Hari ini aku berhasil mendapatkan panggilan kerja di Gedung Tower Excellent di bilangan kota Malang yang sejuk dan asri. Setelah sekian lama aku mencari pekerjaan, akhirnya aku mendapatkan panggilan kerja di sebuah bank ternama. Namun, semuanya menjadi aneh ketika aku menemukan sebuah tusuk konde dengan motif berayun rumbai.
Tusuk konde itu berukuran sekitar lima inchi, terbuat dari bahan tembaga murni yang sangat indah dan berkilauan.
Di atasnya terdapat batu alam gesper berwarna hijau dengan tambahan bunga di tengahnya. Sangat indah. Tapi tusuk konde itu penuh misteri dan bertuah. Inilah ceritaku dan keganjilan yang aku alami.
****
Nayla Puspaningrum, seorang gadis berparas cantik, berkulit sawo matang dan bermata sipit. Tapi tidak keturunan China. Melainkan asli Jawa. Memiliki tinggi dan bentuk badan yang sangat ideal untuk menarik perhatian kaum adam.
Hari Senin pagi, Nayla terlihat terburu-buru berjalan di sebuah lobby yang mewah. Dengan memakai kemeja rapi berwarna putih dan celana bahan hitam lengkap dengan sepatu pantofel berwarna hitam pula.
Karena saking terburu-burunya, ia tak menyadari jika sepatu pantofel miliknya rusak. Hellsnya copot karena lem yang kurang merekat.
"Ish, sial banget sih. Mana enggak bawa ganti lagi. Baru aja sampai, belum tes udah ada aja gini!" gerutunya.
Nayla duduk di kursi yang sudah disediakan untuk menunggu panggilan tes. Dia terus mencoba merapatkan hellsnya agar bisa dipakai berjalan.
Sekitar pukul setengah delapan, pintu ruangan tes dibuka. Para pelamar yang lolos seleksi dipersilahkan masuk untuk mengikuti psikotes. Jika lolos akan lanjut untuk tes wawancara dan tes medical check-up.
Ruangan tes tersebut sangat luas. Setiap meja tersedia satu komputer dan setiap peserta diatur duduk satu persatu menurut abjad nama mereka.
Nayla berjalan dengan menyeret kaki kirinya karena sepatu pantofel yang rusak. Beruntung para peserta dan penguji tidak menyadarinya.
Setelah dijelaskan tata tertib dan cara pengerjaan. Waktu tes pun dimulai. Mereka semua diberi kesempatan untuk mengerjakan soal dalam waktu satu jam.
Tampak Nayla begitu konsentrasi saat mengerjakan tes di komputernya. Tepat pukul setengah sembilan, psikotes tersebut berakhir.
Dan para pelamar harus keluar ruangan agar hasil tes mereka dapat dinilai oleh para penguji dan akan diumumkan hari itu juga. Nayla mencari tempat duduk dan ia menghempaskan tubuhnya yang mungil di sebuah kursi.
Nayla sudah sangat badmood dengan sepatunya yang sudah tidak nyaman digunakan.
"Mana masih lama lagi, kenapa sih ini sepatu enggak bisa kompromi banget," kesalnya sambil melirik jam tangan di pergelangan tangan.
"Aku pasrah aja, semoga aku enggak lolos tes biar aku cepet pulang. Ishh, malu banget aku!" Beberapa kali Nayla memukul sepatunya sendiri karena kesal.
Ia mengambil hp di dalam tasnya. Dan ia segera menuliskan sesuatu untuk seseorang.
Wisnu Pradipta adalah laki-laki yang sangat dicintainya dan sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun lamanya.
Selesai mengirim pesan WA. Nayla memasukan kembali hpnya ke dalam tas dan menunggu hasil tes diumumkan.
"Permisi, boleh duduk di sini?" tanya seorang pelamar yang lain pada Nayla.
"Silahkan, Mbak!" jawab Nayla pun ramah.
Nayla melihat gadis di sebelahnya, gadis itu begitu cantik dan manis. Berkulit yang sama dengan Nayla. Dengan rambut lurus hitam terkuncir ekor kuda dengan rapi.
"Mbak, namanya siapa? Saya Nayla." Ia mengulurkan tangannya.
"Angel." Gadis itu membalas uluran tangan Nayla.
"Kamu umur berapa?"
"Aku lahir tahun 1997. Kalau kamu?"
"Wah sama kalau gitu. Kita seumuran." Nayla tersenyum senang.
"Oh ya! Kalau gitu panggil nama aja biar lebih akrab!" balas Angel.
"Okey!"
Disaat mereka berdua sedang berbincang, seorang penguji keluar dari dalam ruangan tersebut.
Sambil membawa selembar kertas di tangannya yang sepertinya hasil psikotes para pelamar.
Hati Nayla begitu deg-degan. Ia sangat ingin lolos. Namun, ia sudah terlanjur badmood dengan sepatu.
Satu per satu nama peserta dipanggil. Termasuk Angel yang sudah dipanggil namanya dan maju ke depan. Nayla semakin yakin jika ia tidak akan lolos.
"Nayla Puspaningrum!" panggil Bapak penguji itu cukup keras dan lantang.
Sejenak Nayla sangat kaget dan tak percaya jika namanya berhasil lolos.
"Sa-saya pak!" Nayla mengangkat tangan kanannya. Dan diminta untuk maju ke depan bersama peserta yang lolos lainnya. Hati Nayla begitu senang dan bahagia bercampur aduk dengan badmoodnya.
"Alhamdulillah aku lolos!" batin Nayla sangat senang.
Setelah mengumumkan hasil psikotes. Para pelamar yang lolos diminta untuk bersiap mengikuti tes selanjutnya. Sementara bagi pelamar yang tidak lolos dipersilahkan untuk kembali pulang.
"Aduhh ... masa aku wawancara pakai sepatu kayak gini."
"Kenapa, Nay?" tanya Angel melihat Nayla yang gusar.
"Eh, ini, Ngel sepatuku copot hellsnya. Gimana ya?"
Angel tertawa ketika melihat pantofel Nayla. Nayla pun sangat malu.
"Maaf, Nay. Lucu aja gitu. Kok bisa sih, Nay?"
Nayla menggelengkan kepalanya dengan wajah yang malas.
"Ya sudah enggak usah cemberut gitu. Nanti pas wawancara pakai aja sepatuku."
"Beneran enggak apa-apa?" Raut Wajah Nayla yang semula ditekuk menjadi senang. Angel hanya mengangguk dan tersenyum.
"Tapi cukup enggak sama ukuran kaki kamu, Nay?"
Gadis cantik itu memberikan sebelah sepatunya untuk dicoba Nayla.
"Cukup sih, Ngel meskipun agak kegedean dikit. Tapi masih enggak apa-apa."
"Ya sudah nanti pakai aja sepatu aku."
"Makasih, Ngel ... makasih banyak ya!"
"Iya sama-sama. Kamu asli Jawa ya?" tebak Angel karena memang logat berbicara Nayla yang masih medok.
"Hehehe iya, Ngel. Kamu emang asli mana?"
"Aku dari Jakarta, Nay."
"Oh pantesan kamu modis banget," puji Nayla pada Angel.
"Hehehe terimakasih. Tapi kamu juga modis kok cantik. Aku suka gaya bicara kamu yang berlogat khas itu, Nay."
"Oh ya, Ngel aku mau ke kamar mandi. Kamu mau ikut enggak?"
"Ayo aku juga kebelet."
Nayla dan Angel mencari toilet. Setelah bertanya pada seorang satpam. Mereka akhirnya menemukan toilet di gedung tersebut.
Angel yang memang sudah kebelet langsung masuk ke dalam kamar mandi. Beruntung keadaan kamar mandi itu hanya ada mereka berdua.
Nayla yang memang belum terlalu kebelet, ia sedang bercermin. Ia memperhatikan penampilannya dari kaca lebar di dalam toilet. Sekilas Nayla mencium aroma wangi melati yang sangat menyengat dan menusuk indra penciumannya.
Ia mengedarkan manik matanya ke sekitar toilet. Setelah dirasanya tak ada apapun yang aneh. Nayla membenarkan rambutnya yang kurang rapi. Ia mencari jepit rambut di dalam tasnya.
Saat ia memperhatikan dirinya di dalam cermin, seorang perempuan memakai kebaya merah dengan kain jarik Sekar Jagat dan wajahnya yang sangat pucat sudah berdiri tepat di belakangnya dengan jarak yang hanya beberapa jengkal dari Nayla.
"Aaarrgghh!" teriak Nayla kencang dengan menutup wajahnya karena ketakutan.
Bersambung
****
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di