Mata semua orang tertuju pada layar monitor yang menampilkan keadaan lantai 18, lantai yang disewa untuk tamu pernikahan Lucy dan Adam. Layar itu menampilkan semua kejadian bahkan saat Ana masuk ke kamar Laura dan melihat Davin keluar dari sana dengan tergesa. Disusul Ana yang juga keluar dari kamar Laura dengan jas Davin yang membalut tubuhnya. Setelah Ana masuk ke dalam kamarnya, tidak ada lagi yang terjadi. Hanya orang-orang berlalu lalang yang tidak berarti apa-apa. Hingga 3 jam kemudian terjadi sesuatu yang mencurigakan. Seorang wanita keluar dari lift dengan mengenakan baju pesta. Wanita itu terlihat misterius karena memakai topi dan masker yang menutupi wajahnya. Kepalanya terlihat sedang mengamati keadaan sekitar berulang kali. Tidak lama kemudian muncul dua orang pria yang terlihat membawa tubuh seseorang.
"Itu aku," gumam Lucy melihat dirinya sendiri yang tak sadarkan diri.
Wanita itu terlihat menghampiri kamar Davin dan mencoba untuk membuka pintuny
Ana menatap menara Eiffel di hadapannya dengan tatapan kagum. Dia seperti bermimpi saat ini. Dia sudah mempunyai keinginan ini sedari kecil dan sekarang keinginannya telah terwujud. Bahkan dia tidak sendiri saat ini. Ada Davin—pria yang dia cintai— berada di sampingnya sekarang.Ana kembali menyendokkan es krim ke mulutnya. Kedua kakinya bergoyang menikmati musik yang seniman jalanan mainkan. Lagi-lagi Ana memandang menara dengan takjub. Sungguh, dia masih belum percaya jika berada di Paris saat ini."Indah ya, Mas?" gumam Ana pada Davin yang duduk di sampingnya.Ana mengerutkan keningnya saat tidak mendapat balasan dari Davin. Dia menoleh dan mendapati kekasihnya tengah sibuk dengan ponselnya. Dengan kesal Ana meletakkan es krimnya dan mencubit lengan Davin keras."Apa?" tanya Davin sambil mengelus lengannya pelan."Sibuk aja terus sama HP! Tau gini aku ikut Bunda pulang kemarin," ucap Ana dengan bibir yang sudah maju
Davin menghampiri Ana dan meletakkan mie yang dia buat di atas meja. Gadis itu tersenyum dan menarik piringnya mendekat. Baru satu suapan, Ana kembali sibuk dengan laptop di hadapannya. Dia sedang mengerjakan tugas pengganti kuliah saat ini, agar saat kembali nanti tidak banyak tugas yang harus dia kerjakan."Hari ini mau ke mana?" tanya Davin memakai kaca mata hitamnya untuk menghalau sinar matahari. Mereka sedang berada di balkon kamar hotel sekarang.Ana menggeleng, "Nggak mau ke mana-mana. Aku mau nyelesain ini dulu.""Kita udah harus ke Jerman besok."Ana menghentikan gerakan tangannya dan menatap Davin bingung, "Ngapain ke Jerman?""Nyelesain pekerjaan sebelum kembali ke Indonesia."Ana menyeringai, "Balik pulang nih?" tanyanya menggoda."Emang kamu mau pacaran jarak jauh?"Ana menelan makanannya sebelum berbicara, "Nggak papa, nanti aku bisa cari cadangan.""Cari aja kalau bisa.""Bercanda, Mas. Datar bange
Ana memasuki rumah Davin dengan perasaan senang. Berhubung hari ini tidak ada kelas, ia memutuskan untuk ke rumah kekasihnya. Setelah mereka kembali dari Jerman, Ana dan Davin jarang sekali bertemu. Mereka harus kembali dengan kegiatan dan kesibukan masing-masing. Bahkan dalam dua minggu bisa dihitung hanya sekali mereka bertatapan muka secara langsung.Ana mengetuk pintu rumah sedikit keras. Halaman masih terlihat sepi padahal biasanya ada tukang kebun yang merapikan tanaman koleksi Ibu Davin. Apa dia terlalu pagi untuk bertamu?"Ke mana semua orang, Bi?" Ana bertanya pada Bi Mirnah yang membukakan pintu untuknya."Ibuk lagi ke pasar, Mbak.""Kalau Mas Davin ke mana, Bi?""Mas Vinno masih di kamar kayanya, Mbak," jawab Bi Mirnah kembali sibuk dengan sayurannya."Belum bangun?""Kayanya sih belum, semalem Mas Vinno titip pesen kalau jangan ada yang ganggu tidurnya. Akhir-akhir ini Mas Vinno lembur terus, kasihan Mbak.""Ngobrol
Ana masuk ke dalam area penumpang dengan pelan. Setelah pemeriksaan tiketnya selesai, Ana menatap Davin yang masih setia berdiri di balik pembatas dengan sedih. Pria itu tersenyum tipis dan melambaikan tangannya. Ana membalas lambaian itu dan mulai berjalan ke arah keretanya. Mereka seperti tengah memainkan drama sekarang.Saat ini, Ana tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Jika dulu dia memaki mati-matian acara televisi yang menurutnya berlebihan, tapi sekarang dia merasakannya sendiri. Ketika sudah menemukan nomor kursinya, Ana segera duduk dan meletakkan tasnya. Dia meraih ponsel dan head seat-nya untuk mendengarkan musik selama perjalanan. Saat sedang memilih lagu, Ana dikejutkan dengan panggilan telepon dari Davin. Dengan cepat dia mengangkatnya tanpa ragu."Halo.""Ana," panggil Davin dari seberang sana."Kenapa, Mas?" tanya Ana bingung."Ingat ucapanku ya," Ana mendengar pria itu menghela nafas."Yang mana?"
Mobil Rendy berhenti tepat di depan rumah Ana. Reuni hari ini berlangsung dengan lancar. Ana cukup menikmatinya karena memang saat SMA dia tidak memiliki masalah mengenai pertemanan. Berbeda dengan Rendy yang kurang percaya diri untuk menunjukkan perubahan dirinya yang baru ini."Makasih ya, Ren.""Iya, tapi serius, Na. Aku mau nembak Putri."Ana menatap Rendy tidak percaya, "Kamu serius? Aku pikir bercanda tadi.""Beneran, dia manis banget tadi." Rendy tersenyum tipis sambil membayangkan wajah Putri yang dia temui saat reuni."Yakin dia bakal mau?""Yakinlah, orang aku udah ganteng gini. Nggak mungkin dia nolak aku lagi."Ana mengerutkan keningnya tidak suka, "Kalau gitu berarti dia cuma suka sama fisikmu dong?""Enggak, Na. Ak—aku sebenernya udah pendekatan sama dia, cuma belum berani nembak aja," ucap Rendy tersenyum malu.Ana menutup mulutnya terkejut. Dia tidak menyangka jika Rendy sudah mengambil langkah seja
Ana berlari dengan kencang mengelilingi taman komplek perumahannya. Keringat sudah membuat tubuhnya basah. Rasa lelah juga sudah menghampiri kedua kakinya, namun seolah tidak peduli, Ana tetap berlari sampai dia sudah tidak kuat lagi. Dia berhenti dan membungkukkan tubuhnya untuk mengatur napasnya yang tak beraturan. Air mata lagi-lagi keluar tanpa permisi. Ana berusaha untuk tidak memikirkan kejadian itu, namun sia-sia karena rasa menyesal itu perlahan menghampirinya.Tangan kecil itu perlahan menghapus air matanya sebelum orang-orang menyadari dirinya yang menangis. Ana menegakkan tubuhnya dan memandang ke sekitar taman yang sudah mulai ramai karena matahari sudah benar-benar muncul. Ana mengambil ancang-ancang untuk kembali berlari namun sebuah teriakan menghentikannya."Sampai kapan kamu mau lari terus? Sini! Putri udah beli bubur tadi."Ana memang tidak sendiri di tempat ini. Dia datang bersama Rendy dan Putri, mereka teman yang cukup baik. Mereka mengetahu
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.