Share

ENAM

“Jika ini mimpi, kumohon, jangan bangunkan aku. Aku ingin merasakan

kebahagiaan ini lebih lama lagi walau hanya sekadar mimpi.”

Ara melangkah terburu untuk mengantarkan pesanan pada

pelanggan. Hari yang cukup sibuk di tempat kerja karena sedang ramairamainya didatangi pelanggan. Ia sampai di depan sebuah meja ditempati

satu orang laki-laki yang tampak terlihat sibuk sekali dengan laptop.

“Permisi,” ucap Ara sopan, kemudian diangsurkannya gelas

dari nampan. Entah karena tangannya terlalu licin atau kurang kuat

menggenggam gelas, minuman tersebut seketika tumpah mengenai

laptop.

Sontak laki-laki itu langsung terkejut. Murkanya memuncak karena

segala hal yang sedang dikerjakan musnah. “Lo buta, hah?! Nggak bisa

hati-hati?! Nganterin minum doang nggak becus!”

“Maaf ... Kak. Saya nggak sengaja,” ujar Ara dengan bibir bergetar. Ia

menunduk ketakutan.

“Dengan kata maaf apa laptop gue bisa idup lagi?! Sekarang gue mau

lo tanggung jawab! Ganti laptop gue!”

Menggeleng takut, gadis itu semakin menunduk. Kedua jemarinya saling

meremas. Ia tidak mungkin bisa mengganti laptop tersebut.

“Kalo gitu, panggil manajer lo! Mana manajer lo itu?!”

“Ada apa?” tanya seorang yang merupakan manajer dari kafe tersebut.

Ia keluar memeriksa karena mendengar keributan.

“Gue mau minta ganti rugi laptop yang udah dirusakin sama karyawan

lo itu! 

Manejer tersebut langsung melihat ke arah tumpahan gelas. “Maaf,

Pak, maafkan karyawan saya.”

“Saya mau dia ganti rugi dan dipecat!” Laki-laki itu menuding ke

arah Ara. “Kalau nggak, gue bakal—”

“Iya, saya yang akan ganti rugi.” Ara maju selangkah, membungkuk

ke arah sang manajer. “Saya juga mau mengundurkan diri dari sini, Pak.

Terima kasih karena Bapak sudah memberi saya kesempatan untuk

bekerja di sini.”

Laki-laki yang marah tersebut meninggalkan kafe beserta kartu

pengenal, sedangkan Ara kembali ke belakang untuk berkemas pulang.

Dalam hati, Ara berpikir keras bagaimana cara mengganti laptop yang

harganya bahkan menyentuh puluhan juta tersebut. Tabungannya tentu

tidak akan pernah cukup.

Napas panjang diembus perlahan seraya menatap langit jingga Jakarta.

“Tuhan, bagaimana ini?”

***

Sepasang suami istri berdiri di depan pintu panti asuhan bersama

dua orang laki-laki berusia remaja. Wajah mereka tampak begitu serius.

Sang ayah mengetuk pintu. Perlu menunggu beberapa saat hingga Bu Nia

keluar menyambut dengan senyum ramah.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Ada yang ingin saya bicarakan, Bu. Apa bisa?” tanya pria tersebut.

Setelah mempersilakan keempat tamu itu masuk, kini mereka berada di

ruang tamu.

Tanpa berbasa-basi lagi, sang ayah pun segera mengutarakan

maksudnya mendatangi panti ini. “Begini, Bu, kedatangan saya kemari

ingin menanyakan perihal anak panti di sini. Apa di sini ada anak gadis

yang seumuran remaja SMA?”

“Iya, ada. Namanya Ara. Ada hubungan apa, ya?”

“Boleh dijelaskan, Bu, seluk beluk gadis itu?” tanya sang istri

penasaran.

Bu Nia langsung menjelaskan secara rinci dan detail awal mula

bertemu gadis bernama Ara. Mereka semua mendengarkan dengan baik

agar tidak terlewat satu kata pun. Setelah selesai diceritakan, mereka

sangat terharu dan bersyukur karena anak mereka masih hidup selama ini. Meski Nia awalnya kurang percaya, tetapi ketika keluarga tersebut

menunjukkan banyak bukti bahwa Ara adalah bagian dari mereka, ia

tersenyum lega.

Di tengah haru yang menyelimuti, seorang perempuan masuk ke

ruang tamu setelah mengucapkan salam. Tentu saja perhatian seketika

teralih padanya.

“Loh, Kakak, kan, yang kemaren, ya?” tanya Ara saat melihat lakilaki yang kemarin bersamanya di taman sekolah. “Kakak ada apa ke sini?”

“Anakku ...,” gumam Rossa. Air matanya berderai. Ia pun menghampiri

perempuan itu, kemudian memeluknya. “Sayang ... akhirnya Mom

nemuin kamu.”

Ara hanya diam. Dirinya bingung bukan kepalang. Namun, ia merasa

... nyaman meski tak kunjung membalas pelukan tersebut. Dekap terurai

kala Bu Nia menyuruhnya untuk duduk.

“Mereka keluarga kandung kamu, Sayang. Keluarga yang selama ini

kamu rindukan,” jelas Bu Nia seraya mengusap pundak Ara yang sudah

dianggapnya sebagai anak sendiri.

“Bagaimana mungkin, Bun?” tanya Ara yang masih tak percaya

kenyataan ini.

“Kalung kamu, Sayang. Jarang ada yang memiliki kalung seperti itu,”

jawab Rossa sambil menyeka sisa air mata di pipi.

“Kalung ini.” Ara mengeluarkan kalung yang menggantung,

mengamati secara saksama. Sungguh, ia masih belum percaya akan hal

yang terjadi saat ini.

“Kamu memang bagian keluarga kami. Masih ada akta, foto kamu

ketika kecil, bukti-bukti lainnya kalau kamu masih belum percaya.” Pria

itu menyodorkan setumpuk berkas berisi hal-hal yang memperkuat bukti

bahwa Ara adalah putri mereka.

Gadis itu pun melihatnya satu-satu. Ingatan di kepala seakan tidak

asing. Tanpa disadari, air mata menetes melintasi pipi. Ia menutup mulut.

Bahagianya membuncah. “Ini beneran? Ara nggak mimpi, ‘kan?”

“Iya, Sayang. Sini peluk.”

Ara menatap keluarganya, lalu menghampiri sang mama. Tangisnya

tersedu penuh haru.

“Mommy sangat merindukanmu.” Dikecup Rossa dahi buah hati

yang teramat disayanginya berulang kali.

“Sini peluk.” Sauqi merentangkan tangan, kemudian mendekap Ara

penuh hangat. “I miss you, putri kecil daddy.”

“Kita berdua nggak dapet pelukan?”

Ara menoleh pada dua remaja yang duduk di sebelah sang ayah.

“Kakak?”

“Panggil abang, Sayang.”

Ara menghambur ke arah dua pemuda tersebut. Senangnya

bukan kepalang. Doanya terwujud. Ia dipertemukan kembali dengan

keluarganya.

Usai melepas rindu, dalam hati kecil diselimuti rasa bimbang. Ara

sudah menganggap panti asuhan ini sebagai keluarga juga rumahnya

untuk pulang, tetapi kini sudah dipertemukan kembali pada keluarga

kandung. Namun, saat menoleh pada Nia, wanita itu mengangguk lembut.

“Pulanglah. Mereka keluargamu yang sesungguhnya,” ucap Nia

sembari menahan air mata agar tidak mengalir. Mau tidak mau, siap

tidak siap, dirinya harus bisa melepas gadis yang sudah ia anggap sebagai

anak sendiri.

“Makasih, Bunda, udah rawat Ara dari kecil sampai sekarang. Ara

nggak akan melupakan jasa Bunda. Terima kasih banyak. Ara bakalan

sering-sering berkunjung ke sini karena semua yang ada di sini juga

keluarga Ara,” ucap Ara seraya memeluk bundanya erat.

Tangis tak dapat ditahan maupun dielak. Semuanya hanyut dalam

haru juga bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status