Supermarket yang Maia masuki cukup banyak dikunjungi orang dengan counter buah-buahan dan makanan ringan paling banyak diminati. Itu tidak mengherankan karena pihak supermarket menyediakan obral besar saat itu. Kendati demikian, Maia tidak berminat bergabung dengan sekumpulan orang-orang tadi. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk memilih barang-barang lain.
Maia bukan tipe shopaholic. Itu sebabnya kendati di lantai yang sama tersedia berbagai butik dan pernak-pernik kebutuhan wanita, Maia tidak banyak menghabiskan waktu disana. Hanya lima menit ia gunakan untuk membeli beberapa perlengkapan wanita sedangkan setengah jam berikut ia pakai untuk memilih keperluan-keperluan lainnya.
Saat berada di depan kasir, Maia beruntung. Ia dilayani bukan kasir baru melainkan kasir yang dengan terampil memilah, menghitung untuk kemudian membungkus barang belanjaannya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga menit urusannya selesai.
Namun, saat melihat di layar mesin hitung berapa yang harus ia bayar, Maia segera menyadari sesuatu. Ia mengetahui bahwa urusannya dengan kasir di depannya ternyata tidak akan secepat itu.
“Tidak mungkin,“ cetus Maia.
Si kasir, gadis yang usianya sekitar sepuluh tahun dibawahnya, nampak bingung dengan ucapan Maia.
“Tidak mungkin? Tidak mungkin apa?“
“Tidak mungkin angkanya sebesar itu.“
“Maksud mbak?“
“Seharusnya aku membayar lebih dari angka ini,“ kata Maia sambil tangannya menunjuk layar mesin hitung.
Si kasir nampak makin bingung. “Yakin?“
“Yakin,“ jawab Maia tandas.
“Tidak mungkin,“ sekarang si kasir yang berkata seperti itu.
“Terserah. Tapi, apakah mbak mau kerugian empat puluh ribu rupiah ditanggungkan ke gajinya?“
“Jelas tidak,“ katanya sedikit tergagap. “Tapi, mbak tahu darimana?“
Maia mencoba menjelaskan kembali.
“Aku membeli dua puluh satu item. Pasta gigi, minyak sayur, shampoo dan conditioner dua buah dan masing-masing ada potongan harga antara lima sampai sepuluh persen. Satu item yaitu, sabun cuci, aku beli tiga buah yang ukurannya satu kilogram. Tidak ada diskon. Tapi, sebagai member supermarket ini, aku berhak atas diskon tambahan sebanyak tiga persen atas seluruh belanjaan. Total keseluruhan masih harus ditambahkan PPN sepuluh persen. Dengan demikian, aku seharusnya membayar tiga ratus ribu rupiah lebih. Tepatnya lebih empat ratus tiga puluh rupiah.“
Si kasir nampak sedikit mencibir. “Canggih sekali. Mbak kalo belanja selalu begini?“
“Begini bagaimana maksudnya?“
“Membawa kalkulator untuk menghitung semua barang lengkap dengan diskon dan PPN?“
“Tidak.“
“Lantas, bagaimana mbak bisa tahu?“
Maia mengangkat bahu. “Yang penting aku tahu.“
“Terima kasih atas informasinya. Tapi mesin ini baru saja di-update pagi ini.“
Maia tersenyum kecil. “Jadi, mbak berani menanggung resiko menanggung empat puluh ribu rupiah?“
Pertanyaan Maia nampak memojokkan gadis itu. Untuk sesaat ia terdiam.
Ya, untuk seorang pegawai kecil seperti dirinya, uang empat puluh ribu rupiah bukanlah nilai yang kecil. Tapi, pikirnya, apakah benar perhitungan yang dilakukan nyonya Einstein ini?
Melihat antrian orang yang semakin memanjang, si kasir tahu bahwa ia perlu mengambil keputusan cepat. Ia lantas menekan beberapa tombol pada mesin hitung. Barang-barang yang tadi sudah dibungkus, kembali ia buka.
Maia lalu ikut mengeluarkan barang-barang belanjaannya dan menata kembali di atas meja.
“Coba lagi hitung hati-hati,“ ujar Maia. “Aku bermaksud menolong. Kalau update-nya salah, kan aku juga sudah menolong usaha ini.“
Gadis itu tidak bereaksi sampai ia kemudian mulai menghitung lagi barang-barang belanjaan Maia.
Mesin pembaca barcode kembali berbunyi atas tiap barang yang Maia beli.
“Berapa tadi menurut perhitungan mbak?“ tukas gadis itu disela kesibukannya menghitung. “Tiga ratus ribu lebih empat ratus tiga puluh rupiah?“
“Ingatan mbak bagus,“ Maia memuji.
Gadis itu tak bereaksi. Ia meneruskan perhitungannya sampai perhitungan selesai. Ketika hal itu selesai dikerjakan, ia terpana. Nyaris tidak percaya. Di layar mesin hitungnya terpampang angka yang tadi di-klaim Maia.
Tidak lebih dan tidak kurang serupiah pun.
Untuk pertamakali dalam hidupnya ia melayani pembeli yang tak ubahnya kalkulator berjalan.
*
Baju yang dikenakan Dimas cukup banyak terkena curahan hujan saat ia tiba di dalam kabin kendaraan. Ini akibat payung yang ia pakai tergolong kecil sehingga tidak cukup lebar melindungi tubuhnya dari hujan yang turun begitu deras. Dimas baru saja akan menghidupkan mesin kendaraan ketika handphone-nya berbunyi. Perangkat komunikasi berkategori low-end itu menunjukkan sebuah nama di layar tampilannya. Nama Niken. Dalam rangka memonitor keberadaan Niken, kendati ia masih duduk di bangku kelas I, sudah satu-dua minggu ini Dimas membekalinya dengan sebuah handphone. Dimas bersyukur karena Niken ternyata tergolong cerdas sehingga hanya butuh waktu tidak lama sebelum puterinya benar-benar menguasai alat komunikasi tersebut.“Halo sayang,“ Dimas langsung menyapa dengan mesra.&nb
Urusan belanja baru saja Maia selesaikan. Dari depan pintu keluar, Maia mengawasi mobil-mobil yang berlalu-lalang di depannya. Jam menunjukkan pukul satu siang. Sebuah taksi yang Maia perkirakan buatan sepuluh tahun lalu mendekat. Bemper depannya nampak berkarat dengan cat dan plang taksi yang makin buram termakan usia, hujan dan sinar matahari. Sopir didalamnya memberi isyarat pada Maia untuk mau menggunakan jasanya. Produk sisa awal 2000-an yang segera lenyap tergerus zaman akibat bermunculannya taksi online itu, meluncur pelan. Merendengi langkah kakinya.Maia mengebas tangan. Sebuah isyarat penolakan.Maia berharap bisa mendapatkan satu buah taksi yang bersih dengan pendingin udara yang nyaman untuk mengantarnya pulang. Namun
Maia diam. Otaknya berputar keras mencari cara bagaimana untuk mengatasi keadaan tak terduga.“Mana dompetnya, hah?!“ sopir yang nampaknya menjadi otak kejahatan, kembali membentak. “Ada.“ “Jangan sok tenang lu! Mana dompetnya?!“Mengabaikan bentakan tadi, Maia seolah menantang ketika ia memberi tahu si sopir. “Stop pinggir! Aku berhenti disini. Aku mulai tidak suka dengan kalian semua!“ Orang di samping kiri dan kanan Maia spontan tergelak. “Aku serius,“ cetus Maia. “Jika tidak mau berhenti, maaf, kalian terpaksa harus siap dengan resikonya.“ 
Cuaca mendung yang seharian melingkup langit Jakarta sedikit terkuak. Penetrasi sinar matahari mulai menyentuh jalan dan deretan mobil yang siang itu memadatinya. Berada di deretan terakhir, pengemudi mobil van berwarna hitam merutuk atas kemacetan yang terjadi.Rekannya, orang kedua yang berbadan lebih gempal dengan jaket coklat dan gambar tato menyembul di tangan kirinya, tidak menanggapi kekesalan rekannya. Pria yang mengemudi kemudian menghembus asap rokok melalui kaca yang sedikit dibiarkan terbuka. Udara diluar sana dengan cepat menarik asap tipis yang ditimbulkannya.Ketika barisan kendaraan di depan mulai beringsut, mobil yang mereka kendarai bergerak satu meter.“Ada apa?“ tanya pria gempal bertato kepada seorang pedagang buah yang kebetulan datang dari arah depan.“Kecelakaan, oom. Ada mobil taksi melayang sehabis nabrak trotoar.““Dahsyat sekali?“
“Memang belum ada,“ akunya jujur.Dimas mengumbar senyum.“Aku punya yodium, alkohol 70 persen, perban. Pokoknya, cukup untuk mengobati lukamu.“Langkah kaki mereka terhenti ketika tiba di lantai teratas rumah susun.“Selain itu, aku juga pernah menjadi anggota palang merah saat aktif di sekolah dan kampus.“Gantian, kini Maia yang tersenyum. “Selain kelengkapan obat dan pengalaman bidang medis, apalagi yang kau mau tawarkan padaku?“Dimas berpikir keras.“Pengobatan gratis,“ ujarnya hati-hati, “berikut makan malam bersama Niken. Dan aku.“*Seorang petugas di ruang Unit Gawat Darurat menerima seorang tamu pada sore menjelang malam hari itu. Kalau boleh sebetulnya ia lebih suka agar tamu itu datang satu atau dua jam lagi. Apalagi setelah tahu bahwa orang tersebut ternyata bukan kel
Dimas menarik nafas dalam. Sedikit kehilangan akal bagaimana caranya agar Niken puterinya mau sekolah.Dimas melirik jam tangannya. Pukul 6.20 pagi. Aduh, beberapa menit lagi mobil pak Agus datang dan Niken harus ada di pintu gedung rumah susun kalau tidak mau ketinggalan naik mobil jemputan ke sekolahnya.Gara-gara terlambat bangun, Dimas jadi terlambat pula membangunkan Niken agar siap-siap berangkat sekolah. Semenjak kepergian isterinya, Dimas yang hanya tinggal berdua dengan Niken di rumah susun memang harus melakukan segala sesuatu sendiri. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, memandikan Niken, mendandaninya, semuanya. Ia sudah biasa melakukan hal tersebut. Mbak Sarni memang membantunya secara paruh waktu.Tapi pagi hari ini wanita itu memang berhalangan datang.Kesibukan sebagai jurnalis dan penulis lepas, dalam beberapa kesempatan, membuat dirinya mau tidak mau harus bekerja hingga larut malam. Dan kemarin malam k
Dalam beberapa menit berikut, mereka bertiga telah turun ke bawah dimana sudah ada pak Agus yang untungnya masih berada disana. Pria tua itu ikut membantu mengantar Niken masuk ke dalam kabin mobil sebelum kemudian mengantar Niken, dan anak-anak lain yang sudah lebih dulu ada, berangkat sekolah.“Daaah tante!” Niken melambai dari kendaraan yang membawanya. “Nanti main ke rumah Niken ya?”Mobil kemudian menghilang dibalik tikungan. Meninggalkan Dimas yang kini berdua dengan Maia.“Terima kasih,” cetus Dimas.Maia tidak langsung menjawab. “Menurutmu tindakanmu bagus?”Maia masih tetap memandang arah dimana mobil tadi menghilang.“Tindakan apa?”Maia meradang. Kini ia menatap tajam-tajam mata Dimas. Tidak mau kalah, Dimas balik menatap. Ini kesempatan langka baginya untuk menatap keindahan mata wanita di depannya!“Aku
Maia tetap dengan diamnya. Suara ketukan sepatu Dimas terdengar sedikit bergaung dalam koridor rumah susun yang mulai sepi. Mereka terus berjalan sampai akhirnya keduanya tiba di depan pintu masuk unit tempat tinggal Maia. “Dan kau tahu, Maia?“ Maia menoleh sehingga keduanya kini saling bertatapmuka. “Kau begitu misterius,” Dimas menyambung. Tatapannya tajam menusuk. Kali ini bukan sebuah tatapan nakal. “Benar-benar misterius.“ “Misterius?“ Dimas mengangguk. “Selama sekian bulan mengenalimu, nampak jelas bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang aku tidak tahu apa. Bukan hanya aku. Keluarga pak Casdi pun tidak tahu apa-apa mengenai dirmu. Kami tidak tahu dari mana kau datang, pekerjaanmu, keluargamu. Pintu rumahmu lebih sering tertutup rapat sepanjang hari dan nyaris sepanjang minggu. Pernah seharian kau disana dan itu sempat membuat kami berpikir untuk mendobrak pintu rumah. Kau mengerti kenapa