Share

Luka Kita

"Woi neduh dulu baju lo basah semua itu."

Jantung Nara kembali heboh. Ia tahu itu suara Raffa. Dirinya tak menyangka Raffa akan menarik lengan bajunya lalu menyeret Nara seperti anak kucing. 

"Engga ah gue mau langsung pulang." Nara melepaskannya. Sadar sedang diperhatikan keempat cowok itu, Nara menahan malu.

Nara dan Raffa berhadapan dan bertatapan cukup lama. 

"Keras kepala." Celetuk Raffa. 

Masa bodoh dengan ketiga temannya Raffa, ia berlari pergi begitu saja meninggalkan mereka. 

#

Besoknya Nara demam, hari ini ia izin masuk sekolah. 

Kemarin, pulang sekolah Kiki mengomelinya habis-habisan. Benar yang dibilang mamanya, Nara sakit hari ini. Badannya panas disertai flu. 

Seharian ini dirinya cuma berbaring di kasur, tidur, makan, main handphone, tidur lagi.  Begitu seterusnya sampai keesokan harinya, panasnya turun. Nara memutuskan masuk sekolah meski membujuk Mamanya tidak gampang. 

Hari ini, Nara ke sekolah dengan membawa persediaan tissue sebab hidungnya meler. Pagi ini Kiki menyodorkannya sup ayam hangat guna meredakan flunya. 

Papanya juga mengantarnya ke sekolah. Katanya Firdaus juga akan menjemput Nara pulang sekolah nanti. Jadi dia tidak perlu repot-repot jalan kaki naik angkot. 

#

"Naraaa i miss you."

Baru saja masuk kelas, Nara langsung disambut teriakan Erika. 

"Jangan lebay, ah. Baru sehari doang."

"Jadi gini, Na. Kita semua dikasih tugas sama Bu Dwi pelajaran bahasa inggris, disuruh praktek nyanyi dalam bahasa inggris. Nah, kalo kita bisa main alat musik, dapet nilai plus loh." 

Nara mengerutkan alisnya. "Aduh, gimana dong. Gue gak berani!"

Erika menyentil jidat Nara, membuat korbannya mengaduh kesakitan. 

"Suara lo bagus ya, Na. Gak usah gak berani segala. Suara gue nih cempreng tapi tetep pede  nyanyi. Intinya mah berani dulu jelek atau bagus itu urusan belakangan, Nara."

"Iya. Tapi-"

Perkataan Nara harus terhenti karena Erika menutup mulutnya dengan tangan. 

"Jangan banyak alasan. Lo pinter nyanyi, dan pinter main piano. Istirahat nanti kita pilih lagu.  Kemarin, gue udah kasih tau Bu Dwi kalo lo bisa main piano. Dan tebak apa? Bu Dwi kaget, Na." Cerocos Erika tiada henti. 

Hanya helaan napas lelah yang Nara keluarkan.  Ia tahu suaranya bagus, meski jarang menyanyi. Masalahnya adalah, Nara terlalu takut berdiri di depan umum. Takut jadi pusat perhatian. Dan takut melakukan kesalahan. Level kepercayaan dirinya sangat buruk. 

"Nanti kita latihan bareng. Tenang aja." Ujar Erika seraya menepuk-nepuk pundak Nara. Menenangkan sahabatnya. 

"Gue gak sabar denger suara lo. Hehe kapan lagi coba bisa denger lo nyanyi."

Cewek itu paham sekali, Nara sering kali merasa insecure terhadap dirinya sendiri. Padahal, menurut Erika perempuan berambut sebahu itu mempunyai banyak kelebihan. Nara tidak begitu cantik, tapi dia sangat manis. Sifatnya juga tidak neko-neko. Kemampuan bela diri sejak kecil sudah dia tekuni. Menyanyi? Suara merdu, main piano juga bisa. Lantas, apa yang harus ditakuti? Itu semua hanya pikirannya saja. Nara harus menunjukkan ke dunia bahwa dia ada. 

#

"Siniin hapenya!" 

"Ya udah nih. Silakan diperiksa. Orang gak ada apa-apa juga."

Sebentar lagi bel masuk berbunyi tapi Raffa dan Thalia malah bertengkar di koridor. Semua orang yang berlalu lalang berbisik-bisik menyaksikannya. Sepasang kekasih yang dijuluki couple goals itu kini berantam. 

Thalia kesal karena tadi malam Raffa online tapi gak membalas pesan darinya. Diperiksanya seluruh isi pesan di ponsel Raffa. Memantau apa saja aktifitas pacarnya semalam. 

Raffa menyandarkan punggungnya ke tembok, tangannya bersidekap di dada. Memperhatikan  Thalia yang sibuk memeriksa ponselnya sambil bersungut-sungut. 

"Ayolah, kemarin aku capek banget abis latihan basket. Terus pulang ke rumah aku ngurus Vio, dan udah keburu ngantuk jadi ngecek hape cuma liat grup doang. Udah ya, sayang." Raffa menjelaskan dengan sabar. Ia tahu tidak ada gunanya bertengkar karena hal sepele. 

"Oke. Kalo gitu ini hp kamu untuk sementara waktu aku simpen ya." Ucapnya sambil mengangkat ponsel Raffa. 

Raffa tidak terima. Direbutnya benda pipih itu dari tangan Thalia. Sayangnya, cewek itu ikutan menarik. Terjadilah tarik-tarikan ponsel. 

"Gak bisa, Lia. Nanti kalo papa aku nelpon gimana? Temen-temen aku ngehubungin gimana?"

"NANTI PULANG SEKOLAH AKU BALIKIN!"

"Lia-"

"Hei, kalian kenapa masih di luar kelas? Masuk sana!" Pak Rudi tiba-tiba datang membawa rotan. 

Raffa dan Thalia kembali ke kelas masing-masing. Dan ya, ponsel Raffa berhasil direbut Thalia. Hal itu membuat Raffa kesal setengah mampus bahkan ketika memasuki kelas. 

Sifat Thalia yang sangat cemburuan dan overprotective memang sering membuatnya sebal. Walaupun begitu, entah kenapa Raffa sangat susah untuk tidak mengalah padanya. Hanya saja ia terlalu gak enakan. 

Langkahnya berjalan menuju tempat duduknya yang ada di meja paling belakang. Spot ternyaman untuk tidur. Tetapi sayang, Raffa jarang tidur di kelas. Palingan Bintang, teman sebangkunya. 

"Kusut amat muke lu." Tegur Bintang. 

"Belum gua setrika." Jawab Raffa asal. 

Saat ini Bu Balqis, guru matematika belum masuk juga. Semua siswa berharap beliau tidak masuk sekalian. Siswa mana yang tidak pernah berdoa begitu? 

Bintang membuat gesture seolah sedang meneropong dengan kedua tangannya, dia mengarahkan ke wajah Raffa. 

"Paan, sih."

"Lo sama Thalia emang random, bro. Bentar baikan bentar berantem. Gitu aja terus sampe Salma nikahin gue." Yap, Salma adalah pacar Bintang saat ini. 

Bola mata Raffa berputar, jengah dengan pembahasan ini. "Udahlah. Mau gimana lagi, emang gitu anaknya."

"Adem lamaan dikiiit aja."

"Dahlah ga usah dibahas."

#

Jam istirahat pertama. 

Nara dan Erika sedang menunggu pesanan datang sembari memilih lagu apa yang cocok untuk mereka nyanyikan minggu depan. Ralat, lebih tepatnya Erika yang semangat mencari. Mengutak atik ponselnya yang hari ini dia bawa. 

Sementara Nara hanya bengong tak bersemangat. Jujur, badannya masih lemas. Hidungnya juga gak berhenti mengeluarkan lendir. Entah sudah berapa kali dia mengganti tissue hari ini.

Matanya melihat sekeliling. Sangat ramai. Nara pasti akan sangat merindukan suasan kantin kalau sudah tamat nanti. Sampai ketika matanya berhenti di salah satu meja yang sedang diduduki sepasang kekasih. 

Raffa dan Thalia. 

Terlihat Thalia yang tengah menyuapi Raffa. Keduanya tertawa bersama ketika mulut Raffa penuh dengan makanan yang disuguhkan. Sekarang gantian, Raffa menggerakkan tangannya merebut sendok dan menyuapi Thalia. 

Pemandangan itu membuat hati Nara teriris. Tak terasa air matanya menetes tanpa perintah. Matanya tidak lepas dari dua sosok itu. 

Satu hari Nara gak melihat Raffa, sekalinya nampak malah keromantisan bersama pacarnya. Perih memang. Apalah daya perasaan ini gak bisa ia kendalikan. 

"Jadi gitu, Nar."

Erika menyadari bahwa Nara sedari tadi tidak memperhatikannya. Ia mengikuti ke mana arah pandangan Nara. Kemudian, tangannya terangkat menyapu air mata Nara. 

"Udah gak perlu ada yang disedihin."

"Gue udah usaha tau. Gue juga gak mau suka sama Raffa karena tahu ini pasti nyakitin. Tapi hati gue yang milih sendiri." Oceh Nara tanpa sadar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. 

Erika mengelus pundak Nara. "Iya gue paham."

Beberapa saat kemudian, makanan datang. Erika membujuk Nara untuk makan. 

"Ini kan bakso kesukaan lo. Makanlah kan udah pesen."

Erika memang sahabat yang baik. Nara sangat beruntung bertemu dengannya. Sangat bersyukur. Akhirnya, Nara memakan bakso itu. Tidak pedas, karena dia tidak suka. Berbeda dengan Erika yang penggemar pedas. 

"Dorr!"

Sedang asyik makan, tiba-tiba Nara dan Erika dikejutkan oleh kedatangan Geovan. 

Bahkan Erika sampai tersedak dibuatnya. Nara panik dan segera memberikannya minuman. 

"Uhuk uhuk!"

"Eh, kak Erika. Sorry..." Ucapnya sambil menaruh mangkok mie ayam. Ia duduk berhadapan dengan kedua cewek itu. 

Makanya jangan ngagetin." Nara bersuara. 

"Iya iya maaf."

"Untung lagi makan. Kalo enggak udah gue tinju lo." Erika mengancam, lantas dia lanjut makan. 

"Buset galak-galak amat, sih. Gue mau temenan sama kalian. Jangan pada galak, dong."

Nara sudah selesai makan. Dia minum air hangat yang dipesannya. "Ya makanya kalo gak mau digalakin jangan ngeselin! Ya adek.. "

Geovan mengangkat bahunya acuh. Dia melanjutkan makan mie dengan santai. 

"Lo abis nangis, kak?" Telunjuknya mengarah ke Nara. 

Tangan Nara mengibas-ngibas di udara seraya membersihkan ingusnya yang meler. "Enggak! Gue pilek."

"Dia sakit kemarin lusa main hujan-hujanan." Sahut Erika. 

"Oh my god! Kak Dendiiii!"

"Ganteng banget Kak Bintang."

"Rizkiii i love you so much."

Sorak-sorak adik kelas yang paling heboh terdengar seisi kantin. Mengganggu acara makan Nara dan Erika. 

"Apaan sih adik kelas yang baru masuk, alay banget. Kayak gak pernah liat cowok aja." Gerutu Erika tak suka. 

Nara mematung menyadari siapa yang baru saja membuat kehebohan. Itu adalah ketiga teman Raffa kemarin di kedai. Sejujurnya, Nara hafal wajah-wajah mereka tapi tidak dengan namanya. 

Diam-diam kemarin Nara ngestalking mereka berempat, termasuk Raffa. Fakta yang ia ketahui ; mereka bersahabat dan sama-sama masuk di klub basket sejak kelas satu. 

Ketiga dari mereka sungguh bucin. Bintang punya pacar namanya Salma, Rizki punya pacar namanya Veni, Raffa gak usah ditanya. Dendi? Nara tidak tahu, isi instagramnya dipenuhi video game. Kalau soal stalking, Nara jagonya. 

Semakin dia kepo lebih dalam, semakin Nara merasa tidak ada apa-apanya dibanding circle Raffa. 

"Kak Nara, lo suka kodok zuma gak?"

"Hah?" Lamunan Nara harus terbuyar ketika pertanyaan random Geo ditujukan padanya. 

Erika dan Geo tertawa bersama melihat ekspresi cengonya Nara. 

"Lagian lo bengong mulu, sih. Hahaha."

Nara tertawa canggung sambil minta maaf. Ia sadar akhir-akhir ini sering melamun.

Percakapan mereka semakin seru. Geo sering melontarkan lelucon garing yang bikin Erika dan Nara ingin meninjunya. Sampai Nara tertawa terbahak-bahak hingga ingusnya keluar tanpa sengaja. Lantas mereka bertiga tertawa bersama menyaksikan itu. 

#

Sepulang sekolah, Nara ingin membantu mamanya mengemas barang. Tapi perempuan paruh baya itu melarangnya dengan alasan Nara harus istirahat karena masih terlihat lemas. Ah iya, pulang tadi Nara dijemput papanya jadi tak payah menunggu lama. 

Habis shalat ashar, Nara mengerjakan PR catatan sejarah. Alasannya, dia malas kalau harus menunda. Rasanya kurang bebas saja. 

Nara juga video call-an dengan Erika, membahas tentang lagu. Finalnya, Nara memilih lagu Love Story dari Tailor Swift. Dan Erika memilih lagu At My Worst dari Pink Sweets. 

Rencananya besok istirahat kedua, mereka ingin latihan di ruang ekskul musik. Meminjam piano dan gitar di sana. Ah iya, Erika akan bermain gitar nantinya. 

Hari berganti malam. Sang Surya bergantian dengan bulan demi menghiasi langit. 

Malamnya sehabis maghrib, Nara minta izin ke Papa Mamanya ke minimarket dekat rumah mereka untuk membeli susu full cream. Bisa dibilang Nara itu maniak susu. Stok susu di kulkasnya sudah habis. Dia tidak mungkin diam saja. Setelah membujuk Kiki-Mamanya, Nara akhirnya diberi izin. 

Cewek itu keluar memakai hoodie hitam yang menutupi sampai kepala, celana training warna hitam dengan dua garis putih, serta sendal jepit kebanggaannya. 

Jalan menuju ke minmarket tersebut gak terlalu jauh. Letaknya di pinggir jalan raya. Nara harus melewati tiga gang untuk ke sana. Omong-omong, Nara tinggal di gang yang padat penduduk. Banyak bocah-bocahnya ketimbang remaja seperti Nara. 

Sampai di sana, Nara mengambil dua kotak susu berukuran sedang. Lalu langsung pulang ke rumahnya sesuai amanah Tata. 

Sambil bersenandung kecil, Nara berjalan sambil memeluk kotak susu. Namun, ketika melewati tempat yang sepi dekat minimarket, Nara mendengar suara berisik. Ia penasaran. Kakinya mendekat,  mengintip lewat tembok besar yang menghalangi. 

Tampak seorang cewek berpakaian baju tidur sedang diganggu oleh dua orang cowok yang bisa ditebak adalah preman, penampilan keduanya yang sangat nyentrik disertai tato. 

Amarah Nara membuncah saat salah satu dari mereka mencoba memegang tangan cewek itu. Dan yang satunya lagi mengelus rambut si cewek. 

Dia tidak bisa tinggal diam. Dengan segala keberanian yang ada, Nara menghampiri mereka. Susu kotaknya ia sembunyikan di sana. 

"WOI, CUPU!"

Ketiga orang itu melihat ke sumber suara. Cewek yang diganggu itu cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh Nara. 

Dua preman tersebut menertawakan Nara. "Hahaha. Haduh dek ngapain sih sok ngebentak gitu? Mau abang godain juga?" 

Tangan Nara dipegang, segera dia hempaskan. 

Kaki Nara melayang di pipi preman yang berkumis, membuatnya kaget dengan apa yang dilakukan Nara. 

Gesture Nara bersiap meninju, kedua tangannya dia kepalkan. "Berani kok sama cewek. Cih, dasar cemen!"

Preman berambut pirang maju duluan. Ditariknya rambut Nara dengan kuat, wajah Nara mendongak ke atas. "Jangan sok jagoan deh lu." Ucapnya. 

Nara gak tinggal diam. Sikunya meninju perut si preman berambut pirang. Hingga dia kesakitan memegang perutnya. 

"Akh! Cewek sialan!"

Preman berkumis maju menarik kerah hoodie milik Nara, lalu menampar pipi Nara dengan tenaganya. Nara kesakitan. Seperti kesetanan, wajahnya kini memerah menahan amarah. 

Nara maju dan baku hantam dengan dua preman tersebut. Karena mereka dua orang, tubuhnya juga lebih besar, akhirnya Nara kalah. Pipinya ditampar dua kali. Kakinya juga terkilir kena tendangan si preman. Sekarang, Nara tersungkur. Ia meringis, lututnya lecet terkena batu jalanan. 

"Mampus kalah kan lo!"

"Makanya jangan sok jago!"

Si cewek yang diganggu kembali ditarik oleh dua preman. 

"Bangsat, lo ya!"

Tiba-tiba seorang cowok datang menghajar dua preman itu habis-habisan. Tenaganya sangat kuat. 

Nara melotot menyadari siapa orang itu. Otaknya mendadak sulit mencerna ini semua. Bagaimana bisa Raffa ada di sini? Entah dari mana datangnya anak itu. 

"Kamu gak papa dek?" Tanya cewek yang diganggu tadi. Dia berlutut di hadapan Nara. "Ya ampun, bibir kamu."

Gelengen pelan Nara berikan sebagai jawaban. "Mbak gak papa? Cepetan kabur, mbak. Udah ada aku sama dia yang ngatasin. Mbak aman sekarang." 

"Iya makasih banyak ya, dek. Titip makasih juga sama temennya ya." 

"Sama-sama. Pulang terus mbak. Lain kali hati-hati."

"Iya. Mbak pulang ya." Perintah Nara dituruti cewek itu, dia pergi sambil menangis. 

Nara masih terduduk di bawah. Ia melihat dua preman itu lari terbirit-birit sehabis dihajar Raffa. 

"Lu gak papa?" Tanya Raffa panik. Ia berlari mendekati Nara dan memeriksa lukanya. 

Mata Nara membola menyaksikan darah mengalir dari tangan Raffa. Sepertinya itu luka kena benda tajam. Juga sudut pipinya yang lebam kebiruan.

"Heh lu ditampar kan? Ini sudut bibir lu berdarah." 

Ditanya begitu, Nara malah menangis. Tangan gemetarnya memegang lengan Raffa yang berdarah. Ia tidak sanggup, ini semua karenanya. 

"Kok nangis? Nara. Pasti sakit kan luka lo." Raffa memegang bahu Nara. "Mana lagi yang sakit?" Cowok itu semakin panik sebab Nara tidak menjawab, tetapi menangis. 

Raffa membantu Nara berdiri. 

"Pasti sakit kan, Raff. Sini gue obatin. Lo juga ngapain nolongin, sih. Kan jadi ikutan luka." Air mata memenuhi pipi Nara. Tidak seharusnya Raffa datang. Lihat? Lukanya bahkan lebih parah tapi laki-laki itu sibuk menanyai keadaan dirinya. 

Tidak mau banyak bicara lagi, Raffa membantu Nara yang kakinya sakit itu berjalan keluar gang. Membawanya duduk di kursi dekat minimarket, tempat dimana motornya masih terparkir. 

"Eh susu yang gue beli di sana."

"Susu?"

Akhirnya, Raffa membantu Nara berjalan mengambil dua kotak susu yang diletakannya di atas tanah. 

Nara membuka hoodie miliknya lalu melilitkannya di tangan Raffa yang berdarah karena luka sayatan.

"Nara, lo pake kaos doang ini dingin hei!"

"Diem, gak!"

"Ayo, pulang. Gua antar lu." Ajak Raffa sambil bangkit berdiri. Dia kelihatan baik-baik saja. Hoodie tebal Nara terikat asal di lengannya. 

Nara menatap Raffa lamat-lamat. "Gak usah gue bisa pulang sendiri." Tolaknya. 

"Ck. Jangan keras kepala. Ayo buruan gua antar. Gua tau rumah lu di sekitar sini, kan?"

Nara berdiri, lalu mengekori Raffa menuju motornya. Dia gak mau diantar, takut ada anak sekolah mereka yang melihatnya dan jadi gosip. "Pulang sana. Gue bisa sendiri."

"Nara, please. Jalan lo aja pincang gitu."

Gelengen pelan Nara berikan. "Gue takut ada yang salah paham."

Hembusan napas jengah Raffa terdengar. Cewek di depannya ini terlalu banyak basa-basi. Tanpa mau mendengar lagi, Raffa menuntun Nara untuk naik ke motornya. 

Setelah perdebatan cukup lama, Nara pun mau diantar. Ia harap papa dan mamanya tidak salah paham nanti. 

Motor hitam itu berjalan memasuki gang rumah Nara yang lumayan ramai anak kecil. Mereka berhenti di depan pagar rumah  bercat biru. Rumah Nara. 

Nara turun dari motor dibantu Raffa. Nara gak paham, Raffa sama sekali tidak meringis padahal lukanya lebih parah. Hoodie hitam Nara menutupi luka itu. 

"Ya ampun, Nara. Kamu kenapa, Nak? Mama tungguin loh dari tadi kok gak pulang-pulang padahal cuma beli susu doang katanya." Ceriwis Kiki sampai tak menyadari keberadaan  Raffa di sana. 

"Panjang ceritanya, Ma." Nara berjalan dibantu Raffa. 

"Loh ini siapa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status