Penasaran dengan apa yang dibicarakan orang-orang tentang dirinya, Nara mempercepat langkah menuju mading sekolah.
Matanya membola begitu mendapati papan mading yang luas itu dipenuhi foto dirinya. Mulai dari foto-foto dia dan Papanya yang mengangkut buah-buahan pakai mobil, lalu Nara yang pergi sekolah naik angkot, bahkan foto rumah depannya pun ada.
Hal yang mengejutkan lainnya adalah, di bagian paling atas tertera tulisan "NARA AMANDA ADALAH PENYEBAB KERIBUTAN DAN PERTANDINGAN ILEGAL DI ANTARA SMA BAKTI DAN SMA HARAPAN"
Nara mundur selangkah. Dia sungguh tidak tahu apapun tentang pertandingan basket itu. Kapan keributan terjadi? Ia benaran tidak tahu menahu soal itu.
Di bagian paling bawah terpampang nyata foto-foto bukti kericuhan yang terjadi. Beberapa anak basket yang bertanding wajahnya pada luka-luka. Ternyata mereka kalah lagi dalam pertandingan ulang kemarin.
"Nara, makannya pelan-pelan, Nak. Nanti tersedak," ucap Kiki-Mama Nara saat melihat anaknya memakan nasi goreng buatannya dengan terburu-buru. Tak memedulikan ucapan Mamanya, Nara tetap melahap dengan sigap. Entah apa yang dikejarnya, padahal jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan Nara juga tidak piket kelas hari ini. Iko datang sembari membawa tas ranselnya. Dia adalah kakak Rana. Baru saja menjadi mahasiswa. Dia pergi sepagi ini hanya untuk menjemput temannya dan pergi bersama ke kampus. Mengurusi hal-hal yang belum beres. "Dek, lo potong rambut sependek ini?" Tanya Iko terkejut saat melihat penampilan baru adiknya. Tangannya menyentuh rambut pendek Rana yang sudah mirip seperti laki-laki. Rana menyingkirkan tangan Iko. Dia cemberut. "Emang napa sih? Kan ga salah." Balasnya jutek. "Ya ampun. Lo kan cewek, Ran. Jangan sependek inilah. Gak
Rana pulang dengan mengendarai motor maticnya. Dia tidak pulang Bersama Radit karena cowok itu ada jadwal latihan futsal Bersama teman-temannya. Biasanya mereka berdua berjalan beriringan dengan motor masing-masing menuju rumah. Dan Radit juga satu komplek dengannya, makanya mereka sering jumpa. Radit sering main ke rumah Rana, begitu pun sebaliknya.Sampai setengah perjalanan, motor Rana mogok karena habis bensin.“Sial banget gue kayanya. Haduh.” Rana turun dari motornya.“Pom bensin masih jauh lagi. Mau gak mau gue dorong dah nih kambing.”Rana memakai jaket hitam serta masker. Dia juga menutup kepalanya. Setidaknya dengan itu tidak begitu memalukan jika dilihat orang-orang.Sekitar satu meter berjalan, akhirnya Rana berhenti di pinggir jalan di mana penjual bensin eceran. “Bang, bensin.”“Iya, neng.” Abang-a
Hari sudah gelap. Rana dan Radit akhirnya sampai di depan rumah Rana. Sebelum memasukkan motor ke garasi, Rana berhenti sebentar."Masuk terus, gue juga buru-buru mau mandi, nih," perintah Radit."Ya udah gue masuk dulu ya. Nanti malem gue telepon lo. Bye." Rana membuka pagar dan memasukkan motor ke garasi. Lalu kembali menutup pagar, Radit sudah pergi. Rana menghela napas. Dia akan ceritakan semuanya pada Radit nanti.Rana membuka sepatu, kemudian masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum. Rana pulang..."Papa, Mama, dan Iko sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Papanya membaca koran sambil minum teh, Mamanya menonton sinetron, dan Iko sedang bermain games di ponsel. Mereka semua menoleh ketika Rana bersuara."Rana, baru pulang jam segini?" Wijayanto-papa Rana bertanya. Tidak ada kemarahan dalam nada suaranya, karena istrinya pun sudah memberi tahu sebelumnya
Radit dan Rana akhirnya hampir menyelesaikan tiga puluh putaran. Namun, disaat akan mencapai angka tersebut, tiba-tiba tubuh Rana terjatuh dengan sendirinya."RANA!" Radit panik. Dengan cepat dia menggendong Rana, membawanya ke UKS. "Ran, lo kenapa?"Mata Rana sedikit terbuka. Cewek itu setengah sadar. Membuka mulut saja rasanya susah.Langkah Radit sampai di UKS. Tanpa butuh waktu lama lagi, dia segera memanggil penjaga UKS. "Kak, kasih dia obat sekarang!"Rana berbaring di brankar yang ditutupi tirai hijau.Kak Mia-Penjaga Uks langsung memeriksa keadaan Rana. Sementara itu, Radit duduk di kursi dekat brankar Rana. Menyingkirkan rambut-rambut yang menghalangi dahi Rana dengan khawatir. Bagaimana tidak, wajah Rana sangat pucat saat ini."Dia drop banget. Kalian habis olahraga, ya?""Iya. Olahraganya dapet hukuman k
"Pulang, yuk dit." Rana berlari kecil menghampiri Radit yang sedang tertidur dalam posisi duduk. Dia tertawa melihat wajah Radit. Menggoyang-goyangkan bahunya agar cowok bertopi itu segera bangun.Perlahan Radit membuka mata. Keningnya mengkerut menatap Rana yang sedang membereskan barang-barangnya. "Udah selesai? Kok udah pada pulang?"Rana melambaikan tangan pada orang yang berpamitan dengannya, kemudian menoleh ke Radit. "Udah jam lima. Ayo pulang!" Dia menarik pergelangan tangan Radit, memaksa cowok itu untuk segera berdiri.Radit menguap, merenggangkan tubuhnya yang pegal-pegal karena ketiduran di bangku. "Pegel cuy badan gue. Aduh." Lalu Radit berjalan duluan ke parkiran sekolah, meninggalkan Rana yang memasang muka sebal."Tungguin gue oy!""Besok latihan lagi?" tanya Radit ketika mereka sedang mengendarai motor."Iya." Ra
"Gue pulang ya, Ran. Bye." Pamit Radit saat seisi kelas sudah kosong. Tinggal mereka bertiga lagi, kecuali anak eksul yang sudah pindah tempat ke ruangannya masing-masing. Termasuk Rana, dia dan Devan akan langsung latihan.Rana menatap Radit dengan sendu, matanya berkaca-kaca. Bermaksud meminta simpati Radit sebelum dia pulang. "Lo tega diemin gue, dit?"Radit yang sudah berdiri di ambang pintu tiba-tiba berbalik dan menghampiri Rana. "Jaga diri baek-baek." Setelah mengatakan itu dia pergi. Tak sedetik pun melirik atau menganggap keberadaan Devan.Helaan napas kasar Rana terdengar. Moodnya jadi buruk karena Radit. Padahal, kejadian tadi menurut Rana hanya hal sepele. Tapi Radit sampai begini marahnya."Udah gak usah dipikirin. 'Kan ada gue. Kalo lo minta tolong apa-apa minta sama gue aja. Gak usah canggung.""Ya udahlah lagian besok juga dia udah baik lagi. Santai aj
"Rana, nanti malam dateng ke acara nikahan kakak gue mau ga, acaranya di rumah nenek kakek gue." Devan menyesap es tehnya.Rana terkejut, ini terlalu mendadak. Rana pasti akan bertemu dengan keluarga Devan. Dan mungkinkah Devan dan keluarganya mau menerima tamu seperti Rana? Maksudnya, Rana tidak bisa dandan, tidak bisa memakai gaun, tidak bisa memakai sepatu hak. Sangat memalukan dan rasanya aneh jika Rana berpenampilan layaknya laki-laki. Bisa-bisa Rana langsung diusir dari sana dan Devan pasti akan ilfeel padanya.Melihat Rana yang melamun dan raut wajahnya cemas, Devan melambaikan tangan di depan Rana. "Hey! Kenapa? Kok diem.""Ah enggak. Cuma bingung aja gue make apa nanti. Hm, kalo gue gak dateng lo marah gak?""Gak bisa. Lo harus banget dateng, Ran. Kehadiran lo penting buat gue. Gue pengen keluarga gue tahu siapa cewek yang berhasil memikat hati gue. Please datang ya.." Devan memohon, memasan
Sekitar dua puluh menit berlalu, Rana akhirnya selesai. Sekarang dia melihat tampilan dirinya di cermin dari atas sampai bawah."Memang bener ya, cewek tomboy itu kalo udah dandan pasti ngalah-ngalahin yang feminim." Kak Ela berdecak kagum melihat Rana. Dengan riasan tipis dan perpaduan dress hitam selutut membuat Rana tampak anggun meski dengan rambut pendeknya."Ih kakak, jangan gitu lah. Jadi gak enak.""Kamu pacarnya Devan?"Rana menggeleng malu. "Temen, Kak.""Temen apa demen.""Ahaha. Temen kak."Ponsel Rana berdenting. Dia segera membaca pesan yang masuk, dari Devan. Cowok itu memberi tahu bahwa dia sudah di depan rumahnya."Yuk turun ke bawah, Kak. Devan udah nunggu." Rana mengambil tas selempang kecil miliknya, lalu turun tangga bersama Kak Ela."Bang Iko gue