Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.
“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku.“Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!”“Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.”Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam.“Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Seharusnya memang aku bahagia di hari pernikahan ini. Namun, hatiku mendadak resah lantaran banyak orang yang menakutiku. Mereka bilang, tinggal bersama mertua itu tidak menyenangkan dan tidak akan membuat nyaman. Mereka yang merupakan teman-temanku sekaligus perias diriku juga menceritakan kisah hidup mereka masing-masing. Satu dengan yang lainnya saling adu nasib. Sejurus kemudian mereka melotot ke arahku. “Habislah dirimu, Mir. Setelah ini giliranmu yang banyak mengeluh tentang hidup bersama mertua.”Sebal! Mereka membuat hariku sangat tidak nyaman. Aku pun menyahut, “Ibunya Mas Yusuf itu baik.”“Heleh, baik pas di depan doang. Dulu sebelum aku menikah, mertuaku juga kelihatan sangat baik. Kenyataannya, pas udah nikah malah baru ketahuan sifat aslinya.” Rini yang tengah menata rambutku pun menimpali.“Mana mau seorang mertua menerima kehadiran orang lain dengan tulus? Gak ada. Yang ada nanti kamu diperlakukan seperti pembantu. Pagi-pagi buta harus setor muka, ada paket datang diki
“Astaga … lupa!” Mas Yusuf menepuk jidatnya sendiri. “Almira, kenapa kamu udah bangun? Katanya capek?” tanyanya kepadaku. Mbak Diva masih tertawa sambil melihat diriku kemudian beralih menatap Mas Yusuf. “Kamu tahu? Istrimu mengira kalau ini udah siang. Dia panik, padahal ini masih jam 1 malam. Bhahahaha ….”“Aduh, maaf, Almira! Nanti aku ganti baterainya.” Enteng sekali Mas Yusuf berujar. Aku sudah kelimpungan dan panik setengah mati karena melihat jam dinding di kamarnya yang ternyata mati. “Hm.” Hanya itu sahutan kecilku. Ingin marah juga segan karena ada Mbak Diva.Mas Yusuf mengusap pundakku sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu. Kata Mbak Diva, wajar jika sampai larut malam sanak saudara maupun teman dekat Mas Yusuf masih begadang meski acara sudah usai. Itu sudah biasa di sini. Mbak Diva mengajakku kembali ke kamar. Semua perempuan di rumah ini sudah tidur, kecuali kami berdua. Ibu mertua juga sudah terlelap karena Mbak Diva bilang jika Ibu kelelahan. “Almira, kamu gak lih
Hari pertama, ke dua, dan ke tiga di rumah mertua rasanya aman-aman saja. Apa mungkin karena ada Mbak Dewi yang masih menginap di sini? Namun, di hari ke empat ini Mbak Dewi sudah kembali ke kota asal karena suaminya harus segera bekerja. Kedua kakak Mas Yusuf memiliki suami yang mapan. Hidup keduanya pun terbilang sangat cukup. Begitu pun dengan Mas Yusuf yang kurasa hidup berkecukupan. Mas Yusuf memiliki dua coffee shop dan aku adalah admin di salah satu coffee shop miliknya. Baru tiga bulan bekerja di tempatnya, Mas Yusuf sudah melamar diriku tanpa fase pacaran. Gadis mana yang akan menolak lamaran dari pria tampan sekaligus bos muda seperti Mas Yusuf? Sungguh, aku beruntung mendapatkannya. Sejujurnya, aku bekerja sebagai kasir di kedai kopinya karena dituntut mandiri oleh orangtua. Mungkin mereka lelah melihat anak gadisnya ini bermalas-malasan dan selalu menghabiskan uang. Namun, dalam tiga bulan itu aku sering melakukan kesalahan sampai membuat semua orang kesal dan mengingin
“Ibu-ibu, tolong berhenti mengatakan yang tidak-tidak tentang menantu saya. Menantu saya tidak seperti itu. Dia bisa melakukan apapun dan dia sangat rajin. Saya yang tinggal satu rumah dengannya. Jadi, saya yang lebih tahu tentangnya.” Mengharukan! Ibu mertua benar-benar membela diriku. “Baru beberapa hari tinggal serumah udah begini. Nanti kalau udah bertahun-tahun, Bu Ine akan lelah sendiri,” celetuk Bu Ajeng. “Jangankan bertahun-tahun, satu bulan kemudian mungkin Bu Ine akan tertekan.” Wanita di sebelah Bu Ajeng itu menimpali. Kalau saja tidak ada ibu mertua, sudah aku tonjok mereka berdua. Mulutnya tidak bisa di-filter. “Ibu, mereka menyebalkan,” gerutuku kesal. “Gak usah diladeni. Semakin mereka diladeni, semakin panjang obrolannya. Mereka memang doyan omong. Warga sini juga sering, kok, dikasih omongan pedas. Dua orang itu, jika ditimpali, akan semakin menjadi. Yuk, masuk aja! Yang di teras udah bersih.” Tanpa menimpali ucapan dua orang itu, aku dan Ibu memasuki rumah. Aku
“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua. “Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. “Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. “Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku suda
Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. “Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. “Mira! Pakai tissue!”“Kelamaan,” kataku kesal. Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. “Jijik, ya?” tanyaku. “Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu.
Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang ke