Share

Tatapan Mata

Esok paginya di sekolah, Nara disambut kegaduhan. Jalannya menuju kelas jadi terhambat karena kerumunan siswa menghalangi jalan di koridor kelas dua belas. 

"Demi Tuhan, ini masih pagi." Gerutunya sambil berusaha bertahan. 

Desak-desakan membuat tubuh kurusnya terombang ambing. 

Menyerah. Nara berjalan mundur ke belakang. Napasnya pengap seketika. 

Nara tidak tahu apa yang sedang terjadi di pusat kerumunan. Tubuh siswa siswi di sini menghalanginya. Hanya suara keributan yang dapat dia dengar. 

Mata Nara melihat sekeliling. Dia menemukan kursi kosong di balik pintu kelas IPA. Diambilnya kursi itu lalu naik ke atasnya. Kini, tubuhnya lebih tinggi dari siapa pun. 

Terlihat seorang cewek menarik rambut Tasya-anak IPA kelas dua belas. Fathur, sepupunya Tasya berusaha menenangkan anak cewek yang diketahui kelas sepuluh. 

Beberapa siswi di sana juga berusaha menengahi adik kelas yang seperti kesetanan itu. 

"Ih dasar cewek gak tau malu!"

Tasya tidak tinggal diam dia menghempaskan tubuh cewek itu, Karin. 

"Lo kenapa, sih? Tiba-tiba nyerang gue. Maksudnya apaan?" Teriak Tasya di depan wajah Karin. 

Fathur menahan lengan Karin. Menjauhinya dari Tasya. "Rin, kamu kenapa hei?"

"Lo yang apaan. Deket-deket cowok gue dasar gak tau malu!" 

"Hah? Fathur itu sepupu gue ya wajar dong gue deket sama dia!" Jawab Tasya gak kalah ngegas. 

Karin terdiam beberapa saat. "Sepupu? Kok kamu gak cerita, sayang?" Tanyanya pada Fathur yang sedang mengusap wajahnya, frustasi. 

"HOOO!"

"HUUU MALU HUU!"

"Masih kelas satu aja udah beringas."

"Bocil bocil bocil."

Sorak-sorakan saling sahut. Mengejek Karin yang wajahnya berubah merah seperti tomat, kepalang malu. 

"Heh heh apa ini ribut-ribut? Masih pagi loh. Bubar sana bubar lima menit lagi bel masuk!"

Pak Indra datang menengahi kekacauan. 

Nara memutar bola matanya malas. Pertengkaran yang sangat tidak penting. Dia turun dari kursinya lalu berlari kecil menuju kelas. 

Ia yakin Erika sebentar lagi akan heboh. 

"Nara!" 

Tepat sasaran. Cewek itu hari ini rambutnya di kepang satu. Erika bisa dibilang sangat keren dalam penampilan. 

"Lo nonton drama tadi?" Nara bertanya sembari mengeluarkan buku pelajaran dari tas. 

Anggukan semangat Erika berikan. "Sumpah, ya. Malu banget kalo gue jadi Karin. Hahaha. Bisa-bisanya dia pede banget ngelabrak Tasya." Dia tertawa sampai meneteskan air mata. 

"Baru pacaran kali, ya sama Fathur."

"Iya bener. Mereka baru jadian. Berani banget tuh bocah naik ke lantai kelas dua belas. Keberaniannya patut diacungi jempol."

"By the way, rambut lo bagus banget. Rapi. Siapa yang kepang?" Ujar Nara sambil membalikkan tubuh Erika untuk melihat rambutnya. 

"Seperti biasa, my mom!" Serunya. 

Obrolan mereka harus terhenti ketika seorang guru tidak dikenal masuk ke kelas. 

"Selamat pagi!"

"Pagi, Pak!" 

"Mana Ketua Kelasnya?"

"Saya, Pak." Oki menaikkan tangan kanannya. 

"Bersiap!"

Semua warga kelas bangkit berdiri. 

"Beri salam!"

"Selamat Pagi, Bapak guru."

"Selamat pagi juga anak-anak."

"Duduk!"

Bisik-bisik mulai terdengar. Mereka mempertanyakan siapa guru muda tersebut. Pasalnya sekarang adalah pelajaran sejarah, Bu Lina. 

"Na, kok ganteng ya." Cicit Erika, tangannya  menyenggol siku Nara. 

Nara memutar bola matanya, malas. "Biasa aja. Masih gantengan juga Raffa." Ucapnya tanpa sadar, namun didengar oleh Erika. 

"What!?" Erika melotot meminta penjelasan. "Maksudnya?"

Begitu sadar, Nara menutup mulutnya sendiri. "I-iya nanti gue jelasin." 

"Jadi hari ini Bu Lina tidak bisa masuk. Beliau sedang ada kerjaan di Jakarta sampai akhir bulan. Nah, maka dari itu saya yang menggantikan beliau ya. Saya harap kalian betah."

"Ya pasti betahlah, Pak. Orang ganteng begini." Dinda yang duduk paling depan menyahut.

"Huuu!"

Ia disoraki sekelas. 

"Perkenalkan nama saya Muhammad Fahri." Pak Fahri menuliskan namanya di papan. 

"Bapak masih mahasiswa ya?"

"Iya. Saya mahasiswa semester akhir. Saat ini sedang skripsi." 

"Umur bapak berapa?"

"Umur saya dua puluh tiga tahun."

Nara menguap. Sangat bosan. Dia menaruh dagunya di atas meja. Untungnya meja dirinya dan Erika terletak di dekat dinding paling kanan, barisan ketiga dari depan. Tepat di dekat jendela. Nah melalui jendela ini, Nara bisa melihat orang lewat. 

Nara menatap malas Pak Fahri di depan sana. Siswi-siswi centil kelihatan sangat senang. Oh tidak, ternyata Erika juga sama. 

#

Kelas Nara sudah boleh istirahat, lebih cepat sepuluh menit dari kelas lain. Ya, ini semua berkat Pak Yusuf, guru seni budaya. 

Nara memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Cewek itu berencana mengembalikan seragam milik Afika, temannya Raffa. 

"Gue ada urusan bentar. Lo duluan aja ya, Er. Nanti gue nyusul." Pintanya. 

Erika memicingkan mata. 

"Ini gue mau balikin seragam anak orang. Ya ya."

"Lo utang cerita sama gue loh. Awas." Ancamnya. 

"Iye bawel."

Setelah Erika pergi, Nara beranjak keluar kelas sambil menenteng totebag. Ah iya, kelas IPA satu terletak di lantai tiga. Kelas unggulan seperti IPA 1, 2, 3, dan IPS 1, 2, 3, berada di lantai paling atas. Sementara kelas sisanya di lantai dua. Nah, di lantai satu terdapat ruang toilet dan ruang TU. 

Untuk kelas sepuluh dan sebelas, mereka punya gedung masing-masing. Sekolah Nara memang sangat luas. 

Nara menaiki tangga sampai lelah. "Masih muda udah bengek aja gue." Gumamnya pada diri sendiri. 

Sampai. 

Tepat sekali. Bel berbunyi. Nara menunggu di bangku panjang yang ada di depan kelas. 

Semua berjalan melewatinya. Jujur, Nara tidak mengenal semua anak kelas unggul. Hanya satu-satu saja, itu pun karena orang-orang tersebut terkenal di sekolah ini. 

"Permisi, kamu tau gak di kelas ini yang namanya Afika Maharani?" Nara bertanya pada anak cewek yang baru saja keluar dari kelas itu. 

"Afika? Sebentar ya aku panggil."

Nara berdiri menempel di tembok, menunggu orangnya datang. 

"Hey, ini Afikanya. Aku pamit dulu ya."

"Makasi ya." Nara tersenyum. 

"Cari aku ya?" 

Nara menoleh. Demi Tuhan, Afika sangat cantik. Gadis itu seperti barby hidup. Nara mematung dibuatnya. 

"Halo?" Afika melambaikan tangannya ke wajah Nara. 

Nara terkesiap. "Eh iya. Ini gue mau kembaliin seragam yang dititipin Raffa kemarin. Makasih ya."

Cewek itu tersenyum sangat manis. "Oh iya iya. Sama-sama." Diambilnya totebag itu. 

"Udah gue cuci, kok. Santai aja."

"Iya iya."

Canggung. Nara pamit pergi. Berdiri di samping Afika membuatnya merasa seperti upik abu. 

Nara selalu saja insecure. Entah kenapa ia merasa sangat tak pantas ada di dekat orang-orang cantik dan berpendidikan. Bahkan dibandingkan Erika saja, Nara sangat jauh berbeda. 

Di tangga lantai dua, saat mau turun Nara melihat Raffa dan Thalia sedang bersama. Cewek itu memegang cokelat yang bisa ditebak itu pemberian dari Raffa. 

Helaan napas lelah Nara keluarkan. Ia kesal, kenapa sih harus pacaran di tangga? Selalu saja di tangga. 

"Kayak gak ada tempat lain aja." Batinnya berbisik. 

Ketika Nara melewati sepasang kekasih itu, tatapan mata Nara dan Raffa bertemu. Cepat-cepat Nara membuang pandangan dan segera menuruni anak tangga. 

Saking terburu-burunya, Nara tidak memperhatikan jalan. Hingga membuat Nara tersandung kakinya sendiri. Tubuhnya terhuyung ke depan. 

"Aw-"

Nara memejamkan matanya rapat-rapat. Saat membuka mata dia menyadari ada tangan yang menahan tangannya. Jadi posisinya Nara hampir jatuh tapi menggantung karena tangannya digenggam seseorang yang ternyata adalah... Raffa. Kalau saja tidak ada Raffa, mungkin Nara sudah terbentur di tangga. 

Menyadari posisinya yang salah, Nara berdiri tegak. 

"Hati-hati kalo jalan." Ucap Raffa. 

"Ih apaan, sih. Pegang-pegang segala. Lepas lepas!" 

Oh Tuhan, Nara sampai tidak sadar bahwa di sana masih ada Thalia. Cewek itu memutuskan pegangan tangan mereka. 

"Sorry banget. Maaf."

Jantung Nara berdetak cepat. Buru-buru dia kabur dari dua orang itu. Beberapa siswa yang lewat juga memperhatikannya. 

Sangat memalukan. 

"Ada ada aja."

Dia berlari ke kantin seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kenapa setiap ada Raffa dia selalu berbuat ceroboh dan berakhir mempermalukan diri sendiri? 

"Erikaaa." 

Nara memeluk Erika erat. Erika yang sedang memakan bakso bingung. 

"Kenapa sih, Na? Ada apa?"

"Huaaa gue malu banget woy. Gimana dong ini?" 

"Kalem kalem. Bentar gue minum dulu. Pedes amat nih bakso." Erika melepas pelukan, lantas meneguk teh dingin sampai setengah. 

"Gue hampir aja jatuh di tangga terus ditangkep sama Raffa. Dan itu tuh di depan ceweknya. Huhu malu." Jelasnya dengan heboh. 

"Bentar, ini Raffa anak basket kan?"

"Iya, Raffa IPA 4." Nara hampir menangis menahan malu. Bagaimana jika orang-orang jadi salah paham, nanti dikira dia pelakor lagi.

"Gimana ceritanya lo bisa interaksi sama dia?"

Baiklah, Nara mulai menceritakan semuanya pada Erika.

Berdasarkan cerita Nara, bisa Erika simpulkan bahwa sahabatnya itu menyukai Raffa. 

"Nara, itu hak lo kalo suka sama Raffa. Tapi gue harap lo tau batas ya. Ya tau sendiri kan, Thalia pacarnya. Dia punya geng anak hits yang sok berkuasa. Gue sih gak mau lo berurusan sama anak-anak kayak mereka. Gak penting."

Sejenak Nara merenungi apa yang dikatakan Erika. Ada benarnya juga. Hidupnya bisa saja kacau kalau berurusan dengan mereka. Sepertinya memendam perasaan lebih baik. Yap, benar. Nara harus tau batas. 

#

Sehabis mengantar Thalia ke kantin, kini Raffa bersama teman-temannya di kantin belakang. Disini, para siswa bebas merokok. Tempat berkumpulnya anak-anak berandalan sekolah. 

Letaknya yang berada di belakang sekolah membuat kantin yang dijaga Bi Inem dan Pak Ari itu tidak terkontrol. Sesekali anak Osis patroli ke sini dan menangkap beberapa yang merokok. Pernah juga ada siswa yang keciduk memakai narkoba. Tapi siswa di sekolah ini tetap saja bengal, mereka gak peduli sekalipun udah ada yang ketangkap. 

Raffa tidak merokok. Laki-laki itu duduk di sana cuma untuk makan nasi lemak buatan Bi Inem. Setelah itu, main game. Itu saja. 

"Oi, Pa. Gimana basket?" Tanya Rizki yang duduk di sebelahnya. 

"Ya gitu." Jawab Raffa cuek, dia sedang fokus mabar dengan Dendi. 

Rizki berdecak sebal. "Gua perhatiin lu udah gak terlalu fokus basket lagi." Cowok berambut keriting itu mematikan rokoknya. 

"Udah kelas tiga. Gua gak seambisius dulu. Ciee ketahuan sering merhatiin gua, nih." Ungkap Raffa dengan pedenya. 

Sebuah tinjuan mendarat di lengan Raffa, itu hadiah dari Rizki. "Sialan lu."

"Itu ada orang di dalem rumah. Gas lah, Pa. Ayok buruan, njir!" Dendi berseru heboh. 

"Iye iye santai boss. Peluru gua abis."

"Bintang kecil di langit yang biru datang. Assalamu'alaikum kalian nungguin aku, nggak? " 

Bintang datang membawa kehebohan. Dia bahkan duduk di pangkuan Rizki. 

"Najis. Sana lo, ntang!" Rizki menyingkirkan Bintang sampai cowok itu tersungkur ke lantai. 

"Ih gak mau gak suka gelay!" 

Gesturenya dibuat-buat ala Nissa Sabyan. 

"Woi bisa diem kagak lu, nyet!" Itu umpatan dari Dendi. Ia dan Raffa jika sudah bermain game paling tidak bisa diganggu. 

Bintang bangkit berdiri. "Astaghfirullahal'adzim kamu ini berdosa banget!" 

Karena kesal, Rizki memiting leher Bintang. "Mampus lu." 

"Ak- hentikan kekerasan ini-" Ujar Bintang dramatis. 

Raffa, Dendi, Rizki, dan Bintang sering bersama. Mereka sekelas, sama-sama berada di ekskul basket juga. Masing-masing udah punya cewek, kecuali Dendi. Ya, mereka lumayan famous di sekolah ini. Pokoknya ya, kalau masuk klub basket sudah pasti terkenal. Ibarat kata, gudangnya cowok ganteng. 

#

Jam setengah satu. Istirahat kedua. Para siswa pergi makan siang di kantin, perpustakaan, dan ada yang shalat. 

Pelajaran matematika tadi cukup membuat kepala Nara mengeluarkan kepulan asap. Rumus x y yang tidak jelas itu memenuhi pikirannya. Terkadang ia sampai mual, gumoh seperti sekarang. Erika dan Nara sedang mengerjakan tugas latihan dari Bu Balqis yang harus dikumpulkan sebelum bel masuk nanti. 

Beruntung Nara diberi contekan Erika. Otak Erika memang ahli matematika. Tidak seperti dirinya. Lihat angka saja rasanya malas. 

"Huek-"

"Lo kenapa, Na?"

Nara menggeleng. "Mual gue ngerjain soalnya."

Erika menggeleng heran. "Bikin panik aja. Nih gue kasih semuanya buat lo. Salin gih. Dah selesai."

Nara menatap Erika dengan tatapan tak percaya. "Really?"

"Iya." 

"Thanks, Er. Nanti gue kumpulin. Lo lagi gak shalat kan?"

"Engga. Gue makan dulu ya di kantin, bye."

Selesai menyalin, Nara bergegas mengumpulkannya di meja Bu Balqis. Harus buru-buru soalnya dia mau pergi shalat di mesjid. 

Syukurlah belum terlambat. Nara memberinya ke Bu Balqis. Lalu segera bergegas ke mesjid untuk shalat. Mesjidnya tidak terlalu ramai. Ah iya, mesjid ini dibangun khusus untuk para siswa yang muslim. Tempatnya tidak begitu luas, juga tidak begitu sempit. Paslah untuk digunakan bergilir. 

Nara selesai shalat, berdoa sebentar lalu berdzikir. Matanya tidak sengaja melihat Raffa yang baru saja mengambil wudhu. 

Deg. 

Kain pembatas antara shaf cewek dan shaf cowok memang tipis. Jadi Nara bisa memperhatikan punggung Raffa dengan jelas. 

Mendadak dia tersadar dari lamunannya. Perkataan Erika muncul di kepala, Nara harus tau batasan. Dia tidak boleh menyukai Raffa terlalu dalam. Itu semua akan merepotkan nantinya. 

Nara melipat mukena dan menaruhnya ke tempat semula. Ketika sedang memakai sepatu, mata Nara menangkap sosok itu lagi. Meskipun dari jauh, cewek itu bisa melihat raut sedih dari Raffa. 

"Dia kenapa?" Gumamnya. 

Mana Raffa menyebalkan yang ia kenal hari Senin kemarin? 

Raffa berjalan keluar area mushola. Mumpung belum terlalu jauh, Nara ingin menghampirinya dan mengucapkan terima kasih. Langkah Nara mengejar punggung itu. Rasanya ada yang mengganjal di hati Nara. 

"Raffa!"

Yang dipanggil menoleh. Alisnya naik sebelah. 

"Makasih ya. Bajunya udah gue kembaliin ke Afika." Nara melangkah pergi tanpa mendengar jawaban dari Raffa. 

"Na-ra?"

Raffa memanggilnya. 

Nara membalikkan badan dan mengangguk, kemudian tersenyum. "Iya, gue Nara. Bahagia terus ya, Raffa. Jangan sedih gitu. Ada banyak orang yang sayang sama lo. Hehe. Semangat!" Tangannya mengepal ke udara saat mengucap kata "semangat".

Lantas, cewek itu pergi. Meninggalkan Raffa yang hanya bisa terdiam. 

Raffa tak menyangka akan mendapat kata-kata itu. Kata-kata yang tidak pernah satu orang pun berikan padanya, bahkan Thalia. 

"Kenapa lu hobi banget pergi. Padahal gua belum sempet ngomong."

#

Hujan. 

Sepulang sekolah, Nara harus menunggu hujan reda. Ia duduk di kursi panjang depan kelas. Masih banyak siswa tersisa. Mereka yang ikut ekskul juga tidak langsung pulang. Syukurlah, Nara tidak sendiri. Omong-omong, Erika sudah pulang duluan naik motor. Dia memakai mantel. Tadinya Erika ingin mengantar Nara juga tapi Nara tidak mau. 

"Gue pulang duluan ya, Nara." Sisil menyapanya. 

"Iya, sil. Hati-hati."

"Kami juga ya, Nara."

"Nara, duluan ya."

"Nunggu di bawah aja yuk, Nara. Bareng kita." Ajak Angel dan Clarissa. Namun, Nara menolak secara halus. 

Hari ini Nara tidak bawa ponsel. Biasanya kalau bawa, dia akan menyembunyikannya di bawah tangga. Karena ada razia jadi Nara dan Erika was-was tidak tenang jika membawa handphone. 

Tidak bisa menghubungi Mama dan Papanya, ia memutuskan pulang naik angkot saja. Nara bisa saja meminjam ponsel teman atau wali kelas, tapi dia tidak mau. Takut merepotkan Papa Mama yang sibuk bekerja. 

Tak masalah naik angkot saja. Lagipula ini hari Selasa, besok sudah ganti seragam. Tak apa kalau kehujanan dan basah. 

Lima belas menit berlalu. Hujan makin deras. Nara bersandar di balkon, melihat keadaan lapangan yang basah. Beberapa siswa nekat menerobos hujan. Ada juga yang bersenang-senang di bawah sana. 

Alhasil, hatinya tergerak mandi hujan juga. Sepertinya seru. Dia membungkus  ranselnya dengan mantel tas yang memang tersedia. Lalu, turun ke bawah sana dan berjalan menuju halte. Untuk sampai ke sana, Nara harus berjalan kaki selama tujuh menit. 

"Waaah akhirnyaaa udah lama gak hujan." Gumamnya kesenangan. 

Sesekali ia melompat, sambil mengeratkan genggamannya pada tali tas. 

"Yuhuuu."

Sungguh, Nara tidak peduli dianggap orang gila. Toh, ia gak merugikan siapa-siapa. Siswa siswi yang lain juga bermain hujan, kok. Bagi Nara, hujan adalah sebagian sumber kebahagiaannya. 

Sesampainya di halte, dia kesal. Di sana sangat ramai, padat sekali yang berteduh tidak sedikit. Terlalu malas, Nara memilih berdiri di bawah pohon. Ya meskipun percuma, air hujan tetap mengenai tubuhnya. Tapi Nara benar-benar menikmati itu. 

"Wiihh. Seneng banget!" Dia melompat gembira bisa main hujan. Semoga saja Mamanya tidak marah. 

Wajahnya menatap ke atas pohon, matanya terpejam rapat. Menikmati air tetesan hujan yang jatuh ke kulitnya. 

Hujan mereda. Nara merasa haus. Dia berjalan ke kedai yang terdekat. Membeli minum, melampiaskan dahaganya. Saat sampai di sana, mata Nara membola. Raffa dan ketiga temannya sedang nongkrong di kedai itu. Sepertinya mereka masih harus kembali ke sekolah, pasalnya tidak ada yang bawa tas. 

"Harus banget ketemu lagi?" Bisiknya dalam hati. 

Selesai membayar air mineral, Nara meneguknya sampai habis.  

Lagi dan lagi entah ke berapa kalinya tatapan mata mereka tidak sengaja bertemu. 

Raffa melihat Nara yang basah kuyup. Nara membuang pandangan secepat kilat. 

"Mati gue."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status