Davin dan Adam saling bertatapan dengan tajam, tangan mereka terkepal siap untuk melayangkan sebuah pukulan. Begitu banyak pertanyaan yang akan mereka tanyakan saat ini. Namun, sepertinya Bram lebih ingin mereka untuk tenang terlebih dahulu. Pembicaraan mereka tentu sangat alot nantinya dan diperlukan kepala yang dingin untuk menyelesaikannya.
"Kita akan bicara kalau kalian udah tenang.”
"Nggak perlu, kita bahas sekarang," balas Davin cepat. Dia tidak suka waktunya terbuang begitu saja. Jika untuk mengatur emosi dia ahlinya, tapi jika sudah meledak, dia bisa menggila. Bahkan dia tidak sadar jika akan meremukkan tubuh Adam tadi.
"Oke, jadi sekarang di mana Lucy?" tanya Kevin sambil memberikan segelas minuman pada Adam.
"Apa maksudmu?! Aku yang harusnya tanya. Di mana calon istriku?"
Davin menyergit bingung. Apa maksud Adam sebenarnya? Dia juga tidak mengetahui keberadaan Lucy begitu? Namun surat yang Lucy tulis mengatakan jika dia akan kembali
Alex keluar dari rumah sakit dengan bungkusan plastik di tangannya. Penyakit sialan ini benar-benar membuatnya muak. Dia tidak suka jika harus bergantung pada obat-obatan seperti ini. Namun, jika tidak meminumnya, Alex harus rela mengerang kesakitan setiap hari karena sakit yang melanda kepalanya. Pria itu menghentikan langkahnya ketika merasakan ada sesuatu yang aneh di sekitarnya, seperti ada seseorang yang mengikutinya sedari tadi. Kepalanya bergerak ke belakang dan tidak menemukan siapapun di sana. Mata Alex mengedar ke segala arah tapi tidak menemukan apapun. Parkiran rumah sakit itu tampak sepi mengingat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.Belum sempat membuka mobil, punggungnya terasa panas karena pukulan dari seseorang. Pukulan itu sangat keras yang langsung membuatnya terjatuh. Alex berusaha untuk membuka matanya namun wajahnya langsung ditutupi oleh sapu tangan yang membuatnya perlahan tak sadarkan diri.***Mata sayu itu terbuka ketika
Davin mengetuk pintu dengan tidak sabar. Bisa saja dia langsung menerobos masuk, tapi dia akan bermain halus kali ini. Davin yakin jika ada orang di dalam mengingat lampu teras yang menyala. Tangan besar itu bergerak kembali mengetuk pintu namun gerakannya terhenti begitu pintu terbuka dan muncul wanita yang menggunakan pakaian minim dengan rokok di tangannya."Ada apa sih?!" Wanita itu menatap tiga pria di hadapannya dengan jengkel."Di mana Allen?" tanya Davin tanpa basa-basi.Wanita itu terkejut dan mulai menatap Davin dari bawah ke atas, sampai mata mereka bertemu. Davin dapat melihat tatapan ketakutan dari mata itu. Sedetik kemudian, wanita itu bergerak untuk menutup pintu. Belum sempat tertutup, Davin mendorong pintu itu dengan satu tangannya hingga wanita itu terdorong mundur."Keluar dari rumahku sekarang!" teriak wanita itu mulai panik."Nggak, sebelum kamu bilang di mana Allen," geram Davin berjalan mendekat."Aku nggak tau!"
Davin menatap Ana yang terbaring lemah dengan raut wajah yang tak terbaca. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya dia menangisi seorang wanita. Ana, gadis itu sudah berani menjungkir balikkan kehidupan pria berhati beku seperti Davin. Pria yang tidak pernah peduli terhadap wanita kecuali keluarganya. Entah mantra apa yang digunakan Ana untuk mengikat seorang Davin sampai pria itu begitu bergantung padanya. Seolah akan kehilangan arah jika Ana menghilang dari kehidupannya. Kejadian semalam telah membuktikan semuanya.Davin begitu hancur ketika melihat mata cantik itu terpejam dengan erat. Dia tidak siap jika harus kehilangan Ana. Syukurlah Tuhan mendengarkan doanya.Ana bukan gadis sembarangan. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatnya kembali ke Indonesia dan berkumpul kembali bersama keluarganya. Jika bukan karena Ana, Davin yakin jika dia akan tetap menjadi pelayan restoran di Las Vegas dan tidak menjadi pengusaha sukses seperti sekarang. Oleh karena itu,
Empat bulan kemudian.Ana tersenyum dan memeluk wanita yang ada di hadapannya saat ini dengan erat. Dia tidak tahu jika Lucy sedang berada di Indonesia sekarang. Setelah peristiwa kelam itu, Lucy langsung kembali ke Paris bersama Adam dan menetap di sana. Lucy memutuskan untuk memulai hidup baru di sana. Namun kemarin, wanita itu menghubungi Ana dan meminta untuk bertemu. Tentu dengan senang hati Ana menyetujuinya. Hubungan Ana dan Lucy semakin dekat dan membaik setelah kejadian penculikan itu. Ana sempat merasa menyesal karena telah berburuk sangka pada Lucy selama ini. Seharusnya dia tahu jika wanita itu sudah benar-benar berubah."Apa kabar Lucy?" Ana memulai pembicaraan."Baik. Kamu gimana?""Well, better than before," sahut Ana dengan senyuman tipis. Senyum yang penuh akan kesedihan tapi Ana berusaha untuk terlihat tegar.Lucy yang mendengar itu mengangguk paham. Wanita itu menatap Ana dengan tatapan prihatin. G
Ana menahan napasnya ketika tali ukur itu melingkar dengan sempurna di pinggangnya. Ana menggigit bibirnya bingung ketika keadaan di sekitarnya begitu hening. Bahkan butik yang ramai tidak membuat rasa gugupnya menghilang. Saat di kampus tadi, Ana mendapatkan pesan dari Lucy jika dia harus fitting baju bersama Diva dan Laila. Ternyata wanita itu menunjuknya sebagai bridesmaid-nya nanti di pernikahan. Yang benar saja?! Bukannya tidak mau, Ana hanya merasa canggung jika harus bertemu dengan Diva setelah masalah yang ditimbulkan oleh kakaknya itu. Jujur saja, Ana sudah jarang berinteraksi dengan keluarga Rahardian, meskipun Ibu Davin dan Diva sendiri masih sering mengirimkan pesan singkat yang hanya dia balas dengan jawaban seadanya."Sudah selesai, Kak." Ana tersenyum dan mulai menghampiri Lucy yang duduk di sofa bersama Diva dan Laila.Dia berjalan dengan pelan, berusaha mengulur waktu agar tidak segera sampai ke tempat Lucy. Jujur saja, dia belum ingi
Ana menggeram saat Lucy masih saja memaksanya. Dia mengaduk makanannya degan tidak nafsu. "Terus kuliahku gimana?" Ana bertanya dengan jengkel. Dia masih berusaha bernegosiasi tentang acara pernikahan Lucy di Paris."Bolos aja!""Nanti kalau absenku ada masalah gimana? Aku nggak mau ngulang ya. Males kuliah lama-lama, mau kawin aja.""Emang udah ada calonnya? Mau aku bantu cari?""Nggak mau!" jawab Ana kesal. Kenapa Lucy mengikuti alur sarkasnya? Ana tidak punya selera untuk bercanda kali ini.Sambungan telepon terputus begitu saja. Ana yang melakukannya. Dia sangat kesal pada Lucy. Kenapa wanita itu selalu memaksakan kehendak? Ana bukan perempuan bebas yang bisa ke sana-ke mari sesuka hati. Dia adalah seorang pelajar yang punya tanggung jawab. Tidak mungkin dia meninggalkan kelas begitu saja dalam waktu seminggu.Apa kabar absenku?Ana mengaduk jus alpukat dengan kesal. Mulutnya juga tid
Suara riuh tepuk tangan terdengar saat Lucy dan Adam sudah mengucapkan janji suci pernikahan. Ana tidak menyangka jika Lucy benar-benar sudah menikah sekarang. Hidup wanita itu akan bahagia setelah ini, berbeda dengan nasibnya yang masih saja terjebak dengan rasa sakit. Ana menghampiri Lucy dan Adam untuk memberikan selamat pada pasangan baru itu. Dia juga turut bahagia dengan pernikahan ini. Setelah semua hal mengerikkan yang telah terjadi, akhirnya Lucy mendapatkan kebahagiannya sekarang."Apa kamu liat Mas Davin?" bisik Ana pelan pada Lucy."Vinno lagi di jalan, Ana. Nah tuh! Dia datang." Tunjuk Adam pada pintu ballroom.Ana reflek melihat ke arah pintu untuk melihat pria yang dia rindukan. Bibirnya melengkung sempurna saat melihat Davin masuk, namun senyuman itu hilang saat ada wanita yang datang dan langsung menggandeng lengan Davin. Ana menahan napasnya melihat itu. Hatinya terasa sakit saat Davin tidak mencoba mengelak atau merasa keberatan denga
Ana membuka matanya begitu merasakan tarikan pada rambutnya. Dia mengerang dan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Belum sempat kembali terlelap, Ana kembali merasakan tepukan keras pada pipinya.Dengan kesal dia membuka matanya, "Apa sih?! Aku ngantuk.""Bangun Ana!" Suara keras Laila membuat Ana langsung membuka matanya."Ada apa?" Ana mulai sadar dan melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi, "Ini masih pagi, Laila! Yang bener aja?! Aku masih ngantuk," ucap Ana kesal dan kembali bergerak menutup matanya. Kepalanya masih terasa pening karena alkohol yang dia minum semalam."Bangun, Ana! Semua orang sibuk cari Lucy. Kamu malah enak-enakan tidur!"Ana langsung bangkit ketika mendengar ucapan Laila, "Apa maksudmu?""Lucy hilang.""Kok bisa?!" Ana terkejut bukan main."Aku nggak tahu, Lucy hilang sejak semalam. Sekarang kita keluar dan bantu cari Lucy." Ana mengangguk dan langsung meraih jaket untuk men