Share

MY BAD BOSS
MY BAD BOSS
Author: Erl

Percakapan Terakhir

“Halo! Ayah!”

Hanasta berulang kali mengucapkan itu ketika sepertinya ayahnya yang berada jauh di negaranya itu seolah sedang tidak fokus bicara dengannya.

“Ayah! Apa sinyalnya nggak bagus?” Hanasta menekankan telepon genggamnya di telinga. “Ayah!”

Alih-alih mendengar jawaban ayahnya, gadis yang baru saja kuliah di luar negeri itu malah mendengar suara gemerisik nggak jelas.

“Ayah-”

“Ssst! Sebentar Hana!” Suara berbisik ayahnya membuat Hanasta khawatir.

“Ada apa, Ayah?” Hanasta ikut-ikutan melirihkan suara.

“Tunggu!” Suara ayahnya makin lirih.

Hanasta diam sejenak, berusaha sabar menunggu seperti permintaan ayahnya. Tapi-

“Brak!!”

“Ting!”

Hanasta terkejut ketika malah mendengar bunyi suara pintu dibuka paksa. Dan suara denting lonceng yang mengiringi gedubrak pintu itu membuat ia mengetahui bahwa saat itu ayahnya sedang berada di rumah mereka. “Ayah!!”

“Bawa dia!” Teriakan suara berat laki-laki yang sepertinya merangsek masuk ke rumah mereka.

“Tolong jangan-”

“Ini yang layak Kamu dapat!” Suara berat laki-laki itu memotong permohonan ayahnya. Dan-

“Buk! Buk!”

“Aaa.” Hana makin panik ketika mendengar teriakan ayahnya. Meskipun, nggak melihat secara langsung, gadis itu tahu bahwa ayahnya sedang dipukuli.

“Geledah rumah ini!” Suara berat laki-laki itu kembali terdengar. Sepertinya, ia sedang memberikan perintah pada beberapa orang karena detik itu juga, Hana mendengar beberapa langkah bergerak ke berbagai arah.

Dan di ujung gerak langkah-langkah itu terdengar bunyi gebubrak dari barang-barang yang dibanting.

Hanasta tercekat.

“A- yah!” Mulutnya mengucapkan kata itu, tapi nggak ada suara yang keluar dari sana. Tangannya mulai berkeringat saat jantungnya terasa berdegup nggak normal.

Dan selama gadis itu termangu kaku, selama itu pula teriakan-teriakan kesakitan ayahnya terdengar.

“Seret dia!” Suara berat laki-laki itu kembali terdengar saat ayahnya tak lagi berteriak.

“Tolong! Tunggu! Biarkan aku bicara dengan-”

“Hah! Jangan pedulikan dia!” Suara berat itu kembali memotong ucapan ayahnya.

“A- Ayah ...!” Akhirnya, gadis itu bisa berteriak.

“Hana! Apa pun yang terjadi, jangan pulang! Ingat!” Dan-

Tiba-tiba komunikasi via telepon itu terputus.

“Ayah! Ayah ...!!” Hana berteriak kencang tanpa tahu harus berbuat apa. Lalu, gadis itu menangis meraung-raung.

***

Empat tahun berlalu dengan cepat. Percakapan terakhir itu terus terngiang di telinga Hanasta begitu maskapai penerbangan yang membawanya pulang kembali ke negaranya.

“Kalau bukan karena janjiku pada ayah untuk pantang pulang sebelum lulus, saat itu juga aku pasti terbang pulang meninggalkan kuliah yang baru saja berjalan,” sesal Hana dalam hati.

Gadis itu menyeret travel bag yang berisi barang-barangnya yang nggak begitu banyak begitu keluar dari tempat pengambilan barang di bandara itu. Lalu, ia mengambil telepon genggam yang bersarang di tas punggungnya.

“Ayolah, Ayah!” serunya lirih ketika berulangkali menekan nomor ayahnya yang selama empat tahun nggak bisa lagi dihubungi. Di titik terendah keputusasaannya, ia masih berharap saat ini, ayahnya mengangkat panggilannya.

“Puh ...,” desah Hana lelah. Gadis itu menghentikan langkah, lalu merobohkan punggungnya di kursi besi yang berada di sebelah luar terminal kedatangan.

Lalu, ia mencoba menghubungi nomor lain yang sekiranya dapat memberitahukan keberadaan ayahnya, tapi beberapa nomor itu pun membuat harapannya kian pudar.

“Harusnya, ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk aku dan ayah. Hari ini aku berhasil lulus dengan nilai terbaik. Ayah pasti merasa perjuangannya nggak sia-sia. Tapi ....” Sudut-sudut mata Hana mulai menghangat, matanya mulai berkaca-kaca.

“Ayolah, Ayah! Aku sudah menahan geram, takut, sedih, khawatir dan semua emosi negatif selama empat tahun untuk nggak pulang apa pun yang terjadi. Sekarang aku sudah berada di negara ini, setidaknya, Ayah-”

“Apa saja yang kalian kerjakan?!” Mendadak suara laki-laki yang terdengar marah mengalihkan apa yang sedang ada dalam pikiran gadis itu.

Hana menoleh. Ia melihat seorang laki-laki tampan mengenakan stelan jas warna hitam dengan dasi dalam warna senada. laki-laki itu berdiri di samping kursi besi yang ia duduki.

“Kalian menyuruhku menunggu? Ha?!” Laki-laki yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggam itu terlihat kesal.

Hana mengamati laki-laki itu dari atas ke bawah, “Dari semua yang menempel di badannya, sepertinya ia bukan orang sembarangan. Sayang sekali, ia melampiaskan kemarahannya di sembarang tempat.”

“Lima menit lagi! Lewat dari itu, kalian semua dipecat!” tegas laki-laki itu kencang.

Hana tak melepaskan pandangan matanya mendengar kemarangan angkuh itu. Dalam hatinya, gadis itu terus menggerutu karena nggak bisa menyuarakan ketidaksetujuannya.

“Eh?!” seru Hana tertahan ketika mendadak laki-laki tampan itu menoleh ke arahnya.

“Butuh bantuan?!” Laki-laki itu menatap tajam.

“Ha?! Aku?” Hana menunjuk hidungnya.

Alih-alih langsung menjawab, laki-laki berambut hitam dengan netra mata hitam itu mendekat dan duduk di samping Hana, “Ya, wajahnya seperti orang yang butuh bantuan.”

Hana menghela napas begitu mendengar penghakiman dingin itu. “Aku hanya sedang menunggu keluarga.” Ia terlihat enggan bicara dengan laki-laki itu.

“Hm, bagus. Jadi, aku nggak harus menelepon polisi atau ambulan untukmu. Dan ... setidaknya, gadis lucu sepertimu bisa mengalihkan kekesalanku,” ucap laki-laki itu enteng seraya mengedikan bahu.

“Lucu?” Hana terlihat kesal.

Laki-laki itu mengangguk, “Rambut lurus coklat, mata hidung dan bibirmu seperti ditempel dengan sempurna. Itu lucu.”

“Itu bukan lucu-”

“Ciit!”

Decit roda ban depan mobil hitam mewah mengurungkan jawaban Hana. Dan saat gadis itu menoleh mobil itu berhenti tepat di depannya.

Seorang laki-laki berotot turun dari kursi di samping kemudi. Ia buru-buru menghampiri laki-laki tampan yang duduk di samping Hana.

“Maaf, Bos.” Laki-laki berotot yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam itu membungkuk hormat.

“Eit, tunggu!” seru Hana dalam hati. Ia terkejut saat mengetahui suara dari laki-laki berotot itu terdengar tidak asing. Hana memelototi laki-laki itu seraya mencoba mengingat-ingat.

“Maaf terlambat, Bos. Kami nggak bisa mensterilkan jalanan.” Laki-laki berotot itu masih membungkuk.

“Aku yakin pernah mendengar suara itu, tapi di mana?” Pertanyaan yang melintas dalam benak itu muncul ketika laki-laki berotot itu mengucapkan lebih banyak kata.

Sementara itu, laki-laki tampan yang duduk di samping Hana menghela napas dalam. Ia menurunkan kakinya yang bersilang. “Jaga sikap! Ini bandara umum. Lihat! Kamu menakuti gadis lucu ini.”

“Siap, Bos!” Laki-laki berotot itu menegakan punggung. Lalu, bergeser memberikan ruang.

Sedangkan, bos tampan itu beranjak berdiri, menatap sekilas ke arah Hana, lalu berjalan menuju mobilnya.

Laki-laki berotot bergerak dengan cepat untuk membukakan pintu mobil di bagian jok penumpang.

Dan tanpa sadar, Hana bergerak mengikuti laki-laki berotot itu. “Suara berat ....”

Gadis itu mencoba mencari suara yang sama yang terekam dalam ingatannya. Tapi, laki-laki berotot itu bergerak dengan cepat, kembali ke jok di samping kemudi, menutup pintu dan-

“Seret dia!” Suara berat yang sama dalam ingatan Hana cocok dengan suara laki-laki berotot itu.

“Itu suara orang yang-”

Tapi, mobil hitam mewah itu melaju dengan kencang.

“Hei! Tunggu!!” Hana berteriak sambil berlari mengejar mobil itu. Sedangkan, suara percakapan terakhir dengan ayahnya kembali terngiang di telinga.

"Berhenti!!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status