Share

Keluarga

Selesai berganti baju ke seragam putih abu-abu milik teman Raffa, Nara bersama Erika kembali ke lapangan untuk membantu teman yang lain membereskan peralatan olahraga. Tanggungjawab bersama. 

Alat-alat seperti bola sepak, bola basket, bola voli, raket badminton, kock, tali skipping harus tersusun rapi di dalam gudang penyimpanan. 

Yang lain sudah selesai. Nara dan Erika terakhir datang, makanya mereka jadi yang paling terakhir. 

Nara meletakkan satu bola voli yang tersisa, namun bola tersebut ternyata menggelinding dari tempatnya. Hingga saat Nara mengejarnya, bola itu sampai di kaki seseorang yang tak Nara harapkan. 

Raffa. 

Entah mengapa rasanya hari ini semesta seakan sengaja mempertemukan mereka.

Nara menatap Raffa lamat-lamat. Bingung harus berbuat apa. 

"Bolanya gue ambil." Ujarnya seraya memeluk bola itu. 

"Eoh? O-oke-" Nara mengangguk kaku. Detik itu juga Nara pergi keluar gudang, menyusul Erika yang entah sejak kapan sedang mencuci tangannya di air keran terdekat. 

Sejujurnya, Nara malas berurusan dengan Raffa lagi. Dia kesal. Dari sekian banyak cowok di sekolah ini, kenapa hatinya harus menyukai Raffa yang jelas-jelas punya pacar. Fakta bahwa Raffa dan Nara sangat berbeda membuatnya sedih campur kesal. 

"Kenapa muka lo kecut gitu? Abis ngeliat setan apa gimana?" Erika yang sedang mengeringkan tangan dengan tissue pun bertanya. Ia menyadari ada yang aneh dengan Nara hari ini. 

Hanya gelengan lesu yang Erika dapatkan sebagai jawaban. "Ayuk ah buruan ke kelas. Nanti Bu Zuriati ngomel."

Kemudian, mereka pun berjalan ke kelas. 

#

Pelajaran terakhir hari ini di isi oleh Sosiologi. Nara dan Erika sedang dalam perjalanan ke gedung perpustakaan. Keduanya mendapat giliran mengambil buku cetak. 

Saat ini, di kelas Bu Zuriati sedang mengamuk dikarenakan bau tak sedap yang ditimbulkan sehabis olahraga tadi. Beliau selalu seperti itu. Guru berkaca mata dengan khas jilbab bunga-bunga itu akan mengomel jika kelas bau, kotor, dan sampah bertebaran dimana-mana. 

Jadilah sekarang Bu Zuriati tidak mau masuk dulu sebelum kelas wangi, dan bersih. Ya, bisa ditebaklah ya gimana riweuhnya anak kelas sekarang. 

"Hadeh, untungnya kita bisa keluar dari kelas, Er."

"Lagian kenapa sih Bu Zur sensian banget?" Tanya Erika. 

Nara berdecak. "Kayak gak tau dia aja. Nih gue tebak rumahnya dipenuhi pengharum ruangan jangan-jangan."

"Wuiss stela satu pabrik kayaknya haha."

Langkah mereka memasuki perpustakaan. Hawanya langsung berubah, adem. Luasnya perpustakaan di isi oleh meja dan kursi serta buku-buku yang berjejer di rak. 

Selesai mengambil buku Sosiologi sebanyak 30 buah, Nara membawa 15 dan Erika membawa 15. Beruntungnya bukunya tidak terlalu tebal seperti Geografi. 

"Udah pas lima belas, Na?" 

Nara mengangguk. Merapikan buku-buku tersebut sebelum membawanya ke penjaga perpustakaan untuk dicatat. 

"Halo kakak-kakak!"

Keduanya menoleh bersamaan. 

"Lo? Pengintip." Tuduh Erika sambil melotot. "Gimana hukuman Bu Lita? Enak?"

Nara menahan tawa menyadari perubahan rambut Geovan. Tadinya gondrong, sekarang seperti anak cupu. 

"Et dah kakak gak liat nih," telunjuk anak itu mengarah ke rambutnya yang kini dipangkas pendek. "Ini hukumannya."

Erika dan Nara tertawa kecil. Sayang sekali ini di perpus. Kalau di luar mungkin mereka sudah ngakak terjungkal. 

Geovan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. "Kenalin. Nama gue Geovan Abimana. Kelas 11 IPS 7, yang paling ujung."

"Erika Maharani. Kelas 12 IPS 5." Tangan Erika menyambut jabatan tangan Geo. 

"Nara Amanda. Kami sekelas. Yuk, Er. Nanti Bu Zur keburu makin marah kalo kita telat." Nara mengangkat duluan tumpukan buku itu. 

Ketika ingin melangkah pergi, satu kalimat dari  adik kelasnya itu membuat Nara berhenti. 

"Ketawa Kak Nara manis. Hehe." Ucapnya disertai tawa kecil di akhir kalimat. 

"Idih idih bisa aja lo, dek dek." Ledek Erika. 

Nara hanya tersenyum canggung dan berjalan mengekori Erika. Namun, satu hal yang membuat Nara penasaran. Ada bekas luka lebam di sudut bibir anak itu, maksudnya Geovan. Lebamnya sudah mau sembuh. Jika tidak diperhatikan baik-baik tidak akan tampak. Tipikal anak bandel yang suka berantam. 

#

Pelajaran Sosiologi hari ini selesai dalam tiga jam lamanya. Bayangkan aja selama berjam-jam di kelas bareng guru segalak Bu Zuriati. 

Pukul setengah tiga siang, bel pulang sekolah berbunyi.  Saat ini Nara sedang berada dalam perjalanan pulang menaiki angkot. Tak perlu dipertanyakan lagi bagaimana isinya. Panas terik menyengat, bau stela bercampur keringat penumpangnya, serta lagu koplo sukses membuat kepala Nara pusing. 

Perjalanan dari sekolah ke rumah Nara menempuh waktu sepuluh menit. Dulu, saat papanya masih punya mobil ia diantar jemput pakai supir. Sekarang keadaan ekonomi keluarganya sudah berubah drastis. Mau tidak mau Nara harus menjalaninya. 

Setelah turun dari angkot, Nara harus berjalan lagi menuju rumahnya yang terletak di dalam gang. 

"Assalamu'alaikum." Ucapnya ketika memasuki rumah. 

Di rumah sedang ada tamu-teman Papanya, Om Rudi. Yang Nara tahu, Om Rudi adalah orang yang membuat perusahaan Papa bangkrut. Sangat licik. Nara tidak suka padanya. Papa tahu Om Rudi memang musuh dalam selimut. 

"Eh anak gadis udah pulang."

Itu suara Om Rudi. Cih, sok akrab. Nara semakin enggan menoleh. Biar saja dikata tidak sopan. 

Tak berniat menanggapi, Nara lewat begitu saja melalui ruang tamu. Cewek berambut sebahu itu menghampiri Mamanya yang sedang beberes pesanan online. Iya, Papa dan Mama Nara sedang berusaha bangkit lagi. 

Dua tahun berlalu, rumah yang dulunya mewah kini hanya tinggal rumah sederhana. Mobil? Tidak ada, hanya tersisa satu motor untuk Firdaus berkebun. Firdaus memiliki perkebunan kecil di dekat sini. Disana ada bermacam-macam hasil yang bisa dijual, seperti pisang, cabai, tomat, stroberi, buah naga, ubi, mangga, dan jambu. 

Sementara itu, Kiki-Mamanya Nara, membuka toko online. Beliau menjual baju-baju gamis dan beberapa perlengkapan wanita lainnya. Dibantu Nara, Kiki bisa membangun usahanya selama setahun terakhir itu. 

Keluarga Nara benar-benar ingin bangkit dari keterpurukan. Di kamus mereka, gak ada yang namanya pasrah sama keadaan. Pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan, selagi mampu kerjakanlah. Jangan hanya menunggu bantuan orang lain. 

Omong-omong, Nara anak tunggal. Tapi tenang, dia sama sekali tidak dimanja. Nara harus dituntut mandiri apalagi di keadaan ekonomi keluarga kini. 

Firdaus dan Kiki bertekad sukses lagi. Bahkan rencananya Firdaus akan membeli rumah di Yogyakarta setelah Nara tamat sekolah. Tentu saja Nara sangat senang. Dia tak sabar ingin menjauhi orang-orang yang kerap kali menjatuhkan Papanya. 

"Loh udah selesai Mama kirim ya semua pesanannya?" Tanya Nara heran, barang-barang pesanan sudah kosong. 

Kiki mengangguk, lantas tersenyum. 

"Yah. Padahal baru aja Nara mau bantu, Ma."

"Udah gak usah, sana kamu ganti baju terus makan. Mama mau tidur siang dulu sambil ngecheck pesanan lainnya." Perintah Kiki. 

Nara mengeluarkan baju olahraga dan seragam putih abu-abunya yang kotor. Kemudian, dia memasukkannya ke dalam ember. Diberinya deterjen, serta air sembari di kucek-kucek sedikit. 

"Loh baju putih kamu kenapa?" Kiki menyadarinya. 

Nara menggerutu. "Tadi pagi Nara kecipratan becek di jalan, Ma. Kena mobil. Terus pake baju yang dipinjemin temen. Hehe. Untung ya dia baik banget, Ma."

"Aduh, Na. Lain kali kalo jalan liat kanan kiri ya. Hindarin kendaraan kalo lagi becek gitu."

"Iya, Ma. Nara masuk kamar dulu ya. Ingat Ma jangan terlalu baik sama Om Rudi." Kata-kata itu yang Nara lontarkan sebelum masuk ke kamarnya. 

"Pasti, dong. Mama ngerti itu mah."

#

Hari ini tim basket sekolah belum mulai latihan. Tadi siang saat disuruh berkumpul di bawah pohon, mereka cuma diberi pengumuman bahwa di akhir bulan ini ada lomba ekskul dan pemilihan anggota. Raffa termasuk salah satunya. 

Kini, cowok itu tengah bersama Thalia, pacarnya. Memakan es buah di salah satu kedai pinggir jalan. Pulang sekolah mereka selalu jalan dulu setiap ada kesempatan. 

"Panas banget ya, Sayang." Thalia mengeluh. Tangannya ia kibas-kibaskan. 

Raffa menyadari itu. Lantas dia pergi mengambil sobekan kardus yang ada di meja seberang. Dia mengipas Thalia dengan itu. "Gimana? Adem kan?"

Thalia tertawa kecil. Gigi gingsulnya tampak manis. 

"Ke salon yuk, Yang. Temenin aku ke salon. Rambut aku udah lepek banget." Cewek itu bergelayut manja di lengan Raffa. 

"Hmm aku ijin Papa dulu ya?"

Alis Thalia bertaut, tidak suka. "Masa tiap kali kita jalan harus selalu ijin papa kamu sih." Dia menegakkan punggungnya. 

Raffa mengambil ponsel lalu mengetikkan sesuatu di sana.

"Ya iya dong, sayang. Adik aku di rumah sendirian."

"Kan ada embak yang jagain ih."

"Si mbaknya gak tiap saat jagain, Lia. Kadang dia pulang sore, kadang juga malem. Nah Papa bilang hari ini si mbak pulang sore. Akujadi kepikiran Vio."

Raut wajah Thalia berubah kusut dan tak bersahabat. "Ish!"

Tak lama Papa Raffa menelpon. Cepat-cepat cowok itu bangkit dan menjauh dari Thalia. 

"Halo, Pa."

Thalia tidak mengerti entah kenapa setiap Raffa menelpon Papanya, laki-laki itu selalu menjauh. 

"Gak gak gak. Gak bisa. Kamu harus pulang ke rumah jagain Vio. Mbak Suti pulang jam empat. Cepet balik!"

Raffa menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Teriakan Sang Papa membuatnya kaget. Padahal, dia sudah terbiasa tapi tetap saja terkejut. Papanya orang yang emosian. 

"Oke, Pa."

"Oh iya satu lagi. Kasih tau pacarmu itu jangan keseringan manja. Pergi sana ke salon sendiri! Kayak gak punya temen aja!"

"I-iya, Pa. Nanti Raffa sampein. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sambungan dimatikan sepihak. Tentu saja Raffa tidak akan menyampaikan hal itu. Yang ada nanti Thalia malah menangis. 

"Gimana?" Thalia meminta kepastian. 

Sebuah gelengan pelan menjadi jawabannya. 

"Maaf ya, gak bisa. Kamu jangan marah ya." Raffa menggenggam tangan Thalia. 

"Ck. Ya udah deh. Ayo pulang. Besok-besok jajannya jangan di pinggir jalan dong, Yang. Bau asep rokok. Aku gak suka." Gerutu cewek itu. 

"Iya sayang." Raffa mengalah. Tak ada gunanya berdebat dengan Thalia. Dua tahun berpacaran dengannya cukup membuat Raffa paham akan sifat pacarnya itu. Dia gampang ngambekan. Meski begitu, Raffa menyayanginya karena Thalia sangat setia. 

#

"Vio, abang pulang, dek."

Raffa mencari Vio di kamarnya. 

"Halooo." Sapanya pada anak laki-laki berumur tiga tahun itu. Raffa melebarkan tangannya, bersiap menerima pelukan. 

"Ehehe. Abang." 

Vio datang menyambut Raffa, dia berlari kecil dan memeluk abangnya, lalu tertawa. 

"Abang lama banget."

"Iya maaf yaa. Abang kan baru pulang sekolah." 

Dihujaninya pipi Vio dengan kecupan kecil. Membuat anak itu kegelian. 

"Dek Raffa, mbak pamit pulang dulu ya." Ucap Mbak Suti, asisten rumah tangga terlama di rumahnya. 

Raffa menggendong Vio keluar kamar. "Iya Mbak makasih ya. By the way besok aku udah mulai latihan basket. Mungkin pulangnya agak sorean. Nanti aku kasih tau ke Papa dulu ya. Tenang aja gaji mbak nanti ditambah kok."

Mbak Suti senang mendengarnya. "Alhamdulillah Ya Allah makasih yo, Dek Raffa. Makasih. Mbak pulang sekarang ya, Assalamu'alaikum."

"Iya wa'alaikumsalam."

#

Sekarang, Vio dan Raffa sedang bermain mobil-mobilan di ruang tivi. Syukurlah anak itu tidak rewel. 

Tiba-tiba suara berisik muncul dari pintu depan. Raffa tahu itu pasti Mamanya. Sudah dua hari beliau tidak pulang. Raffa mengintip di tembok pembatas antara ruang tivi dan ruang tamu. 

Benar saja dugaannya. Tata-Mamanya membawa laki-laki lain ke rumah. Raffa menelan salivanya dengan susah payah. Ini bukan yang pertama kalinya Tata membawa pacarnya ke rumah. Iya, pacar Mamanya. 

Mereka berdua duduk di sofa dan bermesraan di sana. Rahang Raffa mengeras. Tangannya mengepal kuat. Bagaimana bisa Mamanya membawa laki-laki lain sementara dia dan Papanya belum bercerai. Egois. 

Pukul tujuh malam, sebentar lagi Anton-papanya pulang kerja. Bisa Raffa pastikan sebentar lagi akan ada kekacauan di rumah ini. Seperti biasa. 

Raffa bergegas membawa Vio dan mainannya ke kamar Raffa yang ada di lantai dua. Bukan tanpa alasan Raffa membawa Vio ke kamarnya.  Di sini, ruangannya kedap suara. Raffa menyisihkan uang jajan demi merenovasi kamar. 

Dia sudah lelah dengan pertengkaran kedua orang tuanya. Sejak Raffa duduk di bangku SMP kelas 3, mereka sering bertengkar. Dengan adanya kamar kedap suara ini, Raffa bisa tenang di dalamnya. Juga Vio tak perlu mendengar keributan di luar sana. Mental anak itu lebih penting. 

"Bentar ya, Vio. Abang keluar bentar. Main sendiri dulu ya, dek. Nanti abang buatkan susu." 

Vio menurut saja. Sedari dulu dia sering bermain sendiri, bahkan sampai tertidur. Terkadang Raffa bersyukur, anak sekecil itu sudah mampu mandiri. Dia sangat memahami keadaan keluarga ini. 

Raffa keluar kamar. Mengintip sedikit apa yang sedang terjadi di ruang tamu. Dia berhenti di tangga. 

"Gini lagi begini lagi. MAU SAMPAI KAPAN, TATA!!??" Anton mulai berteriak. Intonasi suaranya sangat tinggi. 

Tak sampai disitu, Tata mendorong tubuh suami sahnya. "Suka suka gue lah. Kalo emang lo gak tahan dengan tingkah gue kenapa gak ceraikan aja hah!?" 

"Lu gile ya. Anak lu noh. Lu pikirin anak lu!"

"Idih. Anak lo tuh. Lo aja sana urus. Cari perempuan lain kalo lo mampu. Duit lo kan banyak. Nikahin perempuan lain yang bisa urus anak lo. Gue mah ogah!"

Sementara itu, Pacarnya Tata hanya bisa menonton. Tak tau harus berbuat apa. Suntuk dengan perdebatan mereka, dia keluar rumah. 

"Kalo aja gue gak mikir anak-anak, udah gue buang lu! INGAT! Vio masih kecil woy! SADAR!"

"Gue gak peduli, Anton. Udah ih gue mau pergi sama pacar gue. Bye!"

Meskipun suka berteriak dan membentak, Anton sama sekali tidak pernah main tangan. Satu hal yang selalu Raffa suka dari Papanya. 

Raffa memperhatikan itu semua. Dia  terduduk pasrah di tangga. Tanpa sadar air matanya menetes menyaksikan pertengkaran Mama dan Papanya. Meskipun sudah sering, tetapi tetap saja hatinya sakit. Dia.. tidak kuat. Dirinya tidak sanggup. 

Laki-laki itu kembali ke kamar, memeluk Vio dengan erat. 

"Maaf ya, dek. Kamu gak bisa ngerasain keluarga yang harmonis. Gak papa ya? Kan ada abang." Pelukannya semakin erat. Tangan gemetarnya mengusap bahu Vio. Ia tidak mengerti kenapa dirinya jadi mellow begini. 

Anak polos dan lugu itu terheran melihat abangnya yang sedih. "Kok abang nangis?" Telunjuk kecilnya ia letakkan di mata Raffa. 

"Haha. Mana?" Elak Raffa seraya menyapu setetes air matanya yang jatuh. Di kamus hidup Raffa, dia tidak boleh menangis dan terlihat rapuh di depan orang lain. 

#

Pukul sembilan malam. Vio sudah tertidur di kamar Raffa. Di dalam kamar Raffa, ada kasur khusus untuk Vio. Alasannya agar Vio lebih gampang ia pantau. 

Sehabis shalat isya, Raffa menyusun buku mata pelajaran untuk besok. Untungnya tidak ada PR. Sebenarnya sih, Raffa bukan anak yang pintar. Dia hanya.. rajin. Baginya tidak apa tidak paham materi, yang penting PR harus dikerjakan. Ia tak peduli isinya benar atau salah.

Ah iya, Raffa melupakan sesuatu. Ia memasukkan cokelat silver queen yang dari kemarin lupa diberikannya pada Thalia. Katakanlah itu sebagai alat permintaan maafnya. 

Setelah selesai beberes, Raffa merebahkan diri ke kasur. Mengecek ponsel sebentar, lalu tertidur ke alam mimpi. 

Sementara itu, di jarak berkilo-kilo meter dari rumah Raffa, seorang cewek sedang senyum-senyum tidak jelas di atas kasurnya. 

"Terakhir jantung gue deg-degan karena cowok kalo gak salah pas SMP, deh. Hehe."

Nara tertidur di kasur. Tidak, dia tidak benar-benar tidur. Pikirannya melayang ke kejadian yang terjadi padanya hari ini. Mata Nara menatap langit-langit kamarnya. 

"T-tapi dia udah punya cewek. Anak hits pula. Gue mah gak ada apa-apanya." 

Mendadak dia jadi galau sendiri. 

"Suka sama pacar orang dosa gak sih? Raffa Raffa padahal dulu gue liat lo biasa aja. Tapi kenapa sekarang jadi gini. Pelet merk apa yang lo pake, oi. Kok bisa tepat sasaran gini."  

Sudah menjadi kebiasaan Nara kalau dia curhat dengan dirinya sendiri. 

Ting. 

Sebuah notifikasi dari ponselnya tertera. 

Nara membaca pesan dari Erika. 

*Na, gak ada PR kan? 

*Ngga, Er. Lo rajin banget sih.

*ehehe. Biasalah.

Nara hanya membacanya saja. Ya begitulah Erika. Meskipun Erika hobi menggosip, tapi kapasitas otaknya melebihi Nara. Erika menduduki ranking lima di kelas secara berturut-turut. Sedangkan Nara tetap setia di rangking sepuluh. 

Bosen ingin melakukan apa lagi, Nara membuka i*******m dan mencari nama Raffa di kolom pencarian.

Raffa Alfariansyah. 

Mata Nara berbinar mendapatinya. Namun, sedetik kemudian cewek itu lagi lagi harus menelan kekecewaan. Ia menghela napas lelah. Bagaimana tidak, cowok itu sangat bucin dengan Thalia. Foto profilnya foto mereka berdua, bahkan dia me-mention akun Thalia di bio. Jempol Nara menggulir layar ke bawah. Dan benar saja, isinya dipenuhi foto mereka berdua. 

"Haduh mataku."

Raffa adalah definisi bucin yang sesungguhnya. Lantas, Nara gantian mengecheck akun Thalia, isinya seperti selebgram. Keduanya mendapat ribuan followers. 

"Dah lah. Bikin insecure aja."

Kesal, cewek itu mematikan ponselnya lalu tertidur. Ia terlalu malas membuang waktu dengan meratapi nasib. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status