Share

MY FAVORITE BOY
MY FAVORITE BOY
Penulis: reystoria

Awal Mula

"Pak kiri, Pak!"

Angkot hitam itu segera menepi setelah mendengar instruksi seorang penumpangnya. Cewek dengan seragam putih abu-abunya itu turun dan memberikan selembar uang lima ribu pada supir. 

"Makasih ya, Pak!"

"Yo!"

Hari ini adalah hari pertama Nara Amanda duduk di kelas dua belas. Dia sangat senang menjadi kakak kelas paling tua di SMA Harapan Abadi. Libur semester kemarin membuat dia merindukan teman-temannya. 

Saking senangnya. Nara tak memperhatikan jalan. Sampai-sampai ada mobil yang menyipratkan genangan air sisa hujan semalam. Alhasil, seragam Nara basah dan kotor. 

"Heh! Sopan gak langsung kabur kayak gitu!?" Teriaknya kesal. Orang-orang di sekitar sana memperhatikannya. Tak sedikit yang menahan tawa. Rasanya Nara ingin menangis saat itu juga. 

"Gimana dong ini? Masa iya gue harus pulang ke rumah." 

Ia tidak punya ide. Sayang sekali. Padahal sedikit lagi sampai gerbang. Dan 7 menit lagi akan tutup. Setelah berpikir sejenak, Nara memutuskan balik arah, ke tempat biasanya angkot lalu lalang.

Dia tidak mungkin pergi sekolah dengan keadaan kacau seperti itu. 

"Apes banget hidup gue." Gumamnya sembari menendang-nendang kerikil kecil di jalan. 

Sebuah motor mendekat, dia menaikkan pandangannya dengan raut bertanya. 

Sang pengendara motor tersebut membuka helmnya. "Lo pulang ke rumah? Gak sekolah?"

aNra kaget bukan main. Dia tidak salah kan? Seorang Raffa Alfariansyah, salah satu cowok terpopuler di sekolah mengajaknya bicara. Ini suatu keajaiban. Mereka bahkan tidak pernah saling tegur sapa sebelumnya. Ya gimana tidak, Nara kan siswi biasa-biasa saja.  Pintar tidak, cantik juga tidak.

"Iya. Mana mungkin  gue masuk kelas dengan keadaan kayak gini."

"Naik!"

"Hah? Maksud lo?"

"Naik. Kita ke sekolah sekarang. Gua kasih lu seragam lain."

Butuh waktu lama untuk Nara mencerna semua kata-kata Raffa. "Emang baju siapa? Gak usah. Ngerepotin aja. Mending gue pulang."

Raffa semakin kesal dibuatnya. "Allahuakbar! Cepetan naek, ah elah. Gua kasih seragam temen gua. Nanti gua pinjemin. Buruan bentar lagi telat, kita bisa dihukum." 

Karena tak sabar, Raffa menarik pergelangan tangan Nara untuk mendekatinya. 

"Eh Eh iya iya gue naik." Segera Nara lepaskan tangan itu lalu dia naik ke jok belakang. 

Motor itupun melaju menuju gerbang sekolah yang sayangnya sudah ditutup oleh satpam. 

***

Di sinilah mereka sekarang, di lapangan kecil yang ada di dekat lapangan utama. Tempat yang sengaja dibuat khusus untuk para siswa yang terlambat. Sekarang sedang berlangsung upacara. Kata Pak ido, mereka akan diberi hukuman setelah upacara bendera selesai. 

"Lu sih kelamaan mikir tadi. Jadi telat kan." bisik Raffa pada Nara yang berdiri di sebelahnya. 

Tak terima dituduh. Nara melotot. "Idih. Emangnya ada gue suruh lo nungguin? Coba aja lo biarin gue pulang ke rumah." 

"Gini-gini gua masih punya empati terhadap orang susah."

"Lo-"

"Heh itu yang dua orang ngapain ngobrol?"

Teguran dari Pak Ido- guru BK yang piket hari ini membuat keduanya diam.

Omong-omong, Nara sudah ganti seragam. Raffa menepati janji meminjamkan seragam milik temannya. Cowok itu tadi bertukar pesan dengan salah satu teman. Dia bilang Nara harus mengembalikannya sendiri pada teman Raffa yang kalau tidak salah Nara ingat namanya Afika kelas 12 IPA 1. Syukurlah. Nara mendapatkan pertolongan di hari pertamanya masuk sekolah.

Upacara terasa sangat lama karena pembina upacara menyampaikan ceramah dan pesan-pesan yang sangat panjang melebihi gerbong kereta api. Tidakkah beliau menyadari para siswa sudah seperti ikan asin yang sedang dijemur. Mana mungkin mereka benar-benar mendengarkan.

Nara mengeluh kepanasan. Tangannya menyapu keringat yang menetes di wajah dan lehernya. Tenggorokannya sangat kering, ia begitu haus. 

Ia menoleh ke sebelahnya. Raffa masih berdiri tegap dengan tangan di belakang. Tak bisa berbohong, Nara mengakui ketampanan Raffa. Bahkan jika dilihat dari samping, wajah cowok itu terlihat sempurna dengan tambahan tahi lalat di atas bibirnya. Sekarang dia mengerti kenapa Raffa menjadi idola di sekolah ini. Tubuhnya juga sangat tinggi, kepala Nara hanya sampai bahu Raffa. Wajar sih, dia anak basket sementara Nara anak rebahan. 

Objek yang Nara perhatikan dari tadi ternyata menyadari sesuatu. 

BOM!

Nara tertangkap basah. 

"Ngapain liatin? Ada yang salah sama gua?"

Canggung. Nara hanya bisa menyengir dan mengalihkan wajahnya. Duh, kapan sih Nara Amanda gak mempermalukan diri sendiri.

Waktu berjalan sangat lambat. Setelah upacara selesai, para siswa tadi sempat harus mendengarkan ceramah tambahan kepala sekolah mengenai keterlambatan di hari pertama seekolah. Sangat membosankan.

Hukuman belum dimulai. Kini semua siswa yang terlambat harus mengelilingi lapangan utama sebanyak sepuluh putaran. 

Nara berlari di belakang Raffa. Langkah kaki Raffa yang lebar sangat sulit Nara sejajarkan. 

"Sembilan putaran." Teriak Pak Ido dari pinggir lapangan. 

"Oi!" Panggil Nara pada Raffa. Sayangnya cowok itu tak mendengar. Napas Nara sudah ngos-ngosan. Tadi pagi dia sarapan sedikit sekali. Jadinya dia lemas sekarang. 

"Oke. Sepuluh putaran. Selesai!" Peluit ditiupkan Pak Aldi- guru olahraga kelas sepuluh. Dia membantu Pak Ido mengerjakan piket hari ini. 

Semua siswa dengan serentak terduduk di lantai lapangan. Termasuk Nara dan Raffa. Mereka semua diperbolehkan istirahat sebentar karena hukuman masih ada yaitu mengutip sampah. 

Raffa mendekati Nara yang wajahnya sudah pucat pasi. Cowok itu mendadak panik. "Eh lu sakit kan? Kabur aja yuk! Ke kantin belakang tempat gua biasa nongkrong."

Tak ada jawaban dari Nara, dadanya sudah sesak. Membuatnya kesusahan merespon. 

Tak sabaran, Raffa mengambil tas mereka berdua yang ada di dekat pohon lalu  diam-diam tanpa sepenglihatan Pak Ido dan Pak Aldi, Raffa membawa Nara pergi dari sana. Dia menyampirkan tangan Nara di bahunya dan membantu cewek itu berjalan dengan cepat sebelum ketahuan. Untungnya semua orang saat itu sibuk dengan urusannya masing-masing.

#

Sementara semua kelas sudah memulai pelajaran, Nara dan Raffa akhirnya berhasil lolos ke rooftop. Ia tidak jadi membawa Nara ke kantin belakang karena anak osis saat ini pasti sedang patroli. Mereka berdua bersembunyi di sudut dekat tumpukan kursi kayu. Kebanyakan anak osis dan guru tidak tahu ada tempat tersembunyi semacam itu di rooftop.

"Lemes banget gue." Ucap Nara pelan. Dia bersandar di dinding. 

Cepat-cepat Raffa mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasnya. Lalu menyodorkannya pada Nara setelah dia membuka tutupnya. 

Diambilnya air itu lantas Nara teguk sampai setengah. "Thanks ya."

Raffa menutup air mineral itu dan menyimpannya kembali. 

L"o bawa air ke sekolah?"

"Iya. Tadi sebelum berangkat sekolah gua beli. Rencananya abis upacara mau gua kasih ke cewek gua. Tapi ya udahlah buat lu aja." 

Hening. Tidak ada yang berbicara setelah itu. 

"Nama lo siapa?" 

Nara terkesiap. "N-Nara Amanda. Kelas 12 IPS 5."

"Hampir tiga tahun sekolah di sini, kok gua ga pernah liat elu ya," katanya dengan nada sedikit sombong.

Umpatan-umpatan Nara layangkan dalam hati. Mengesalkan sekali. "Ya iyalah. Gue kan bukan anak hits kayak lo sama cewek lo. Apalagi lo, Raffa. Siapa sih yang gak kenal Raffa Alfariansyah di sekolah ini? 

Raffa terkekeh kecil. "Gua juga gak mau terkenal. Apalah daya wajah tampan ini udah takdir buat gua ya jadi syukuri apa yang ada."

"Idih. Narsis amat."

"Jam berapa sekarang?" tanya Nara.

Raffa membuka ponselnya. "Sepuluh pas. Setengah sebelas kan istirahat tuh, kita balik ke kelas langsung."

"Lo ke sekolah bawa hp? Kalo ada razia gimana? Apalagi ini hari senin cuy."

"Santai aja. Gua dan temen-temen selalu nitip sama Ibu kantin."

30 menit berlalu, tak terasa mereka berdua tertidur lelap. Hembusan angin pagi yang sejuk membuai mereka. Sekarang posisinya, Nara bersandar di bahu Raffa, dan kepala Raffa menempel di dinding. Awalnya, Nara tidur duluan. Kepala cewek itu hampir saja terbentur, karena ia merasa kasihan, dia bergerak memberikan bahunya untuk disandarkan. 

Nara bangun lebih dulu. Perlahan matanya melebar, dan mulai menyadari posisi mereka. 

"Eh, copot!" Ucapnya spontan. 

"Apanya yang copot?" Tanya Raffa sembari mengucek mata. 

Nara membeku. Dia jadi salah tingkah. Tak sadar jantungnya kini tengah berpacu dengan ritme yang cepat. 

"Udah jam isitirahat. Gue balik dulu ya, terima kasih bantuannya." Dia pergi tanpa mendengar jawaban dari Raffa. 

"Eh? "

Raffa heran sendiri melihatnya. Tawa kecil terdengar. "Aneh."

#

Benar saja. Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Para siswa berhamburan keluar kelas menuju tempat tujuan mereka. Ada yang ke kantin, perpustakaan, ruang OSIS, ruang ekskul. 

Nara masih menggendong tas. Sebelum dia pergi ke kelasnya yang ada di lantai dua, Nara melihat ke mading yang menarik perhatiannya sejenak. 

"Ooh akhir bulan ada lomba ekskul. Bakal rame nih kayaknya. Tapi percuma juga sih. Gue 'kan ga ikut ekskul apapun." Gumamnya pada diri sendiri. 

Baru saja Nara akan melangkah, matanya menangkap sosok Raffa yang sedang bersama pacarnya, Thalia. Ya, Nara tahu namanya. Mereka berdua kan couple goalsnya sekolah ini. Sudah berpacaran sejak kelas 1, hanya itu yang dia tahu. Sejujurnya Nara sendiri bukan orang yang suka ngikut gosip-gosip, sih. Paling itu kerjaannya Erika, teman sebangkunya. 

"Naraaaa. Lo telat kan?"

Teriakan itu menggema di sepanjang koridor. Siapa lagi kalau bukan Erika. Bahkan Raffa dan Thalia ikut menoleh ke arah Nara. 

"Temenin gue taruh tas dulu ke kelas, baru kita jajan di kantin, Er." Pinta Nara sembari menarik tangan Erika menaiki tangga. 

"Eh iya iya. Santai dong, bun."

Tatapan Nara dan Raffa bertemu. Tak lupa, Nara juga bisa menangkap ekspresi kesal dari wajah Thalia. 

**

"Aduh! Hari ini bener-bener hari yang melelahkan. Capek banget Ya Allah." 

Sekarang kedua cewek itu sedang di meja kantin, menunggu makanan yang dipesan datang. 

"Lo abis berpetualang ke mana aja hari ini? Gue liat-liat itu bukan seragam lo, Nar." Erika menyipitkan matanya curiga. 

Telunjuk Nara menyentil telinga Erika, menimbulkan ringisan kesal darinya. 

"Heh! Jangan mikir yang aneh-aneh. Tadi pas pergi sekolah gue dicipratin becekan. Udah gitu yang punya mobil gak minta maaf sama sekali. Kotor tuh seragam gue. Nah untungnya di jalan gue ketemu orang baik, jadi dipinjemin deh. Lupa gue namanya siapa. Nanti gue kembaliin." Jelasnya panjang kali lebar dengan semangat. 

Erika mengangguk percaya. "Eh eh lo kenal Dita anak kelas sebelas gak, Nara?"

Hembusan napas lelah Nara keluarkan. Dia menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Gak. Kenapa dia?"

Erika tertawa. "Baju dia kan ngetat, dateng Bu Sasmita dirobek dong di depan ruang guru. Pake gunting juga. Hahaha. Tau rasa dia. Kecentilan, sih." 

Gibahan Erika dimulai. 

Bukannya menyimak Erika yang asik bercerita, Nara malah mengantuk. 

Gak lama kemudian, makanan datang. Mulut Erika pun sudah diam mengunyah. 

#

"Woi ada yang kosong gak?" 

"Penuh."

"Penuh semua."

"Haduh gimana dong ini? Gue kebelet oi! Cepetan kek. Duh."

Seorang cowok sibuk mondar-mandir keluar masuk kamar mandi. "Boker di mana dong gue.."

Karena tak punya pilihan lain, cowok berambut  gondrong menutupi mata itu nekat masuk toilet cewek. Untungnya sekarang sudah bel masuk. Kelas-kelas sudah mulai belajar lagi. Jadi toilet cewek yang terdekat sudah sepi. 

Toilet cewek yang ada di paling ujung ini sering sepi, sih. Jadi dia yakin-yakin saja tidak akan ada orang.

Ketika sedang asyik mengeluarkan tinja, cowok itu mendengar segerombolan cewek masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu utama. 

Dia panik bukan main. Dia bergegas membereskan dirinya. Lalu mulai berpikir bagaimana caranya keluar dari sana. 

"Mamaaa anakmu terjebak di sini. Alamak masuk BK nih gue." Gumamnya pada diri sendiri. 

"Permisi, mohon maaf ya cewek-cewek di sini ada cowok lagi terjebak. Please help me!" 

"Aaaakkkk!"

Segerombolan cewek itu berteriak dan buru-buru memakai baju olahraga mereka. 

***

Sekarang kelas Nara diisi oleh pelajaran Olahraga. Pak Iman memberi amanah melalui ketua kelas agar semua siswa segera mengganti baju olahraga, sementara beliau menunggu di lapangan untuk mengabsen. 

Cewek-cewek di kelasnya memang terbiasa mengganti di toilet, nah yang cowok mengganti di kelas karena mereka lebih simple. 

Nara dan Erika selesai berganti pakaian. Seragam putih abu-abu sudah mereka simpan di loker. Kenapa cepat? Karena Nara dan Erika memilih berganti baju di toilet cewek dekat kantin. Nah, saat akan melewati lapangan, mereka mendengar teriakan cewek-cewek kelas mereka. 

"Itu anak kelas kita kan? Kok pada teriak?" 

"Gue juga gak tau, Er. Samperin, yuk ke sana."

"Yuk yuk."

Baru saja Nara ingin membuka pintu, seseorang menerobos tubuh Erika. 

Tangan Nara dengan sigap berhasil menarik kerah baju cowok yang mau kabur tersebut. 

"Eh eh mau kabur lo ya!" 

"Ampun! Ampun, Kak. Gue kebelet boker jadi masuk toilet cewek!" Cerocosnya heboh. Tangannya menutupi wajah demi menghindari pukulan-pukulan dari para cewek-cewek teman kelas Nara. 

Erika menyubit gemas lengan adik kelas itu. "Awas ya lo kita aduin ke BK!"

"Ayok tunggu apa lagi? Girls, kita seret dia ke BK." Gina berseru. Disetujui oleh sepuluh cewek lainnya.

"Guys, dua orang aja cukup nganterin. Gak perlu rame. Kasian Pak Iman sama anak cowok udah pada nungguin di lapangan." Saran Nara. Dia menenangkan keributan sejenak. 

#

"Jadi, Geovan Abimana ini udah kasus ke berapa?" 

Bu Lita, guru BK sudah lelah menghadapi kelakuan Geovan yang banyak sekali masalah. 

Sementara itu, yang ditanya hanya diam saja. 

"Bu, dia masuk toilet cewek."

Cika dan Rissa menjadi perwakilan yang lainnya. Mereka-lah yang mengadukan semuanya pada Bu Lita. 

Geo menggaruk rambutnya yang panjang. Bingung harus menjelaskan dari mana. "Gini, Bu. Saya tahu saya gak sopan masuk toilet cewek. Tapi jujur deh, saya kebelet buang air besar dan gak ada pilihan lain. Kebetulan pas saya masuk toiletnya gak ada orang. Sumpah!" Dua jari dia naikkan sebagai tanda kejujuran. 

"Terserah kamu, Geo. Ibu udah capek sama kelakuan kamu. Cika, Rissa, balik ke lapangan aja. Biar Geo ibu yang urus." 

Kedua perempuan itu berpamitan pada Bu Lita dan tak lupa memandang sinis ke arah Geo. Rissa sempat mengacungkan jari tengah ke arah Geo dengan sembunyi-sembunyi. Geo yang melihatnya melotot seketika. 

Bu Lita mengeluarkan gunting dari laci mejanya. Mata Geovan membelalak menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya. 

"Bu Lita, please besok saya pangkas kok." Panik, dia menutupi rambutnya. 

"Sini, Ibu juga jago pangkas kok. Rapi lagi. Kamu ga perlu ke salon. Haduh udah kelas sebelas bukannya tobat."

#

Olahraga kali ini Pak Iman membebaskan siswanya bermain apa saja. Setelah mengabsen, beliau izin ke kantor guru karena dipanggil Kepala Sekolah. 

Nara dan Erika memilih permainan bulu tangkis. Keduanya sedang asyik bermain berdua, sampai mata Nara melihat Raffa dan anggota basket lainnya sedang berkumpul di bawah pohon besar. 

Lagi lagi jantung Nara berdegup cepat dibuatnya. Jaraknya dan Raffa tidak begitu jauh. Wajah Raffa masih bisa terlihat begitu jelas dari tempatnya berdiri. 

Nara lo kok bengong, sih. Ayo buruan lempar kocknya."

Teriakan Erika menyadarkan lamunan Nara. "Ah iya hehe." Kemudian, dia bermain kembali. 

Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Raffa. Berpura-pura berputar, tertawa sampai terduduk, sampai mengajak Erika tos. 

Nara tidak tahu sejak kapan jantungnya seperti ini. Padahal, dulu melihat Raffa dia biasa saja. Cewek itu merasa aneh dengan tingkahnya sendiri. Aneh bukan? Hanya dengan kejadian hari ini bisa membuat Nara memusatkan seluruh perhatiannya pada cowok itu. 

"Ups, sorry hehe."

Erika melempar kock terlalu jauh. Entah bagaimana caranya, kock itu mendarat di jarak lima meter dekat anak-anak basket. 

"It's okay. Gue aja yang ambil. Bentar."

Nara memutuskan ke sana. Langkah kakinya gemetar seiring mendekat. Ketika Nara membungkuk,  segerombolan anak cewek hits tak sengaja menabrak bokongnya. Alhasil, Nara terjerembab ke dalam genangan air yang belum kering. 

Lagi, baju olahraga Nara basah. 

Semua yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Termasuk Raffa, ia ikut tertekeh kecil. 

"Hahaha. Sorry ya, siapa nama lo? Sorry banget gak sengaja." 

Angel, Nara tahu namanya. Tak lama, mereka pergi begitu saja meninggalkan Nara yang basah. Untungnya, genangan airnya tidak kotor. 

"Aduh, Nara. Maafin gue ya. Ini gara-gara gue lo jadi kena apesnya. Yuk yuk kita ganti baju dulu. Ini kasih aja sama Clarissa, dia mau main sama Sisil." Erika mengambil alih kock di tangan Nara lantas memberikannya pada Clarissa. 

Nara diam saja saat Erika membawanya. Sejujurnya dia tak masalah jadi kotor seperti ini. Yang bikin mengenaskan adalah, dia jatuh di depan Raffa dan itu sangat memalukan. Sakitnya sih engga, malunya itu lho. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status