Matahari bersinar terik di langit yang cerah, memancarkan cahaya yang menyilaukan dan menghangatkan tanah di bawahnya. Namun, sinar matahari yang menyengat itu tidak mampu meredam kesedihan yang melanda orang-orang yang berkumpul di Sandiego Hills Memorial Park. Di tengah terik siang itu, kerabat, keluarga, dan teman-teman dari anak perempuan bernama Paula Anderson telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir baginya.
Paula, seorang anak berusia sepuluh tahun, telah meninggal dunia akibat benturan di kepalanya yang menyebabkan pendarahan hebat. Kedua orang tuanya, Tuan Amos dan Nyonya Dela, serta sang kakak, Samuel Anderson, turut hadir, hati mereka dipenuhi dengan duka yang mendalam. Mereka berdiri di depan peti mati yang terbuka, menatap wajah tenang Paula untuk terakhir kalinya. Pemuka agama mulai melaksanakan ibadah pelepasan jenazah. Suara doa mengalun di udara, akan tetapi kesedihan yang begitu dalam membuat suasana semakin hening. Tuan Amos berdiri tegak, mencoba terlihat kuat di hadapan istrinya, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Nyonya Dela berdiri di sampingnya, tangisannya tidak bisa tertahan, tubuhnya gemetar di bawah sinar matahari yang terik itu. "Saya tahu ini sangat sulit, akan tetapi kita harus mencoba menerima takdir ini," tutur sang pemuka agama dengan suara lembut namun tegas. "Kita berkumpul di sini untuk menghormati Paula dan merelakannya pergi dengan damai." Isak tangis Nyonya Dela semakin keras saat pemuka agama selesai berbicara. Dia memeluk peti mati Paula erat-erat, seakan tidak ingin melepaskannya. "Paula, Nak ... Mami sangat sayang sama kamu. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa?" jeritnya dengan suara yang serak dan penuh derita. Tuan Amos merangkul istrinya, mencoba memberikan dukungan meski hatinya sendiri penuh dengan kesedihan. "Mami, Sayang ... Kita harus tabah. Paula pasti ingin kita selalu kuat, menghadapi semua cobaan ini," bisiknya, suaranya sungguh bergetar. Samuel, bocah kelas enam SD, berdiri sedikit terpisah dari orang tuanya. Matanya merah dan bengkak akibat menangis sepanjang malam. Dia menatap peti mati yang mulai diturunkan ke liang kubur, air mata pun mengalir deras di pipinya. "Paula … Adikku Tersayang, aku akan sangat merindukanmu," bisiknya lirih. Ketika peti mati mulai diturunkan, suasana semakin pilu. Tangis para pelayat semakin kencang, menggema di antara bukit-bukit hijau di sekitar Sandiego Hills. Nyonya Dela hampir tidak bisa berdiri, tubuhnya terasa lemah seiring dengan kepergian putri tercintanya. Tuan Amos tetap merangkul istrinya, menahan tangisnya sendiri demi memberikan kekuatan kepada sang istri tercinta. "Paula adalah anak yang sangat baik dan penuh cinta. Kita semua merasakan kehilangan yang begitu besar," tukas salah seorang kerabat yang turut hadir. "Dia selalu membawa kebahagiaan dalam setiap langkahnya. Kita pasti akan merindukannya selamanya," ujar yang lainnya. Satu per satu, orang-orang mulai menaburkan bunga ke dalam liang kubur. Samuel pun melangkah maju, memegang sekuntum bunga mawar putih di tangannya yang gemetar. Sang bocah kecil tersebut menatap bunga itu sejenak sebelum melemparkannya ke dalam liang itu. "Selamat tinggal, Paula. Adikku yang baik hati. Aku akan selalu mengingatmu," ucap Samuel dengan suara yang tersendat-sendat mencoba menahan rasa pilu yang menyesakkan jiwanya. Nyonya Dela tidak tahan melihat peti mati Paula mulai ditutupi tanah. Perempuan itu malah menangis semakin keras, air matanya bercucuran tanpa berhenti dari kedua pipinya. "Tidak ... Tidak ... Paula! Jangan tinggalkan Mami! Mami sangat menyayangimu, Paula! Bagaimana Mami menjalani hari-hari tanpamu, Paula!" tangis Nyonya Dela semakin menyayat. Dia terus meronta-ronta dalam pelukan Tuan Amos. Tuan Amos mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang, meski matanya juga basah oleh air mata. "Mami, kita harus kuat. Kita harus ikhlas," serunya, meski suaranya terdengar hampa. Hatinya sendiri terasa hancur berkeping-keping, namun Tuan Amos tahu jika dia harus tetap tegar demi keluarganya. Samuel mendekati ibunya, lalu memeluknya dengan erat. "Mami … Mami jangan menangis lagi. Paula pasti sudah ada di tempat yang lebih baik sekarang," ucap Samuel, meski hatinya sendiri penuh dengan kesedihan. "Aku juga pasti akan merindukannya setiap hari," tutur Samuel lagi. Tak berapa lama kemudian, pemuka agama kembali berbicara, mengajak semua orang untuk berdoa bersama. Doa-doa dipanjatkan dengan penuh haru, meminta agar Paula diterima di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan. Isak tangis terus terdengar, namun doa-doa tersebut memberikan sedikit ketenangan di hati yang berduka. Setelah upacara pemakaman selesai, satu per satu pelayat mulai meninggalkan tempat tersebut, memberikan pelukan dan ucapan belasungkawa kepada Keluarga Anderson. Tuan Amos dan Nyonya Dela berdiri di samping kubur Paula, masih mencoba menerima kenyataan pahit ini. Samuel tetap berada di samping mereka, meski hatinya terasa sangat kosong tanpa kehadiran adiknya. Nyonya Dela menatap kubur yang telah tertutup itu, air matanya terus mengalir. "Paula, Mami akan selalu mencintaimu. Mami akan selalu mengenangmu," ucapnya dengan suara yang bergetar. Tuan Amos memegang tangan istrinya erat-erat. "Mami … kita harus terus melanjutkan hidup, Mi. Semuanya demi Paula dan Samuel. Kita harus kuat," ucapnya, meski suaranya sendiri penuh dengan kepedihan. Samuel menghapus air mata di pipinya dan berkata, "Mami, Papi, kita akan selalu bersama. Kita akan menjaga kenangan tentang Paula dalam hati kita." Hari itu, di bawah terik matahari yang menyengat, keluarga Anderson mencoba menerima kenyataan pahit ini. Keluarga itu tahu bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi tanpa Paula, namun mereka bertekad untuk tetap kuat dan saling mendukung. Meski dengan hati yang hancur, ketiganya mencoba melangkah maju, membawa cinta dan kenangan Paula bersama mereka. Kehilangan Paula adalah luka yang dalam dan takkan pernah hilang. Namun, cinta mereka untuk Paula akan selalu menjadi cahaya yang menerangi langkah mereka ke depan. Dalam duka yang mendalam, keluarga Anderson menemukan kekuatan dalam cinta dan kebersamaan. Semua orang tahu bahwa meski Paula telah pergi, cintanya akan selalu ada di hati mereka, selamanya. Namun tidak bagi Nyonya Dela, setelah semua orang pergi dari area pemakaman. Tersisa Samuel, Tuan Amos dan Nyonya Dela yang masih berada di sana. Ternyata sang ibu masih belum bisa menerima kenyataan jika Paula telah meninggalkan mereka untuk selamanya. Di area pemakaman itu juga ada Asisten Akri yang sedang berkoordinasi dengan pihak berwajib untuk mengusut tuntas penyebab kematian Paula yang begitu tragis. Sang asisten terlihat beberapa kali mengepalkan tangannya karena tidak satu informasi pun yang ditemukan olehnya untuk mengungkapkan semuanya. Tak terasa Asisten Akri meneteskan air matanya. Namun pria itu berusaha menutupinya dari Keluarga Anderson. “Nona Paula, maafkan Uncle. Uncle masih belum bisa mendapatkan informasi tentang kematianmu. Tapi Uncle berjanji akan mencari tahu tentang semua ini! Uncle tidak akan melepaskan orang yang membuat dirimu telah pergi jauh dari kami!” Akri pun berjanji dalam hatinya.Langit biru di luar jendela tampak membentang luas, awan putih menggumpal bagai kapas, mengiringi perjalanan udara keluarga kecil Samuel dan Mikha menuju Jepang. Di dalam jet pribadi yang elegan dan nyaman milik ayah Samuel, suasana penuh kehangatan dan canda tawa anak-anak terdengar meramaikan kabin utama.Jeremias yang kini berusia lima tahun tampak antusias melihat pemandangan dari balik jendela. Dia duduk di kursi kulit yang empuk, mengenakan jaket hoodie bergambar dinosaurus dan memegang mainan robot favoritnya."Papi, kita sudah sampai Jepang belum?" tanyanya sambil menempelkan wajah ke jendela bulat itu.Samuel tersenyum dan duduk di sebelah putranya."Belum, Nak. Kita masih terbang, mungkin satu jam lagi kita akan mendarat di Osaka.""Aku mau naik roller coaster! Dan lihat dinosaurus kayak di film!" seru Jeremias penuh semangat.Sementara itu, Carol yang baru berusia dua tahun sedang duduk di pangkuan Mikha. Gadis kecil itu mengenakan dress bunga-bunga berwarna pastel dan seda
Mikha merasakan kebahagiaan yang luar biasa mendengar semua ucapan penuh kasih sayang dari orang-orang yang sangat berarti baginya. Dia tersenyum bahagia, merasa sangat diberkati memiliki keluarga yang begitu mendukung.Acara dilanjutkan dengan makan bersama dan permainan baby shower yang menyenangkan. Tamu-tamu menikmati hidangan lezat yang disediakan, dan Mikha merasa sangat puas melihat semua orang tertawa dan bahagia. Dia sungguh tak sabar untuk segera menyambut kehadiran Jeremias, bayinya yang sudah sangat mereka nantikan.Selama acara, Mikha merasa begitu penuh cinta. Tidak hanya dari Samuel, tapi juga dari keluarganya dan keluarga Samuel yang begitu mendukung. Dia tahu jika perjalanan mereka sebagai orang tua baru akan penuh tantangan, namun dengan dukungan dan kasih sayang yang diterima keduanya, yakin jika mereka akan melewati semuanya bersama.Setelah acara selesai, Mikha dan Samuel duduk di teras rumah, menikmati malam yang tenang. Mikha bersandar pada Samuel, menatap langi
Setelah satu bulan kembali dari bulan madu mereka di Mauritius, kehidupan Mikha dan Samuel terasa kembali normal. Namun, hari-hari terakhir ini Mikha merasa ada yang berbeda. Pagi-pagi, dia mulai merasakan mual dan kadang muntah tanpa sebab yang jelas. Awalnya, Mikha mengira itu hanya karena kelelahan atau pola makan yang tidak teratur setelah perjalanan panjang mereka. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa mual itu semakin intens dan tak kunjung hilang.Pada suatu pagi, setelah terbangun dan merasakan mual yang cukup parah, Mikha memutuskan untuk memberi tahu Samuel. Dia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam perutnya yang terasa tidak nyaman. Samuel yang baru saja selesai mandi keluar dari kamar mandi, terkejut melihat istrinya tampak begitu pucat.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Samuel dengan cemas, menghampiri Mikha.“Aku ... aku merasa sangat mual,” jawab Mikha lemah, mencoba tersenyum meski wajahnya tampak jelas tidak nyaman.Samuel duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya
Hari terakhir di Mauritius terasa seperti lembaran terakhir dalam buku cerita penuh warna. Mikha dan Samuel bangun lebih awal dari biasanya, menikmati kopi hangat sambil duduk berdua di teras vila, menatap matahari terbit yang perlahan mengintip dari balik horizon timur.“Gila sih, waktu di sini cepet banget berlalu ya,” ujar Mikha pelan sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya.Samuel membalas dengan mengecup pelan kening istrinya. “Tapi semua momen yang tercipta di sini bakal abadi di ingatan kita. Dan hari ini, kita simpan yang paling manis untuk penutup.”Mikha menoleh dengan senyum penasaran. “Jadi kita ke mana?”Samuel hanya tersenyum penuh rahasia. “Pulau kecil. Di lepas pantai timur. Ada kejutan buat kamu.”Beberapa jam kemudian, mereka tiba di dermaga kecil, naik perahu motor yang membawa keduanya ke destinasi terakhir bulan madu mereka yaitu Île aux Cerfs, pulau eksotis yang seolah tercipta untuk cinta dan ketenangan.Begitu perahu merapat, Mikha terpukau. Pasir putih se
Hari masih pagi cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai besar vila yang menghadap langsung ke hamparan danau tenang. Udara masih sejuk, aroma pohon pinus dan embun pagi merasuk hingga ke dalam kamar. Pasangan suami istri itu tadinya memutuskan melanjutkan tidur mereka. Tapi beberapa saat kemudian,Mikha membuka matanya perlahan dan mendapati Samuel masih tertidur di sebelahnya, tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya dengan lembut. Dia pun tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang tampak damai.“Sayang,” bisiknya pelan, membelai rambut Samuel.Samuel mengerjap pelan, lalu tersenyum melihat Mikha di hadapannya. “Pagi, Cinta,” ucapnya serak karena baru bangun. Dia menarik Mikha mendekat, mencium keningnya perlahan.“Pagi juga,” jawab Mikha sambil menyandarkan kepalanya di dada Samuel. “Aku suka bangun seperti ini, dengan suasana yang tenang dan bersamamu.”“He-he-he.”Samuel tertawa pelan. “Aku juga. Rasanya seperti dunia hanya milik kita berdua di sini.”Mereka
Pagi berikutnya,Mentari pagi menyambut hangat di vila yang tinggali selama bulan madu di Mauritius, oleh Samuel dan Mikha. Aroma laut masih tercium samar, bercampur dengan harum teh hangat yang diseduh Mikha di dapur kecil vila. Hari ini mereka mengenakan pakaian yang sedikit lebih nyaman, Samuel dengan kemeja linen putih dan celana khaki, Mikha dalam gaun panjang pastel dan selendang tipis menutupi bahunya.“Siap ke Grand Bassin?” tanya Samuel sambil menyandarkan diri di ambang pintu, menatap Mikha yang tengah memakai anting kecil berwarna emas.Mikha mengangguk sambil tersenyum. “Aku udah penasaran sejak kamu cerita itu danau sakral.”Perjalanan menuju Grand Bassin atau Ganga Talao, danau suci di dataran tinggi Mauritius, memakan waktu sekitar satu jam. Jalannya menanjak, berkelok, dan penuh hutan hijau yang meneduhkan. Udara menjadi lebih sejuk begitu mobil mereka melewati gerbang masuk kawasan religius itu.Samuel menghentikan mobil perlahan. Di depan mereka, berdiri patung raks