Share

BAB 5

Agung baru saja ingin membuka mulut sebelum kendaraan berhenti perlahan-lahan.

"Saya mengantar sampai di sini saja, om." ucap Hendra dengan lirih.

Agung memperhatikan jalan di depan mereka yang diterangi oleh cahaya lampu sepeda motor Hendra. Tampak sebuah jembatan yang lumayan besar yang terbuat dari balok kayu yang di kombinasi dengan lempengan baja yang tebal di sisi-sisi jembatan itu. Di seberangnya tampak pula jalanan yang menanjak di antara pepohonan yang berdaun rapat dan rimbun.

Sadar dengan Hendra yang mulai gelisah, mau tidak mau agung terpaksa harus turun. Barang bawaannya di simpan hati-hati di atas rerumputan liar yang tumbuh subur di pinggir jalan. Lalu dompet nya di cabut dari saku belakang celana. Belum juga dompet itu sempat dibuka, Hendra sudah memutar sepeda motornya ke arah semula seraya berkata tergesa-gesa.

"Lupakan saja om!" ucapnya pada Agung.

"Hei ...."

"Yang pernah saya terima dari almarhumah, sudah lebih dari cukup," potong Hendra tegas. "Selamat malam om. Dan berhati-hatilah ...!" ucapnya dan kemudian Hendra pun tancap gas mengebut seperti orang kesurupan.

Suara sepeda motornya terdengar begitu membahana, dan nyaris memekakkan telinga. Dalam tempo singkat ojek itu sudah lenyap di jalanan berbelok di kejauhan. Tinggal suara sepeda motor saja yang terdengar, yang semakin Lamat-lamat dan di sekitar Agung berdiri, suasana perlahan-lahan mendadak sunyi sepi. Tinggallah ia seorang diri tanpa penerangan, kecuali sinar rembulan.

Hanya satu dua rumah penduduk yang tampak di pinggir jalan, letaknya pun berjauhan. Selebihnya sawah yang menghampar luas. Seingat Agung, nanti setelah melewati tanjakan, diseberang sana barulah ia akan menemukan lebih banyak rumah, yang semakin kesananya semakin rapat satu sama lain.

Yang agung heran adalah riuh rendah mesin sepeda motor Hendra tadi, tampaknya tidak mengakibatkan reaksi apapun pada rumah yang ada di pinggir jalan di tempatnya sekarang berada.

Rumah-rumah itu seperti tidak berpenghuni, tetapi lampu rumah tersebut kelihatan menyala, dan jika memang berpenghuni tentulah sempat terbangun dari tidur. Tetapi seketika itu juga kembali menarik rapat-rapat selimutnya, jangankan untuk melihat keluar. Untuk turun dari tempat tidurnya pun sepertinya mereka tidak berani.

Agung menggelengkan kepala. Tas yang terletak di atas rerumputan kembali ia jemput, kemudian ia mulai berjalan menyebrangi jembatan, di iringi suara air sungai yang mengalir deras di bawahnya. Selain dari suara air ia tidak mendengar suara apapun lagi di sekitarnya. Seolah semua makhluk malam termasuk jangkrik bersembunyi ketakutan.

Agung tiba di awal tanjakan yang di kiri kanannya di tumbuhi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun serta rapat pula, sangking rapatnya sampai-sampai sinar rembulan tidak bisa tembus sehingga yang tampak didepannya tidak lebih hanya Hitam nya malam semata, dan bias yang sama di ujung tanjakan, jalan yang menyerupai lorong raksasa itu terlihat juga walaupun sangat samar-samar.

Agung terus melangkah dengan ekstra hati-hati. dia tidak boleh terpeleset apalagi sampai terbanting dengan pinggul ataupun punggung lebih dulu menimpa tanah. Tulang-tulang punggungnya memang tidak terganggu tetapi sambungan tulang yang terluka oleh terjangan peluru yang bersarang, pastilah akan menimbulkan rasa linu yang tidak tertahankan. Dan ....

Sesuatu terdengar mengeram dari atasnya, terkejut dan dengan reflek Agung mendongakkan kepalanya lantas tertegun dengan seketika. Di puncak tanjakan, berlatar belakang sinar rembulan tampak sosok tubuh kehitaman berdiri tegak dengan posisi yang teramat ganjil. Seekor kera. Dengan sepasang matanya bersinar tajam. Dengan warna merah menyala Semerah darah.

Jantung Agung bagai tidak berdenyut. Sangking terkejutnya.

Seekor kera bukanlah pemandangan aneh buat dirinya, akan tetapi seekor kera di tempat gelap serta sunyi terasing ... tanpa kehadiran mahluk lain di sekitarnya, itu berbeda. Apalagi kera satu ini bermata merah darah. Lalu terdengar satu issue untuk melengkapinya, dan sudah jatuh tiga orang korban manusia, dengan tubuh tercabik-cabik, leher robek menganga, dan darah di hisap dengan habis.

Agung mencoba mengedip-ngedipkan matanya. Dengan berharap ia hanya terpengaruh oleh takhayul sehingga berkhayal yang bukan-bukan. Namun bagaimana pun ia mengedip-ngedipkan dan matanya pun sampai terbelalak hingga terasa perih, mahluk dunia asing itu masih tetap tampak di atas sana. Tegak dan sabar menunggu sang calon mangsa datang mendekat. Sepasang tangan kera itu terjuntai kaku, seperti akan menggapai tanah di bawah kakinya.

Sesaat, mahluk itu tampak seperti menggeliat resah.

Hanya ada dua pilihan buat kapten polisi Drs. Agung Bratamangala. Mundur teratur, atau maju sambil menembak. Tidak harus kena, tetapi cukup dengan menyemburkan peluru ke udara atau di sekitar mahluk itu berdiri. Sekedar menakut-nakuti saja kecuali jika keadaan memaksa.

Agung menguasai diri, secara perlahan dan sangat berhati-hati sehingga gerakannya tidak terlihat mencolok, tas di tangan kanan di pindahkan ke tangan yang berisi kantong plastik di tangan kiri. Salah satu kancing kemejanya di lepas dan segera meraba sarung pistol yang tergantung di sisi kiri tubuh. Kancing sarung pistol di sentak lepas dan dengan cepat tutup sarung pistol terbuka, dan secepat itu pula sepucuk cold otomatis kaliber 38 sudah tergenggam di tangan kanan Agung. Dengan posisi menembak

Seolah-olah mengetahui gelagat, sang mahluk tiba-tiba memperlihatkan gerakan aneh, sambil mengeram parau, sebelah tangan kera itu di tepuk-tepukkan ... oh bukan. Bukan! tangan itu seperti menunjuk-nunjuk, lalu setelah nya di tepuk-tepukkan dengan keras ke dadanya sendiri. Tak cukup hanya itu sang mahluk melompat-lompat di tempat. Sambil kedua telapak tangannya di ganti menepuk-nepuk kepala. Disertai geram keras dan parau.

Lompatan di tempat, gerakan dan suara-suara aneh itu membuat Agung sekali lagi sempat tertegun. Lalu, berprasangka sang mahluk sudah siap untuk menyerbu ke arahnya. Agung pun lantas mengangkat laras pistolnya sedikit keatas siap untuk menembak langsung ke arah sasaran. Tetapi sentuhan naluri melarang Agung untuk membunuh semena-mena. Sepersekian detik lamanya Agung sempat ragu-ragu.

Sang mahluk tiba-tiba melompat dengan kecepatan yang sukar di pandang mata biasa. Bukan ke arah Agung yang berbeda di bawahnya. Melainkan ke arah kegelapan malam di balik pepohonan pinggir jala. Dalam sekejap mahluk itu sudah menghilang, sambil mendengarkan jeritan panjang yang ... anehnya, terdengar lirih dan memelas. Sedemikian lirih dan memelasnya, sehingga perasaan ketakutan Agung berubah menjadi perasaan sedih yang mendalam. seakan ia baru saja kehilangan sesuatu yang teramat ia sayangi!

Jeritan aneh sang mahluk perlahan-lahan lenyap di kejauhan, Beberapa saat lamanya Agung termenung. "Ya Tuhan, ada apa dengan diri ku? mengapa naluri menahan ku untuk tidak membunuh! mengapa perasaan hatiku mendadak lirih dan pilu tanpa sebab? yang lebih dan mengherankan lagi mengapa kera bermata merah itu bukannya menerkam malah justru melarikan diri. disertai jeritan yang begitu menyayat hatiku." ucapnya dalam lamunannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status