Di tengah gerimis yang mulai membasahi bumi, Nyonya Dela masih berdiri di depan pusara putri kecilnya, Paula, yang baru saja dikebumikan. Dengan mata sembab dan pipi basah oleh air mata, tubuhnya bergetar menahan kesedihan yang mendalam. Langit kelabu seakan turut berduka atas kehilangan ini, melukiskan suasana yang suram di area pemakaman Sandiego Hills Memorial Park.
Di sekeliling pusara, bunga-bunga segar yang dibawa oleh keluarga, kerabat dan teman-teman Paula tersusun rapi, namun keindahannya tak mampu menghibur hatinya yang hancur. Tuan Amos, suami Nyonya Dela, berdiri beberapa langkah di belakang istrinya. Dengan hati yang penuh kesedihan dan wajah yang tak kalah muram, pria tua itu berusaha untuk tetap tegar demi keluarganya. Di sebelahnya, Samuel, putra mereka yang masih duduk di bangku kelas enam SD, juga tampak begitu terpukul. Matanya merah dan bengkak, menunjukkan jika dia telah menangis sepanjang upacara pemakaman tadi. Dengan suara lirih dan penuh harap, Tuan Amos mencoba membujuk istrinya untuk pulang. "Dela, Sayang, kita harus pulang sekarang. Ayo, hujan sepertinya akan semakin deras. Sudah waktunya kita untuk pulang," tutur Tuan Amos dengan lembut, tangannya meraih bahu Nyonya Dela dengan hati-hati. Namun, Nyonya Dela tidak bergeming. Dia masih memandang batu nisan putrinya tercinta, Paula dengan tatapan kosong. Air matanya mengalir semakin deras, tanpa henti, seolah-olah tidak ada habisnya. Dia menggelengkan kepala dengan lemah, suaranya parau saat berbicara. "Tidak, Amos ... aku tidak bisa meninggalkan Paula di sini sendirian. Aku tidak bisa," jawabnya lirih, suaranya hampir tidak terdengar di antara desahan angin dan hujan. Samuel, yang melihat ibunya begitu terpukul, mencoba mendekat dan menenangkan. Dia memegang tangan ibunya dengan lembut, meski hatinya sendiri terasa remuk. "Mami, ayo kita pulang. Paula tidak ingin melihat Mami seperti ini. Kita harus kuat, Mi. Atas semua cobaan ini," seru Samuel dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca. Namun, Nyonya Dela tiba-tiba menangis histeris. Suara tangisannya pecah di udara, menambah kesan memilukan di area pemakaman itu. Dia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari genggaman suami dan putranya. "Paula! Paula! Putriku, tercinta! Kembali, Sayang! Jangan tinggalkan Mami!" teriak Nyonya Dela sambil meronta, tangannya menggapai-gapai seakan ingin meraih sesuatu yang tidak terlihat. Tuan Amos dan Samuel kewalahan menahan tubuh Nyonya Dela yang semakin liar. Mereka mencoba menenangkannya, namun Nyonya Dela semakin kalap. Dengan mata yang penuh kepedihan, dia mencoba melepaskan diri, bahkan seolah ingin melukai dirinya sendiri. "Tidak! Aku tidak mau pulang! Biarkan aku di sini bersama Paula! Kalian pulang saja ke sana!" teriaknya, berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. Tuan Amos mencoba merangkul istrinya lebih erat, berharap bisa meredakan amukannya. Namun, usahanya sia-sia. Nyonya Dela terus meronta-ronta dengan kekuatan yang seakan-akan datang dari rasa sakit dan kehilangan yang mendalam. "Dela, tolong, tenanglah. Kita akan kembali lagi ke sini. Paula selalu di hati kita," tutur Tuan Amos, kepada istrinya suaranya penuh kepedihan dan keputusasaan yang menyayat. Samuel, yang kini juga berjuang menahan air matanya, mencoba membujuk ibunya dengan lebih lembut. "Mami, tolong, kita harus pergi sekarang. Kita bisa kembali lagi kapan saja ke sini, Mami. Paula akan selalu bersama kita, di dalam hati kita," ucap Samuel dengan nada memohon. Namun, Nyonya Dela tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Dia terus memanggil nama Paula dengan suara yang semakin parau dan lemah. Sampai akhirnya, tubuhnya mulai lemas. Kelelahan karena berontak, Nyonya Dela pun pingsan di pelukan suaminya. Tuan Amos dan Samuel, yang juga kelelahan, dengan hati-hati menurunkan tubuh Nyonya Dela ke tanah yang lembab. Mereka berdua berjongkok, berusaha menenangkan diri dan memastikan bahwa Nyonya Dela masih bernapas. "Asisten Akri!" panggil Tuan Amos dengan suara serak, berharap sang asisten yang menunggu di mobil bisa mendengar panggilannya. “Siap, Bos! Saya akan segera ke sana!” tuturnya, lalu berlari dengan sangat kencang menuju ke arah Tuan Amos dan Samuel berada. Asisten Akri, yang sejak awal menunggu di dalam mobil, segera keluar dan berlari menuju mereka. Dengan sigap, dia membantu Tuan Amos dan Samuel mengangkat tubuh Nyonya Dela yang lemas. "Kita harus segera ke rumah sakit, Bos. Nyonya Dela perlu diperiksa dokter," tukas Asisten Akri dengan nada tegas, matanya penuh dengan kekhawatiran. Lalu mereka bertiga dengan hati-hati memasukkan tubuh Nyonya Dela ke dalam mobil. Tuan Amos duduk di samping istrinya, memegang tangannya dengan erat, sementara Samuel duduk di depan, berusaha menenangkan diri. Sementara Asisten Akri segera melajukan mobil menuju ke sebuah rumah sakit terdekat, melintasi jalanan yang basah oleh gerimis yang terus turun. Di dalam mobil, suasana begitu hening. Hanya suara mesin dan hujan yang terdengar. Tuan Amos mengusap wajah Nyonya Dela yang basah oleh air mata, berharap istrinya segera sadar dan kembali tenang. Samuel menatap jalan dengan tatapan kosong, pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan adik perempuannya yang kini telah tiada. Setibanya di rumah sakit, mereka segera mendapatkan bantuan medis. Tim dokter dan perawat dengan sigap membawa Nyonya Dela ke ruang pemeriksaan. Tuan Amos dan Samuel menunggu dengan cemas di luar, berharap yang terbaik untuk istri dan ibu mereka. Waktu terasa berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit. Tuan Amos menggenggam tangan Samuel, mencoba memberikan kekuatan satu sama lain. Samuel menunduk, air mata kembali mengalir di pipinya. "Paula pasti ingin kita tabah, Sam. Kita harus kuat untuk Mami," bisik Tuan Amos, suaranya mulai bergetar menahan emosi. Samuel hanya mengangguk, masih terisak pelan. “Iya, Papi. Aku juga masih merasakan sangat kehilangan atas kepergian Paula untuk selamanya. Tapi aku akan berusaha untuk tetap tegar!” ujar Samuel tegas. Mereka berdua tahu, jalan ke depan akan penuh dengan tantangan. Kehilangan Paula adalah pukulan yang sangat berat, namun mereka harus tetap kuat demi satu sama lain dan demi Nyonya Dela. Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya serius namun penuh pengertian. Tuan Amos dan Samuel segera berdiri, berharap mendapatkan kabar baik. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Tuan Amos dengan nada penuh kecemasan. "Nyonya Dela mengalami kelelahan fisik dan emosional yang berat. Kami sudah memberikan obat penenang untuk membantunya beristirahat. Kondisinya stabil, namun dia membutuhkan waktu untuk pulih," jawab dokter dengan tenang. Tuan Amos mengangguk, merasa sedikit lega mendengar kabar tersebut. Dia tahu, perjalanan keluarganya masih sangat panjang, namun mereka akan melalui ini bersama-sama. Dengan hati yang penuh rasa syukur meski masih dipenuhi kesedihan, Tuan Amos dan Samuel menunggu di sisi Nyonya Dela, siap memberikan dukungan dan cinta yang tak pernah putus.Langit biru di luar jendela tampak membentang luas, awan putih menggumpal bagai kapas, mengiringi perjalanan udara keluarga kecil Samuel dan Mikha menuju Jepang. Di dalam jet pribadi yang elegan dan nyaman milik ayah Samuel, suasana penuh kehangatan dan canda tawa anak-anak terdengar meramaikan kabin utama.Jeremias yang kini berusia lima tahun tampak antusias melihat pemandangan dari balik jendela. Dia duduk di kursi kulit yang empuk, mengenakan jaket hoodie bergambar dinosaurus dan memegang mainan robot favoritnya."Papi, kita sudah sampai Jepang belum?" tanyanya sambil menempelkan wajah ke jendela bulat itu.Samuel tersenyum dan duduk di sebelah putranya."Belum, Nak. Kita masih terbang, mungkin satu jam lagi kita akan mendarat di Osaka.""Aku mau naik roller coaster! Dan lihat dinosaurus kayak di film!" seru Jeremias penuh semangat.Sementara itu, Carol yang baru berusia dua tahun sedang duduk di pangkuan Mikha. Gadis kecil itu mengenakan dress bunga-bunga berwarna pastel dan seda
Mikha merasakan kebahagiaan yang luar biasa mendengar semua ucapan penuh kasih sayang dari orang-orang yang sangat berarti baginya. Dia tersenyum bahagia, merasa sangat diberkati memiliki keluarga yang begitu mendukung.Acara dilanjutkan dengan makan bersama dan permainan baby shower yang menyenangkan. Tamu-tamu menikmati hidangan lezat yang disediakan, dan Mikha merasa sangat puas melihat semua orang tertawa dan bahagia. Dia sungguh tak sabar untuk segera menyambut kehadiran Jeremias, bayinya yang sudah sangat mereka nantikan.Selama acara, Mikha merasa begitu penuh cinta. Tidak hanya dari Samuel, tapi juga dari keluarganya dan keluarga Samuel yang begitu mendukung. Dia tahu jika perjalanan mereka sebagai orang tua baru akan penuh tantangan, namun dengan dukungan dan kasih sayang yang diterima keduanya, yakin jika mereka akan melewati semuanya bersama.Setelah acara selesai, Mikha dan Samuel duduk di teras rumah, menikmati malam yang tenang. Mikha bersandar pada Samuel, menatap langi
Setelah satu bulan kembali dari bulan madu mereka di Mauritius, kehidupan Mikha dan Samuel terasa kembali normal. Namun, hari-hari terakhir ini Mikha merasa ada yang berbeda. Pagi-pagi, dia mulai merasakan mual dan kadang muntah tanpa sebab yang jelas. Awalnya, Mikha mengira itu hanya karena kelelahan atau pola makan yang tidak teratur setelah perjalanan panjang mereka. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa mual itu semakin intens dan tak kunjung hilang.Pada suatu pagi, setelah terbangun dan merasakan mual yang cukup parah, Mikha memutuskan untuk memberi tahu Samuel. Dia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam perutnya yang terasa tidak nyaman. Samuel yang baru saja selesai mandi keluar dari kamar mandi, terkejut melihat istrinya tampak begitu pucat.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Samuel dengan cemas, menghampiri Mikha.“Aku ... aku merasa sangat mual,” jawab Mikha lemah, mencoba tersenyum meski wajahnya tampak jelas tidak nyaman.Samuel duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya
Hari terakhir di Mauritius terasa seperti lembaran terakhir dalam buku cerita penuh warna. Mikha dan Samuel bangun lebih awal dari biasanya, menikmati kopi hangat sambil duduk berdua di teras vila, menatap matahari terbit yang perlahan mengintip dari balik horizon timur.“Gila sih, waktu di sini cepet banget berlalu ya,” ujar Mikha pelan sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya.Samuel membalas dengan mengecup pelan kening istrinya. “Tapi semua momen yang tercipta di sini bakal abadi di ingatan kita. Dan hari ini, kita simpan yang paling manis untuk penutup.”Mikha menoleh dengan senyum penasaran. “Jadi kita ke mana?”Samuel hanya tersenyum penuh rahasia. “Pulau kecil. Di lepas pantai timur. Ada kejutan buat kamu.”Beberapa jam kemudian, mereka tiba di dermaga kecil, naik perahu motor yang membawa keduanya ke destinasi terakhir bulan madu mereka yaitu Île aux Cerfs, pulau eksotis yang seolah tercipta untuk cinta dan ketenangan.Begitu perahu merapat, Mikha terpukau. Pasir putih se
Hari masih pagi cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai besar vila yang menghadap langsung ke hamparan danau tenang. Udara masih sejuk, aroma pohon pinus dan embun pagi merasuk hingga ke dalam kamar. Pasangan suami istri itu tadinya memutuskan melanjutkan tidur mereka. Tapi beberapa saat kemudian,Mikha membuka matanya perlahan dan mendapati Samuel masih tertidur di sebelahnya, tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya dengan lembut. Dia pun tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang tampak damai.“Sayang,” bisiknya pelan, membelai rambut Samuel.Samuel mengerjap pelan, lalu tersenyum melihat Mikha di hadapannya. “Pagi, Cinta,” ucapnya serak karena baru bangun. Dia menarik Mikha mendekat, mencium keningnya perlahan.“Pagi juga,” jawab Mikha sambil menyandarkan kepalanya di dada Samuel. “Aku suka bangun seperti ini, dengan suasana yang tenang dan bersamamu.”“He-he-he.”Samuel tertawa pelan. “Aku juga. Rasanya seperti dunia hanya milik kita berdua di sini.”Mereka
Pagi berikutnya,Mentari pagi menyambut hangat di vila yang tinggali selama bulan madu di Mauritius, oleh Samuel dan Mikha. Aroma laut masih tercium samar, bercampur dengan harum teh hangat yang diseduh Mikha di dapur kecil vila. Hari ini mereka mengenakan pakaian yang sedikit lebih nyaman, Samuel dengan kemeja linen putih dan celana khaki, Mikha dalam gaun panjang pastel dan selendang tipis menutupi bahunya.“Siap ke Grand Bassin?” tanya Samuel sambil menyandarkan diri di ambang pintu, menatap Mikha yang tengah memakai anting kecil berwarna emas.Mikha mengangguk sambil tersenyum. “Aku udah penasaran sejak kamu cerita itu danau sakral.”Perjalanan menuju Grand Bassin atau Ganga Talao, danau suci di dataran tinggi Mauritius, memakan waktu sekitar satu jam. Jalannya menanjak, berkelok, dan penuh hutan hijau yang meneduhkan. Udara menjadi lebih sejuk begitu mobil mereka melewati gerbang masuk kawasan religius itu.Samuel menghentikan mobil perlahan. Di depan mereka, berdiri patung raks