Tiba di rumah, Anna langsung ke dapur meletakkan semua minuman kewanitaannya di kulkas. Dari jauh mata Dae Song mengamati adik iparnya itu. Dia bahkan lelah untuk berpikir dengan resiko nanti. Otaknya tak berfungsi lagi untuk yang lain, hanya Anna dan kehamilan yang menguasai pikirannya.
'Aku benci diriku sendiri yang mesum ini!' Dae Song menghardik dirinya dalam hati.Micha menarik tangan pamannya. "Samchon, kau kenapa selalu melihat ibuku?" tanya gadis kecil itu.Dae Song tertegun. Anak sekecil Micha saja mampu menebak bahasa tubuhnya, dia pria yang memang tak pandai berlakon."Anak kecil, paman bukan melihat ibumu, paman melihat kulkas yang sudah tua itu," sahut Dae Song. Bu Nas juga mengamati gelagat Dae Song, suatu kesimpulan yang masih sama seprti dulu, 'Dae Song masih menyukai Anna,' batinnya.Dae Song beranjak naik kelantai dua, dia menuju ke ruang kerjanya. Tak ada niat melakukan sesuatu hari ini, rasanya dia ingin memutar waktu untuk cepat berlalu agar dia bisa tahu jawaban dari ketakutannya.Di luar ada Minzi yang mengetuk pintu. Sekertarisnya itu datang karena ada yang harus di tanda tangani oleh Anna dan Dae Song."Hm, kamu masuk," izinya."Ini dari Yuna, katanya harus di tanda tangani, Pak."Setelah menandatangani, dia melirik ke Minzi. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, namun rasa malu begitu mendera secara bersamaan. 'Tidak, Minzi satu-satunya orang yang juga harus bertanggung jawab,' gumamnya."Siklus ketika perempuan masa subur itu di waktu kapan?" tanya Dae Song spontan. Memendam rasa malu sedalam mungkin agar bibirnya tidak kaku lagi menanyakan seputar kewanitaan pada sekertarisnya itu.Minzi mengerutkan alis, dia menebak dalam hati pertanyaan itu karena Anna yang mungkin saja akan hamil.
"Setelah 10 hari sesudah haid," jawab Minzi.
"Sampai kapan?" tanya Dae Song lagi."Sampai masa haid akan datang," sahut Minzi. Melantur itu cara yang bijak, karena dia pun juga kurang tahu tentang siklus demikian.Dae Song menghela nafas dengan kasar. Meja ia jadikan sasaran pukulan keras. Bila mengingat peristiwa di hotel itu, rasanya dia ingin mencabik wajah Minzi sampai hancur."Apa kau pernah telat datang bulan?" tanyanya.Meski agak malu, Minzi menjawab pelan."Sebelumnya tidak pernah, Pak. Aku selalu pengaman."Dae Song berdecik. " Ck, Murahan," sindirnya.Minzi menlipat bibir menahan amarah. Bos Korain yang satu itu memang seenak jidat. Sudah di bantu malah menghardik kembali. "Jika Anna sampai hamil, kau akan ku botak!" Dae Song memberi ultimatum.Minzi duduk tersungkur. Bekerja selama lima tahun dengan Dae Song, dia sangat tahu betul tabiat pria bermata sipit itu. Apa yang selalu di katakan sesuatu yang pastu ia lakukan. "Ku mohon, ini bukan salahku, itu kesalahan pelayan," kelik Minzi. Dia memaksa air matanya tumpah."Kau pikir aku tidak tahu? pelayan itu menelponku semalam, kau menjebakku, Minzi, Minzi, kau pikir aku punya nafsu sama kamu?" Minzi memilin ibu jarinya. Dae Song memang pandai mendeteksi semua rahasia orang terdekatnya. "Kau harus jadi saksi atas kejadian yang tidak sengaja ini, awas kalau kamu sampai lari, aku akan kejar kamu sampai ke ujung dunia!" Minzi mengangguk pelan. Dia tak mungkin bisa kabur dari Dae Song yang memiliki kekuasaan di Asia. Itu hanya akan menjadi konyol. 'Ya Tuhan, aku membuat kemalangan untuk diriku sendiri,' gerutunya dalam hati.Di luar dari balik pintu yang tak tertutup rapat, ada sepasang telinga mendengar itu. Dia Bu Nas yang membawa kopi untuk Dae Song. Langkahnya terhenti ketika kehamilan Anna di ucapkan oleh kakak Dae Jung itu.
Bu Nas mundur perlahan, dia tak ingin kerberadaannya di ketahui kedua orang di dalam sana. Anna mendapatinya dari belakang. Dia menepuk oundak Bu Nas yang menampakkan mimik wajah terkejut."Bu Nas, ada apa?" tanya Anna.
Bu Nas mengatur nafas. Dia gelagapan, orang yang di bicarakan ada di hadapannya."Ti-tidak ada Nona, sa-saya tidak ingin masuk ke ruangan Tuan Song, sepertinya dia sedang memarahi Minzi," ujar Bu Nas yang buntu mencari alasan.
"Ohw, kalau begitu biar saya saja yang mengantar kopinya, lagi pula aku juga di panggil Minzi," sergah Anna. Dia mengambil secangkir kopi itu dari tangan kepala pelayannya.Bu Nas pasrah saja. Ini sudah jalan Tuhan, dia tak ingin ikut campur dengan apa yang sudah terjadi di antara kakak, adik ipar itu.Anna masuk tanpa permisi. Dia ingin mengejutkan pria yang sedang marah itu. Selalu saja kakak iparnya menjadikan Minzi sasaran kemarahan meski hal kecil. Sangat arogan, pikirnya."Minzi, kenapa kamu duduk di lantai? ayo bangun," ujar Anna.Dae Song melirik tajam ke Minzi. Lirikan itu di tertangkap mata Anna."Kak, apa salah Minzi?" tanya Anna keberatan."Salah besar! Dia lancang padaku, tapi sudahlah, kau bangun," sindir Dae Song.Anna membangunkan Minzi. Dia mengusap pundak bawahannya itu. Dae Song tersenyum miring melihatnya. 'Jika kau tahu kelakuan Minzi, maka pundaknya pasti kau patahkan.'"Mana yang harus aku tanda tangani?" tanya Anna pada Minzi.Dae Song menyerahkan berkas itu. Saat Anna sudah di dekatnya, dia mencuri pandang. Wajah Anna makin teduh dan cantik. Naluri kelelakiannya mencuat lagi. Rasanya saat itu dia ingin memeluk Anna lalu mengatakan cinta lagi."Anna, kau makin cantik .." gumamnya tanpa sadar."Hem? Kak Dae Song bilang apa?" tanya Anna.Dae Song menepuk tangan. Dia mengelabui dengan tertawa. Kekonyolannya kumat lagi. Ah, Anna memang kelemahannya. Tidak pernah berubah, sikap arogannya selalu luluh lantah bila di hadapan sosok jelmaaan musim semi itu."Sudah, aku keluar dulu, Minzi kamu pulang juga," titah Anna berlalu keluar daru ruangan itu.Dae Song mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Anna buatnya selalu tersiksa. Minzi menyusul Anna ke bawah, keluar tapa pamit dari Dae Song."Nona, ada yang menunggu di teras, katanya ingin bertemu Nona," ucap Bu Nas. Di luar ada sesorang yang meminta untuk bertemu dengan Anna.Menurut menemui tamunya. Anna tersentak, perempuan beecadar di Mosque itu menyusulnya hingg ke rumah. Zura datang bersama ruh Dae Jung. Dengan petunjuk dari ruh tampan itu, dia bisa sampai di istana korain yang sangat megah."Assalamu alaikum, Nona," ucap Zura.Anna menjawab salam itu pelan. Dia persilahkan Zura untuk masuk, namun gadis berdarah Aceh itu menolak. "Nona, aku ingin lanjutkan perkataanku tadi, percayalah, di sampingku sekarang ada ruh suami Nona, Kim Dae Jung," ujar Zura meyakinkan.Anna tertegun. Dia melirik ke samping Zura yang tak menampakkan sosok apapun. Bukan tak percaya, dia masih menggunakan logika untuk jadi perbandingan. Sulit percaya, bukan berarti itu bohong. Ah, Anna berdecak. Bahkan bibirnhmya belum bisa mengucapkan kata senggahan.
"Nona, aku sejak kecil memiliki kemampuan khusus, aku bisa melihat ruh apapun itu, termasuk suami Nona, dia ada di sampingku sekarang, menatap Nona," papar Zura lagi.
Dae Jung memang sedang menatap istrinya itu. Tak membiarkan matanya berkedip melihat mimik kebingungan istrnya.
"Apa yang bisa membuktikan bahwa yang kamu katakan itu benar?"
Zura memalingkan wajah ke Dae Jung. Bisikan kalimat mustajab ia ajarkan pada Zura. Setelah menghapal kata demi kata, Zura bersiap mengemukakannya.
"Kata dia, 'Aku meraba nama di ruang hati kecilku, namun yang ku temukan hanya ada namamu disana, Anna .." ucap Zura.
Anna terkesiap. Kalimat itu pernah Dae Jung lontarkan padanya saat berdua sewaktu di kamar. Tak ada seorang pun tahu. Mustahil bila Zura dapat menjiplak begitu saja, sementara untaian kata indah itu tercipta dari Dae Jung seorang.
Anna tersentuh. Matanya berkaca-kaca. Menatap kosong ke samping Zura, berharap bayangan Dae Jung bisa terkasat oleh matanya meskipun itu sedetik.
Dae Jung perlahan melangkah ke Anna. Dengan tatapan meyendu, dia mengenyahkan butiran air mata itu dari pipi istrinya. Sama seperti dulu, tak rela bila harus melihat Anna bersedih, tak ingin kecantikan istrinya tertutupi oleh gelayut kesedihan."Katakan padanya, berhentilah menangis," pinta Dae Jung pada Zura."Kata suami Nona, berhentilah menangis," ucap Zura melanjutkan kalimat Dae Jung.Anna menutup wajag dengan kedua telapak tangannya. Zura baru ia kenal telah meliha kelemahannya sebagai seorang istri. Rasa lemah yang selama ini ia pendam bertahun-tahun. Tak menampakkan ke siapa pun, termasuk kepada kedua anaknya."Suamiku posisinya sekarang dimana?" tanya Anna."Di samping kanan, Nona, sedang mengusap air mata Nona," jawab Zura menunjuk ke arah kosong itu.Ponsel di saku Anna berdering, dia menyingkir sejenak. Sementara Dae Jung kembali ke Zura, "Terima kasih Zura, sudah membantuku,"
Suara Micha menyeru sembari mengetuk pintu. Anna mengerjap dengan panik, melirik ke jam dinding, waktu berlalu sudah tiga jam, saat itu Dae Jung masih tetap setia menjaga Anna ketika terlelap.Mata Anna memutar sana-sini, mencari udara hangat yang menandakan letak posisi suaminya."Apa kamu masih disini?" tanya Anna.Lagilagi Dae Jung menghembuskan nafas di leher Anna buat istrinya itu mengetahui keberadaannya."Micha memanggilku, ayo lihat anak kita," ujar Anna seraya turun dari ranjang.Pintu di buka Anna, mata Micha menyorot ruh ayahnya dari luar, dia terkesiap, mengira ruh itu adalah paman Dae Songnya."Oemma, tidur dengan samchon," lirih Micha dengan suara khasnya.Anna membungkam mulut anaknya. Dia terkejut putrinya bisa melihat sosok ruh Dae Jung. Tangan Micha ia tarik masuk ke kamar lalu mengunci pintu itu lagi."Micha bisa melihat ayah?" tanya Anna.Micha memandangi soso
Seminggu kemudian, Anna sudah bersiap-siap ke Kota Daegu. Di dampingi Jun Hyun, pemandu LPH (Lembaga Private High) sebagian telah berangkat terlebih dulu. Anna yang begitu antusias,l karena ia tahu ruh Dae Jung akan ikut bersamanya, pengulangan kenangan terulang, di Duryu Park tempat Dae Jung mengutarakan cinta dan janjinya.Dae Song dan Ji Yeong saat itu sedang di Singapura, mereka meninjau perusahaan Korain yang terancam pailit. Di rumah hanya akan ada Bu Nas dan pelayan lainnya menemani Haneul dan Micha di rumah, tentu menjaga raga Dae Jung yang masih berbaring lelap.Di bawah sudah ada Jun Hyun menunggu. Pria bermata sipit itu sangat tampan dengan jaket rajut, saat itu telah memasuki musim gugur."Apakah kau ingin mengikutiku?" tanya Anna pada ruh suaminya yang tak terlihat. Dae Jung menghembuskan udara hangat lagi di belakang telinga istrinya, menandakan keinginannya mengikuti setiap langkah Anna.
Anna di bawah ke klinik terdekat, Jun Hyun masih menunggu hasil pemeriksaan dokter, dia sudah menginformasikan itu pada Bu Nas. Pak Lee dan beberapa pengawal akan menjemputnya dengan menunggunakan jet pribadi. Dokter di klinik itu keluar dengan wajah senyum berbinar, dia membawa beberapa hasil catatan kesehatan Anna untuk di berikan pada Jun Hyun. " 그는 어때?""geuneun eottae?"("Bagaimana kondisinya?") "몸이 약하고 많이 쉬어야 하고, 임신 중이라 당연하다.""mom-i yaghago manh-i swieoya hago, imsin jung-ila dang-yeonhada"("Tubuhnya sangat melemah, dia harus banyak istirahat, itu wajar bila sedang hamil") "임신? 어떻게 그럴 수 있어? 불가능해, 확실히 틀렸어.""imsin? eotteohge geuleol su iss-eo? bulganeunghae, hwagsilhi teullyeoss-eo."("Hamil? bagaimana bisa? itu tidak mungkin") Jun Hyun terkejut, siapapun yang mengenal Anna akan bereaksi sama dengannya. Dae Jung menghampiri dokter itu juga. "그녀는 실제로 임신했습니다. 당신은 그녀의 남편이 아닌가요?""geu
Malam itu Anna terbangun dari pingsannya, saat itu juga Dae Jung tak ada kembali menyusup ke raganya untuk sementara, memulihkan tenaga sejenak.Dae Song yang tiba di rumah segera menemui Anna, di tangga dia berpapsan dengan Bu Nas."Bagaimana, Bu Nas?" tanya Dae Song berbisik."Nona Anna sudah sadar, dia ada di kamarnya," jawab Bu Nas."Apakah rahasia ini masih tersembunyi?" tanya Dae Song."Tuan, apakah anak yang di kandung Nona Anna itu anak--" kalimat Bu Nas di cegat oleh Dae Song."Iya, itu anakku, nanti aku jelaskan Bu Nas,"Dae Song berlari kecil menuju kamar Anna, Bu Nas terkesiap, mendengar jawaban Dae Song dia termangu, Bu Nas sudah kehilangan akal sehat memikirkan musibah baru korain. Ini sangat tidak masuk akal cinta segi tiga antara kedua anak Rifasya."Bagaimana bis aitu terjadi di antara mereka? oh Tuhan, Tuan Kim," gumam Bu Nas memikirkan nasib Dae
Bu Nas turun ke bawah, dia menuju ke dapur untuk membuatkan teh hangat buat Anna. Dari belakang ada Dae Song yang tak henti mengikuti setiap langkahnya. Dia berharap agar Bu Nas bisa memberikan pengertian pada Anna untuk menerima janin yang tak berdosa itu secara ikhlas. "Bu Nas, tolong.. bantu aku," pinta Dae Song memelas. Bu Nas yang masih terkejut dengan musibah ini belum bisa mengatakan apapun selain diam. Berkata juga sama dengan mengkhiantai Dae Jung yang saat ini terbaring lemah, Dae Jung dan Dae Song titipan amanah dari majikan sekaligus sahabatnya Rifasya Salim. Tak mungkin ia membeda-bedakan di antara anak kembar itu. "Bu Nas, aku sekarang butuh bantuan," keluh Dae Song dengan mimik tak berdaya. "Tuan Song, apa yang harus kita lakukan saat ini? ada? tidak ada, kita hanya bisa pasrah saja, menunggu anak itu lahir, menjadikan dia seperti Haneul dan Micha. Mereka sama-sama anak Anna juga cucu dari Korai
Pagi tiba, Anna terbangun karena matahari yang menyelinap dari kaca jendela mengusik tidurnya. Mengucek mata yang bengkak, sedikit perih, namun tak ada yang lebih perih dari hatinya yang begitu sakit dengan suratan takdir. Berdiri memandangi diri di depan cermin, menyorot perutnya yang masih rata. Kelak, perut itu akan semakin membesar, anak dari pria yang bukan suaminya akan tumbuh bersamanya. Sanggupkah dia mengikhlaskan ketetapan Tuhan, belum, tidak. Anna memukuli wajahnya sendiri, dia merasa imannya begitu lemah hingga dia tak bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang istri. "Aku benci dengan diriku sendiri!" Anna memukul wajahnya sendiri. Menghardik tiada henti. Tangis Anna pecah menggema di rumah Korain. Seluruh pelayan yang saat itu tengah membersihkan kebingungan dengan sikap Anna yang tiba-tiba aneh di pagi hari. Di luar ada Bu Nas panik mendengar suara Anna yang mulai meronta lagi. "No
Anna duduk di taman atas, tempat itu favoritnya bersama Dae Jung. Melihat langit biru yang baginya itu gelap. Pemandangan taman Korain, perkebunan milik Kakek Hang itu masih terawat dengan baik. Meskipun Presdir utama itu sudah tak sekuat dulu lagi mengurus semuanya. Keindahan pemandangan itu tak mampu menghibur hatinya. Ah, sulit, tapi harus di jalani."Jika ini sebagian jalan yang harus aku lalui, maka kuatkan aku Ya Allah, aku pasrah apa yang sudah menjadi takdirmu," lirihnya berkaca-kaca.Sungguh tak berperikemanusiaan bila dia harus menghardik janin yang tak berdosa itu. Kemarahannya pada Dae Song tak serta merta ia ingin lampiaskan ke bayi mungil di perutnya. Entahlah, tugasnya hanya satu, harus menerima lapang dada."Nona, Presdir Hang sudah tiba," suara Bu Nas menyeru dari belakang.Anna mengenyahkan lelehan air matanya. Dia mengendalikan diri agar tidak terlihat murung di hadapan kakek yang ingin me