Baju yang dikenakan Dimas cukup banyak terkena curahan hujan saat ia tiba di dalam kabin kendaraan. Ini akibat payung yang ia pakai tergolong kecil sehingga tidak cukup lebar melindungi tubuhnya dari hujan yang turun begitu deras.
Dimas baru saja akan menghidupkan mesin kendaraan ketika handphone-nya berbunyi. Perangkat komunikasi berkategori low-end itu menunjukkan sebuah nama di layar tampilannya. Nama Niken. Dalam rangka memonitor keberadaan Niken, kendati ia masih duduk di bangku kelas I, sudah satu-dua minggu ini Dimas membekalinya dengan sebuah handphone. Dimas bersyukur karena Niken ternyata tergolong cerdas sehingga hanya butuh waktu tidak lama sebelum puterinya benar-benar menguasai alat komunikasi tersebut.
“Halo sayang,“ Dimas langsung menyapa dengan mesra.
“Aduh tuaaaaaan, ini mbak Sarniiii!“
Dimas terkaget. „O maaf...“
Dirinya memang keterlaluan, pikirnya. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan kesalahan yang sama dalam satu minggu? Ia sudah bersikap dan memanggil mesra bukan kepada puteri tunggalnya, tapi malah kepada mbak Sarni!
“Ada apa mbak?“ tanya Dimas saat ia mulai dapat mengendalikan diri.
“Nggak ada apa-apa, tuan. Niken hanya mau ngomong-ngomong.“
Tanpa berbicara apa-apa lagi, mbak Sarni lantas menyerahkan handset kepada Niken.
“Halo ayah,“ terdengar suara Niken di ujung telpon.
“Halo juga sayang.“
“Ayah lagi dimana?“
“Di penerbit.“
“Penerbit yang mana?“
“Yang deket sekolahnya Niken. Dan tahu nggak, ayah dapat duit lho.“
Suara Niken terdengar ceria. “Betul, ayah?“
“Betul,“ jawab Dimas sembari mulai mengeluarkan kendaraannya dari areal parkir.
“Asiiik.“
“Niken mau ayah kasih apa?“
Bukannya menjawab, Niken malah terkikik. Kalau sudah begini, Dimas sudah tahu bahwa pasti mbak Sarni secara usil telah membisiki Niken agar mengatakan sesuatu pada Dimas.
“Mau ayah kasih apa?“ Dimas mengulang. „Hayooo jawab.“
Masih dalam keadaan terkikik, Niken lantas menyampaikan apa yang ia mau. Jawabannya hanya sepatah kata. Namun derum sebuah kendaraan pickup dan beberapa motor membuat ia tidak bisa langsung mendengar.
„Nggak jelas nih. Bisa tolong diulangi lagi.“
Sebuah jawaban pengulangan disampaikan Niken. Namun jawaban tadi dengan cepat merubah raut Dimas menjadi kemerahan.
“Apa?“ Dimas mengernyitkan kening. “Niken mau ibunda baru?“
„I-iya, Ayah.“
Mulut Dimas terkunci. Lidahnya kelu. Ini bukan kali pertama Niken berucap begitu namun tiap kali terulang tetap saja ia tidak pernah siap dengan sebuah jawaban yang berarti. Puterinya masih berucap sesuatu. Namun Dimas tidak mendengar lagi apa yang diucapkan puterinya karena Niken sudah buru-buru menutup pembicaraan telponnya.
Dimas menggeleng-geleng kepala. Ia lalu melajukan kendaraannya lagi di tengah deru hujan yang masih deras tercurah. Kendaraan Dimas beringsut di antara deretan kendaraan yang antri keluar kompleks perkantoran sampai kemudian ia tiba di jalan raya yang terbuka lebar di depannya. Namun, baru saja ia menekan pedal gas, sebuah kendaraan van berwarna hitam metalik melintas cepat sekali di depannya. Dimas spontan menekan pedal rem.
Gemas jengkel. Terlebih melihat dua orang pria di dalam kendaraan tersebut sama sekali tidak bereaksi seolah-olah tidak terjadi apapun. Dimas menekan tombol klakson dalam-dalam.
Akibatnya salah seorang dari orang orang tadi menoleh. Dimas membalas tatapan tajam orang tersebut. Orang itu nampak mengucapkan sesuatu. Dimas tidak dapat mendengar apa yang ia katakan. Namun Dimas yakin, dari raut muka dan gerak tangan mengepalnya, orang itu pasti mengumpat Dimas.
Bagi Dimas ini sikap yang menjengkelkan. Orang itu yang berulah sehingga hampir menyenggol mobilnya, kenapa jadi mengumpat ketika ia ditegur?
*
Urusan belanja baru saja Maia selesaikan. Dari depan pintu keluar, Maia mengawasi mobil-mobil yang berlalu-lalang di depannya. Jam menunjukkan pukul satu siang. Sebuah taksi yang Maia perkirakan buatan sepuluh tahun lalu mendekat. Bemper depannya nampak berkarat dengan cat dan plang taksi yang makin buram termakan usia, hujan dan sinar matahari. Sopir didalamnya memberi isyarat pada Maia untuk mau menggunakan jasanya. Produk sisa awal 2000-an yang segera lenyap tergerus zaman akibat bermunculannya taksi online itu, meluncur pelan. Merendengi langkah kakinya.Maia mengebas tangan. Sebuah isyarat penolakan.Maia berharap bisa mendapatkan satu buah taksi yang bersih dengan pendingin udara yang nyaman untuk mengantarnya pulang. Namun
Maia diam. Otaknya berputar keras mencari cara bagaimana untuk mengatasi keadaan tak terduga.“Mana dompetnya, hah?!“ sopir yang nampaknya menjadi otak kejahatan, kembali membentak. “Ada.“ “Jangan sok tenang lu! Mana dompetnya?!“Mengabaikan bentakan tadi, Maia seolah menantang ketika ia memberi tahu si sopir. “Stop pinggir! Aku berhenti disini. Aku mulai tidak suka dengan kalian semua!“ Orang di samping kiri dan kanan Maia spontan tergelak. “Aku serius,“ cetus Maia. “Jika tidak mau berhenti, maaf, kalian terpaksa harus siap dengan resikonya.“ 
Cuaca mendung yang seharian melingkup langit Jakarta sedikit terkuak. Penetrasi sinar matahari mulai menyentuh jalan dan deretan mobil yang siang itu memadatinya. Berada di deretan terakhir, pengemudi mobil van berwarna hitam merutuk atas kemacetan yang terjadi.Rekannya, orang kedua yang berbadan lebih gempal dengan jaket coklat dan gambar tato menyembul di tangan kirinya, tidak menanggapi kekesalan rekannya. Pria yang mengemudi kemudian menghembus asap rokok melalui kaca yang sedikit dibiarkan terbuka. Udara diluar sana dengan cepat menarik asap tipis yang ditimbulkannya.Ketika barisan kendaraan di depan mulai beringsut, mobil yang mereka kendarai bergerak satu meter.“Ada apa?“ tanya pria gempal bertato kepada seorang pedagang buah yang kebetulan datang dari arah depan.“Kecelakaan, oom. Ada mobil taksi melayang sehabis nabrak trotoar.““Dahsyat sekali?“
“Memang belum ada,“ akunya jujur.Dimas mengumbar senyum.“Aku punya yodium, alkohol 70 persen, perban. Pokoknya, cukup untuk mengobati lukamu.“Langkah kaki mereka terhenti ketika tiba di lantai teratas rumah susun.“Selain itu, aku juga pernah menjadi anggota palang merah saat aktif di sekolah dan kampus.“Gantian, kini Maia yang tersenyum. “Selain kelengkapan obat dan pengalaman bidang medis, apalagi yang kau mau tawarkan padaku?“Dimas berpikir keras.“Pengobatan gratis,“ ujarnya hati-hati, “berikut makan malam bersama Niken. Dan aku.“*Seorang petugas di ruang Unit Gawat Darurat menerima seorang tamu pada sore menjelang malam hari itu. Kalau boleh sebetulnya ia lebih suka agar tamu itu datang satu atau dua jam lagi. Apalagi setelah tahu bahwa orang tersebut ternyata bukan kel
Dimas menarik nafas dalam. Sedikit kehilangan akal bagaimana caranya agar Niken puterinya mau sekolah.Dimas melirik jam tangannya. Pukul 6.20 pagi. Aduh, beberapa menit lagi mobil pak Agus datang dan Niken harus ada di pintu gedung rumah susun kalau tidak mau ketinggalan naik mobil jemputan ke sekolahnya.Gara-gara terlambat bangun, Dimas jadi terlambat pula membangunkan Niken agar siap-siap berangkat sekolah. Semenjak kepergian isterinya, Dimas yang hanya tinggal berdua dengan Niken di rumah susun memang harus melakukan segala sesuatu sendiri. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, memandikan Niken, mendandaninya, semuanya. Ia sudah biasa melakukan hal tersebut. Mbak Sarni memang membantunya secara paruh waktu.Tapi pagi hari ini wanita itu memang berhalangan datang.Kesibukan sebagai jurnalis dan penulis lepas, dalam beberapa kesempatan, membuat dirinya mau tidak mau harus bekerja hingga larut malam. Dan kemarin malam k
Dalam beberapa menit berikut, mereka bertiga telah turun ke bawah dimana sudah ada pak Agus yang untungnya masih berada disana. Pria tua itu ikut membantu mengantar Niken masuk ke dalam kabin mobil sebelum kemudian mengantar Niken, dan anak-anak lain yang sudah lebih dulu ada, berangkat sekolah.“Daaah tante!” Niken melambai dari kendaraan yang membawanya. “Nanti main ke rumah Niken ya?”Mobil kemudian menghilang dibalik tikungan. Meninggalkan Dimas yang kini berdua dengan Maia.“Terima kasih,” cetus Dimas.Maia tidak langsung menjawab. “Menurutmu tindakanmu bagus?”Maia masih tetap memandang arah dimana mobil tadi menghilang.“Tindakan apa?”Maia meradang. Kini ia menatap tajam-tajam mata Dimas. Tidak mau kalah, Dimas balik menatap. Ini kesempatan langka baginya untuk menatap keindahan mata wanita di depannya!“Aku
Maia tetap dengan diamnya. Suara ketukan sepatu Dimas terdengar sedikit bergaung dalam koridor rumah susun yang mulai sepi. Mereka terus berjalan sampai akhirnya keduanya tiba di depan pintu masuk unit tempat tinggal Maia. “Dan kau tahu, Maia?“ Maia menoleh sehingga keduanya kini saling bertatapmuka. “Kau begitu misterius,” Dimas menyambung. Tatapannya tajam menusuk. Kali ini bukan sebuah tatapan nakal. “Benar-benar misterius.“ “Misterius?“ Dimas mengangguk. “Selama sekian bulan mengenalimu, nampak jelas bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang aku tidak tahu apa. Bukan hanya aku. Keluarga pak Casdi pun tidak tahu apa-apa mengenai dirmu. Kami tidak tahu dari mana kau datang, pekerjaanmu, keluargamu. Pintu rumahmu lebih sering tertutup rapat sepanjang hari dan nyaris sepanjang minggu. Pernah seharian kau disana dan itu sempat membuat kami berpikir untuk mendobrak pintu rumah. Kau mengerti kenapa
Di tengah keramaian lalu lintas, kendaraan van hitam berjalan melambat. Pria berbadan gempal nampak mencari-cari sesuatu di antara kerumunan orang. Jarum penunjuk kecepatan di speedometer yang terpampang didepannya menurun hingga berhenti di titik terendah.Terdengar suara klakson dari sebuah mobil sedan tepat di belakangnya. Kendati demikian, pengemudi van sama sekali tidak menggubris. Kendaraan yang dikemudikannya tetap diam di tengah keramaian lalu lintas. Sedan di belakang van kemudian menyalip hingga kini merendengi van yang tadi menutup jalan. Serapah keluar dari mulut pengemudi sedan yang merasa perjalanannya terganggu karena ulah pengemudi van yang tidak disiplin. Tapi hanya sesaat saja ia menyerapah. Kaget bercampur ngeri menyelimuti pengemudi sedan ketika pengemudi van tiba-tiba mengacungkan sebuah senjata revolver ke arahnya. Tidak lama kemudian ia melaju kendaraannya menembus keramaian. Kabur ketakutan.Sesosok pria lain mu