Rini yang tengah menata rambutku pun menimpali.

“Mana mau seorang mertua menerima kehadiran orang lain dengan tulus? Gak ada. Yang ada nanti kamu diperlakukan seperti pembantu. Pagi-pagi buta harus setor muka, ada paket datang dikira boros, terus ... lagi nyantai dikira malas. Aku sampai ngontrak saking lelahnya.” Kali ini ucapan itu datang dari Hela. Sambil menyapukan bedak di wajah, mulutnya dengan lincah berjoget ria menakuti diriku sejak tadi sambil menceritakan kisah hidupnya.

“Gak semua mertua begitu. Ada juga yang baik, kok. Aku yakin kalau mertuaku akan bersikap baik,” ujarku mencoba menenangkan hati.

Reaksi Rini dan Hela membuatku malas. Mereka tertawa seperti tak percaya dengan yang kuucapkan. 

“Ya udahlah. Kita lihat nanti! Kamu pasti akan adu nasib sama kita.”

Aku hanya diam dan tak lagi menimpali ucapan Rini. Meski begitu, tetap saja aku merasa takut. Entah apa yang akan terjadi seandainya mertuaku tidak menyukai kehadiranku. Aku sudah terlanjur berjanji kepada Mas Yusuf untuk bersedia tinggal satu atap dengan orangtuanya karena Mas Yusuf anak terakhir dari tiga bersaudara. 

Sepanjang acara ngunduh mantu, aku merasa tidak tenang, apalagi saat melihat ibu mertuaku. Perkataan Rini dan Helen masih terngiang-ngiang di telinga. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran betapa menyesalnya diriku menikah muda.

Usiaku tergolong muda untuk menikah, yaitu 21 tahun. Aku bukan gadis yang pandai memasak dan rajin seperti pada umumnya. Aku hanya gadis lemot dan sering malas-malasan. “Duh, seharusnya aku berubah jadi rajin dulu. Saking senangnya dilamar Mas Yusuf sampai lupa kalau diri ini pemalas tingkat tinggi.”

**

“Kok, bisa kamu pilih gadis yang gak bisa masak untuk dijadikan istri? Kamu itu bagaimana, sih, Yusuf?” tanya ibu mertua. 

“Mana malas, gak pernah bersih-bersih rumah, kerjanya tiduran pula," sambungnya.

“Almira, kamu pilih mana? Yusuf nikah lagi atau kamu pergi dari hidupnya?” tanyanya lagi.

“Almira!” Aku tersentak saat Mas Yusuf menepuk pahaku dengan pelan, tetapi penuh penekanan. Huh! Mas Yusuf membuyarkan lamunanku tentang ibu mertua.

“Kamu kenapa? Dari tadi, kok, kelihatan cemas?” 

Aku hanya menggeleng pelan mendengar pertanyaan Mas Yusuf. Jujur, nyaliku menciut untuk tinggal satu atap dengan mertua. Kalau sampai ibu mertua tahu aku tidak bisa memasak, tamat sudah riwayatku. 

“Almira, kamu capek, ya?”

“I-iya, aku capek.” Akhirnya aku bisa menemukan jawaban yang tepat untuk mewakili ekspresi wajahku yang mungkin terlihat tak sedap dipandang. 

“Ini juga udah malam. Acara sebentar lagi selesai dan kamu bisa istirahat, Mir.” 

Pukul sebelas malam akhirnya aku bisa beristirahat di kamar Mas Yusuf. Kamarnya sangat rapi karena aku tahu Mas Yusuf itu orang yang rajin. Sebuah keberuntungan bagiku mendapatkan suami seperti dirinya. 

Sebelum tidur, aku memasang alarm di ponsel. Sebelum azan subuh berkumandang, aku harus bangun. Meski aku tidak melaksanakan ibadah karena sedang halangan, aku tetap harus bangun pagi untuk setor muka.

**

“Hah? Jam berapa ini? Mas Yusuf?” Aku gelagapan saat bangun tidur dan jam dinding di kamar menunjukkan pukul delapan. Mas Yusuf juga tidak ada di tempat. Gawat! Aku telat bangun. Pasti aku tidak dengar saat alarm ponsel berbunyi.

Bergegas aku bangun dari tempat tidur dan mencuci muka. Bisa-bisanya aku kesiangan sampai pukul delapan. Biasanya tak pernah sesiang ini. Aduh! Entah apa yang akan mertuaku katakan. 

Tunggu! Keluar dari kamar mandi, aku berhenti melangkah. Tak mungkin jika aku hanya mencuci muka saja. Aku harus mandi secepat kilat dan memakai banyak minyak wangi agar disangka aku keluar kamar terlalu siang karena melakukan perawatan diri. 

Setelah mandi, aku segera berganti pakaian dan menyemprotkan banyak minyak wangi ke seluruh tubuh. Tak lupa aku memakai body lotion milik Mas Yusuf yang tinggal separuh itu. Pantas saja kulit Mas Yusuf tampak bersih dan cerah, ternyata dia pandai merawat diri. Entah sudah berapa lapis body lotion yang menempel di kulitku, yang jelas aku sudah sangat wangi sekarang. 

Rasa gugup mulai menjalar saat hendak menekan gagang pintu. Terdengar suara keramaian di luar kamar. Pasti semua orang sudah bangun sejak tadi. Aku cukup kecewa dengan Mas Yusuf yang tidak membangunkan diriku.

Kutarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Akan aku coba berlatih terlebih dahulu sebelum menyapa mereka. “Selamat pagi, semuanya!”

Ah, kurasa kata itu kurang tepat. “Maaf aku terlambat bangun.”

Itu juga kurasa kurang pas. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan saat bangun siang seperti ini. Jika di rumah sendiri mungkin tidak masalah. Jika di rumah suami, apa kata mertua dan ipar-iparku?

Rini dan Hela juga mengatakan jika bukan hanya mertua saja yang mengerikan, tetapi para ipar pun akan sangat mengerikan bagi kita. Saat ini aku hanya takut mereka mengomeliku secara bersamaan. 

“Tenang, Almira! Tenang!” Aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja meski aku tahu pikiran negatif sedang menyelimuti. 

Jika aku tak kunjung keluar, maka akan semakin siang dan entah bagaimana pandangan mereka kepadaku nantinya. Kuberanikan diri menekan gagang pintu secara perlahan. Sambil menelan ludah dengan kasar, aku melangkahkan kaki keluar kamar. 

“Almira?” 

“Ha, iya?” Aku memutar tubuh saat mendengar suara wanita memanggil. Ternyata dia adalah Mbak Diva, kakak ke dua Mas Yusuf yang rumahnya tak jauh dari sini.

Dia menatapku aneh. “Kamu ....”

“Maaf, Mbak, aku ... aku baru bangun. Mungkin karena kelelahan jadi bangunnya kesiangan,” ujarku sebelum Mbak Diva menyemprot diriku dengan berbagai pertanyaan.

“Loh, loh, loh? Bhahaha ....” Mbak Diva terpingkal-pingkal kemudian mengendus tubuhku. “Kamu baru mandi?” 

Aku mengangguk. Baru hari pertama saja sudah ditertawakan. “Maaf, Mbak. Aku ....”

Sambil tertawa renyah, Mbak Diva menarik tanganku kemudian mengajakku ke ruang tamu. “Hah? Kok ...?” Aku bingung saat melihat Mas Yusuf masih mengenakan jas semalam dan lampu di luar masih menyala terang. Kerabat dan teman-teman Mas Yusuf pun masih banyak di sana.

Mbak Diva semakin tertawa saat melihat diriku, bahkan sembari memegang perutnya. “Yusuf, sini, deh! Apa kamu belum mengganti baterai jam di kamarmu?” 

“Apa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status