Share

Tiga

Author: Cubby
last update Last Updated: 2025-09-29 22:41:23

Quensa menatap dingin ke arah Galen, kedua bola matanya tersirat kebingungan yang sulit ia jelaskan. Galen terkekeh, "Aku hanya bercanda, kamu serius sekali," lanjutnya mencairkan suasana yang terlihat tegang.

"Enggak lucu," balas Quensa dengan nada semakin dingin. "Ya harusnya itu sangat lucu, aku hanya berpikir secara logika. Karena teman-teman kita heboh memuja Aksa yang memang terlihat sangat tampan. Bagi aku sebagai laki-laki pun sependapat, itu memang faktanya," ujar Galen menjelaskan.

Quensa tak merespon pembahasan mengenai Aksa dan dia tidak tertarik sedikit pun,"Aku pamit ke kamar mandi dulu, kalau ingin berdansa, Vanya masih nganggur," bisik Quensa sambil tersenyum kecil untuk menghindari pembicaraan itu, lalu disambut tawa oleh Galen. 

"Hati-hati kalau ada sesuatu sebut nama Galen tiga kali."Seloroh pria berwajah manis itu sambil tertawa.

"Setelah itu?"tanya Quensa menatap dengan tatapan datar.

"Enggak ada apa-apa, akan jauh lebih baik hubungi lewat ponsel saja yang jauh lebih canggih."kekeh  Galen sambil mengedipkan mata.

"Itu modusa...."balas Quensa sengit.

Quensa berjalan menuju kamar mandi, lalu duduk di atas closet karena kakinya terasa pegal. Bagian tubuhnya yang masih terasa sakit akibat malam yang panas bersama Aksa masih menyisakan rasa nyeri meskipun sudah satu minggu berlalu. Namun, kenangan itu tetap membekas dalam hatinya.

Brukkk! Pintu kamar mandi terbanting terbuka, memperlihatkan sosok pria tampan dengan rahang mengeras, urat leher yang menonjol bak tali yang siap putus—Aksara Emiliano Addison. Hadirnya dia ibarat petir yang menyambar tiba-tiba, membuat kedua mata Queensa membulat sempurna, penuh ketakutan dan keterkejutan. Sosok yang selama ini dihindarinya kini berdiri begitu dekat, seperti bayangan mengerikan yang tak bisa lagi ia elakkan. 

Ctrek! Aksa mengunci pintu kamar mandi dengan suara menggema, lalu kaki-kaki penjaganya menghampiri Queensa yang duduk terpaku, nyaris beku dalam ketakutan. Aksara sedikit membungkuk, satu tangannya menggenggam rambut Queensa dengan kasar, memaksa wajah cantik itu terangkat ke arahnya. “Kau ini bukan cuma jalang pengkhianat, tapi juga pembual licik, Hem?” suara Aksa menggeram, penuh kemarahan yang membara.

 “Aku... aku hanya memenuhi undangan Mona. Dia memohon, menangis minta aku datang...” Quensa berusaha menjelaskan, suaranya bergetar lemah. 

 Plak! Tamparan keras menghantam pipi mulusnya, nyeri menyusup hingga ke tulang. “Jalang pengkhianat sepertimu memang sulit dipercaya. Kau benar-benar wanita ular yang penuh racun. Apa niatmu sebenarnya? Menggagalkan tunanganku? Atau kau sudah mencoba tapi gagal?” Aksa menyindir dengan senyum menyeramkan, seperti iblis yang baru saja mencium bau darah. 

 Quensa hanya tersenyum tipis, dingin namun penuh tantangan, “Untuk apa aku melakukan itu?” Suaranya rendah, seperti duri yang menusuk tanpa perlu kata-kata lain. Ketegangan memenuhi ruangan, udara seolah membeku di antara mereka, sebuah pertarungan tanpa kata yang lebih menggigit dari pedang terasah.

“Jelas kamu ingin menghancurkan hubunganku! Dan memang, jalang sepertimu berhasil membuat segalanya berantakan!” Aksa menghina, suaranya dingin dan menusuk. Ia sengaja menjeda ucapannya, menunggu reaksi Quensa. “Tapi ingat, itu cuma mimpi kosong untuk wanita jalang sepertimu.” Ucapan itu keluar dengan tajam bak pisau yang disayatkan perlahan di kulitnya.

Brukk! Aksa melepaskan genggaman tangannya dari rambut Quensa dengan kasar. Kepala gadis cantik itu terpental, membentur dinding hingga membuatnya meringis menahan sakit. “Pergi! Cepat tinggalkan pestaku!” Bentaknya, jari-jemarinya menunjuk ke pintu seolah mengusir makhluk yang paling dibencinya. “Jalang sepertimu tak pantas berada di sini.” 

 Quensa menghela napas dalam, matanya berkaca-kaca menahan perih yang mengalir jauh ke lubuk hati. Diam-diam ia merapalkan tekad, lalu berdiri tanpa sepatah kata. Langkah kakinya melewati keramaian, meninggalkan pesta tunangan sahabatnya dengan beban luka yang menggunung. 

 Malam itu semakin meriah, tawa dan musik menggema memenuhi ruangan. Namun di sudut sana, Aksa berdiri kaku, menatap tunangannya yang masih asyik menari bersama teman-teman. Bukannya lega setelah kepergian Quensa, malah wajahnya berubah murung, dingin, seolah badai kegelisahan menyesaki setiap sudut hatinya yang tak mampu diungkapkan. Dunia sekitarnya penuh pesta, tapi di dalam dirinya, malam itu terasa semakin kelam dan sepi.

“Ini acara bahagia, bukan waktu untuk tenggelam dalam duka,” seloroh Bara, mencoba meringankan suasana di hadapan sahabatnya, Aksa. 

Namun, Aksa tak menanggapi. Dengan langkah berat, dia menyelinap menjauh dari hiruk-pikuk pesta tunangan, menuju balkon yang dingin. Di sana, dia mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya dengan gemetar. Asap putih mengepul pelan, menari di udara malam yang terasa hampa, menciptakan tirai samar antara dirinya dan dunia. Aksa menatap kosong ke kejauhan, membiarkan bayangan Quensa—sahabat kekasihnya Mona—menghantui pikirannya.

 Tangan kekar itu mencengkeram pembatas balkon dengan kekuatan yang hampir membuat tulangnya terasa remuk. Rasa benci membara di dadanya, semakin liar saat dia mengingat betapa liciknya Quensa datang ke pesta tunangannya dengan wajah polos tanpa dosa, pura-pura tak tahu malu telah mengkhianati Mona, wanita yang sangat dia cintai. Hatinya terasa tertusuk, tapi ia tak ingin menunjukkan kelemahan itu di hadapan siapa pun. Di balik asap rokok yang terus mengepul, Aksa berjanji dalam diam: dia akan menuntaskan semua pengkhianatan ini—entah bagaimana caranya.

"Aku menangkap bayang kelam di matamu, Aks. Ada apa sebenarnya?" Galen menyusul berdiri di samping sahabatnya, tangannya meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang dengan santai. 

"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Apa kau gila?" Aksa menjawab dengan asap mengepul di bibirnya, nada tajam dan dingin. Galen menatap wajah kusam itu, lalu mencoba mengusik, "Aku cuma melihat ekspresimu. Kau biasa kayak kanebo, kaku dan hambar. Tapi ini, bro... Ini hari bahagiamu! Tunjukkan sedikit saja tanda bahagia, jangan seperti mayat hidup." Dengan gerakan dramatis, Galen menirukan ekspresi ceria, "Seperti ini, misalnya..." 

 Aksa mencibir tajam, "Itu bukan bahagia, tapi ekspresi orang gila." Galen tertawa renyah, "Kau saja yang gila, Aks, aku malah jadi penasaran. Gimana ekspresimu saat bersatu di ranjang dengan Mona? Apa kau juga akan tetap datar kayak kanebo itu?" Tawa Galen pecah, membayangkan sahabatnya yang dingin itu melakukan penyatuan dengan Mona tanpa sedikit pun gairah yang terlihat. 

Namun di balik candaan itu, ada kekhawatiran yang menyesak dada. Aksa yang diam, mungkin bukan hanya lelah, tapi tersesat dalam labirin perasaannya sendiri.

Aksa terdiam, tatapannya kosong menatap ke depan, namun pikirannya malah tenggelam dalam gelora malam yang baru beberapa hari  ia lewati bersama Quensa. Bayangan panas mereka berdua, detik demi detik yang mengguncang setiap serat jiwa, menari liar di benaknya tanpa ampun. Di hatinya, Aksa menepis segala tuduhan Galen yang mengira ekspresinya datar—sebaliknya, dia tahu betul bahwa wajahnya bersemu liar, penuh kerinduan dan kegelisahan seperti orang yang tengah terhanyut dalam api gairah. 

 “Hei, kenapa melamun? Jangan bilang habis ini kamu mau cek in lagi?” canda Galen sambil menepuk bahu Aksa, suara sarkasme meledek di tengah hingar pesta. 

 Aksa tersentak, membalas dengan suara serak, “Otakmu itu kotor sekali!” Ia melempar puntung rokoknya ke wajah Galen, lalu menghela napas panjang, berusaha meredam badai perasaannya. Dengan langkah berat, ia kembali ke tengah pesta, menyembunyikan gelora hatinya di balik senyum tipis yang tak pernah benar-benar sampai ke matanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MY TOXIC Husband    Dua belas

    Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan

  • MY TOXIC Husband    Sebelas

    Sudah berhari-hari Mila dihantui rasa penasaran yang menggigit, menyaksikan sikap Quensa yang berubah drastis tanpa alasan jelas. “Mon, kamu pernah lihat Quensa nggak?” suaranya bergetar, penuh kerisauan. Mona cuma mengangkat bahu sambil menggerutu, “Iya, tapi dia udah kayak hilang dari dunia kita. Gak pernah gabung, gak aktif sama sekali.” “Hah, lama banget dia nggak masuk kampus. Jangan-jangan... sakit?” Mila menggigit bibirnya, kecemasan merayap di setiap sudut hatinya. Sementara itu, Aksara sendiri tenggelam dalam perenungan tanpa suara. Kenapa Quensa menghilang sejak malam itu? Malam penyatuan yang membekas seperti luka tak terlihat. Dia sudah tak lagi pulang ke kontrakan, memilih singgah di apartemen Mona, atau kadang menginap di tempat Galen dan Bara, seolah menghindar dari sesuatu yang tak terkatakan. “Sayang, nanti kamu nginep lagi, kan?” tanya Mona dengan nada manja, mencoba mencuri perhatian. Aksara menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kerisauan yang sama

  • MY TOXIC Husband    Sepuluh

    "Astaga, kalian ini nggak tahu malu sekali!" seru Mila tajam, matanya menyorot dua pasangan yang tengah asyik berciuman tanpa peduli sekeliling. Bara melangkah maju, senyumnya sinis, "Aksara, sekarang makin panas, ya? Suhunya melejit!" Mona tercekat, wajahnya membara merah padam—ketahuan oleh sahabatnya jelas membuat hatinya berdegup tak karuan. Aksara hanya berdehem canggung, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang merambat seperti api. Mila mengalihkan pandangan, matanya sibuk mencari sosok yang ia inginkan. "Mon, kamu lihat Quensa nggak?""Dia tadi di sini. Aduh, ini semua gara-gara kamu sayang, jadi dia pergi, kan?" suara Mona bergetar penuh kecewa, menyalahkan kekasihnya tanpa sanggah. Aksara menatap jam tangannya, lalu menatap Mona dengan tatapan penuh kasih sayang. "Aku harus rapat dulu, sayang. Nanti pulang kita bareng, oke?" bisiknya lembut sembari mengecup kening Mona dengan penuh perhatian. Mona menatapnya tajam, lalu melontarkan canda bercampur peringatan, "Iya,

  • MY TOXIC Husband    Sembilan

    Aksara yang setengah mabuk merangkak mendekat, matanya yang gelap menusuk seperti ingin merobek jiwa Quensa hingga hancur berkeping. “Coba ulangi, wanita jalang!” geramnya, tangan kasar itu mencengkram dagu Quensa dengan kekuatan yang membuatnya hampir terseret. “Sa...sakit, Aksa...” desis Quensa sambil menahan nyeri, wajahnya berkerut kesakitan. “Coba…” Aksara mendesak dengan nada mengancam, suara geramnya menggema di kamar sempit itu. “M-maafkan aku...” Quensa terbata-bata, suaranya pecah oleh derai luka dan takut yang menyayat hati. Namun sebelum kata itu habis, dia segera memotong, suaranya tegas dan bergetar, “Menyingkirlah!” Dengan napas tersengal dan mata tajam, Aksara melepas cengkramannya. Quensa tak mau lama-lama dalam api neraka itu, dia cepat-cepat keluar dari kamar. Kontrakan mungil itu hanya menyisakan ruang sempit antara kamar dan dapur kecil yang tak lagi ramah seperti dulu. Setelah pernikahan yang diserbu amarah orang tua mereka, segala fasilitas dipangkas ha

  • MY TOXIC Husband    Delapan

    Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!" Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisi

  • MY TOXIC Husband    Tujuh

    "Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar.Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka.Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino."Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan."Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab.""Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar."Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut.Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi."Aksa....?""Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam.Quensa terpaku dengan ucapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status