Semenjak pesta pertunangan Aksara dan Mona, hidup Quensa berubah drastis—seolah langit runtuh di kepalanya. Ancaman dari Aksa seperti bayang-bayang gelap yang mengurungnya, memaksanya menjauh dari sahabat-sahabatnya. Tak lagi ada tawa riang saat hangout, tak lagi ada langkah ringan menuju rumah Mona dan Mila. Janji yang diucapkannya pada Aksa terpatri keras dalam hati: tak akan menemui Mona lagi. Tapi bukan cuma itu. Quensa tenggelam dalam kesibukan yang menyesakkan, berjuang sendiri mengurusi perpindahan ke Australia demi kuliah yang sudah lama ia impikan.
Berkas-berkas menumpuk, formulir pendaftaran berbaris rapi menanti tangan lelahnya menyelesaikan, sementara paspor yang ia butuhkan tak kunjung selesai. Bulan berlalu, dan Quensa tetap sendirian, berjuang dalam sunyinya tanpa satu pun tangan yang mengulurkan bantuan. Dunia seolah menutup pintu, meninggalkannya terperangkap dalam kesendirian yang semakin menyesakkan dada. Quensa sudah terbiasa mengandalkan diri sendiri sejak perceraian orang tuanya beberapa tahun lalu. Ayahnya tenggelam dalam dunia kerja dan kenikmatan sesaat dengan wanita lain, tak pernah punya waktu untuknya. Sementara ibunya, seperti menguap entah ke mana, meninggalkan Quensa dengan hati penuh tanda tanya dan rasa pengkhianatan. Luka itu membekas dalam jiwa Quensa, hingga akhirnya ia merancang sebuah rencana gila: menjebak Aksara demi mendapatkan sebersit kehangatan, sebuah benih persahabatan yang bisa menemaninya di masa depan. Dia memilih untuk menutup pintu hatinya rapat-rapat, takut terluka lagi, takut pada janji yang mudah hancur seperti kisah orang tuanya. "Huekkk… huekkk…" Quensa terbatuk hebat, muntah tanpa henti sejak pagi. Kepalanya berdenyut tajam, tubuhnya lemas tak bertenaga. Dengan suara parau, ia menggumam, "Tuhan, kenapa aku harus begini? Minggu depan aku harus terbang untuk ke Australia, tapi tubuhku malah melemah seperti ini..." Wajahnya yang biasanya cerah kini berubah kusam, penuh keputusasaan yang menggigit hati. Dunia seolah menolak memberinya jalan mudah, tepat saat harapan besar hendak ia genggam. Quensa terhuyung kembali ke ranjang, tubuhnya lemas terserang muntah hebat. Matanya melekat pada jam dinding, detik-detik yang berlalu seolah mengejeknya. "Aduh, sebentar lagi aku harus ambil paspor," gerutunya tergesa-gesa, buru-buru menuruni ranjang, hatinya berkecamuk penuh kegelisahan. Dia menyiapkan diri secepat kilat, takut waktu terus merampas peluangnya. Setelah urusan paspor, mobilnya melaju menembus keremangan hingga berhenti di depan rumah sakit. Kekhawatiran mendera; asam lambung yang terus mengguncang bisa menjadi batu sandungan bagi perjalanan panjang ke Australia nanti. Kini, di ruang pemeriksaan yang hening, dokter itu menatapnya dengan senyum tulus yang tak biasa. “Selamat, Anda akan menjadi ibu,” kata dokter dengan suara hangat namun berat menyimpan kabar yang menggetarkan. Quensa terdiam, pandangannya kosong dan bibirnya bergetar, “Maksud dokter...?” Dokter itu merendah, “Anda hamil. Tapi di trimester pertama ini, kandungan sangat rapuh. Jaga diri Anda baik-baik—jangan beraktivitas berlebihan, demi nyawa kecil yang sedang tumbuh di dalam Anda.” Kata-kata itu mengalir seperti aliran sungai tenang, tapi dalam hati Quensa badai mulai menggulung tak terbendung. "Hamil...?" Bisik Quensa tercekat, tubuhnya seketika membeku seolah waktu berhenti. Jantungnya berdenyut nyeri, campur aduk antara kebahagiaan dan ketakutan yang menghimpit dada. Dulu dia begitu menggebu, rela melakukan hal bodoh—menjebak Aksa, pacar sahabatnya—hanya demi satu tujuan: punya anak. Tapi kini, setelah dokter memastikan dirinya benar-benar hamil, perasaan itu berubah menjadi badai yang tak bisa dia kendalikan. Quensa melajukan mobilnya melewati roda empatnya dengan jiwa yang gelisah. Matanya berkaca-kaca, namun dia tak tahu apakah air itu berasal dari bahagia yang terpendam atau kesedihan yang menyelimuti. Terik mentari membuat udara semakin panas, sementara perutnya mencekam dengan rasa lapar setelah pagi tanpa makan karena morning sickness yang terus menggerogoti. Akhirnya, ia memarkirkan mobil di sebuah kafe yang ramai, berharap sedikit kenyamanan di tengah kekacauan pikirannya. Duduk sambil memandangi menu, pikirannya melayang jauh. Tak lama kemudian, pesanan datang dan tanpa sadar, Quensa melahapnya dengan cepat. Rasa mual memang masih mengintai, namun perlahan-lahan terbuang oleh kenyang yang datang. “Sa... Beb, kamu kemana aja?” Teriak Mona dari kejauhan, suaranya memecah kesunyian pikiran Quensa, membawanya kembali pada kenyataan. "Ha-hai...."balasnya singkat dan terlihat canggung karena kehadiran pria yang menatapnya dengan tatapan mematikan berdiri tegap di samping Mona sahabatnya. "Are you still alive?"Seloroh Mila langsung duduk di samping Quensa. "Kelihatan nya?"balas Quensa kesal. "I'm sorry just kedding baby."ucap Mila segera memeluk sahabatnya. Mona, Aksa, dan Galen ikut duduk di meja itu, sementara Quensa tampak canggung di antara mereka. “Kamu tapa di gunung mana, My Queen?” Mona menyapa dengan nada bercanda yang menggoda. Mila ikut menimpali dengan senyum nakal, “Di gunung Kelud, beb? Atau di kawah Ijen seperti kamu bilang, biar ilmu santetmu makin dalam?” Quensa mengunyah makanan dengan santai, lalu menjawab, “Iya, biar bisa nyantet perempuan-perempuan yang berani mendekati Kim Tae-hyung-ku.” Suaranya penuh tantangan, meski mulutnya masih penuh makanan. Galen merunduk pelan ke arah Aksa, bisikannya dingin tapi penuh rasa kagum terselubung, “Lucu, imut, cantik... Tapi aku malah jadi ngiler lihat nasi dan ayam itu di mulutnya.rasanya aku ingin menjadi mereka.” Aksa menatap Quensa dengan mata tajam, wajahnya membeku seperti es di puncak gunung. Di dalam hati, ia merasakan gelombang emosi yang aneh—sebagian terhibur, tapi segera tenggelam oleh amarah mendalam. Apalagi saat nama laki-laki asing itu keluar dari mulut Quensa. Mona tiba-tiba menatap Quensa dengan ekspresi penuh dramatis, suaranya berat dan penuh sindiran, “Jadi, kamu tega juga bakal nyantet aku, ya?” Ruangan seketika hening, ketegangan menggantung di udara seperti badai yang siap menerjang. "Lebih dari itu...” Aksa menyambar kata dengan nada yang menusuk, tajam dan dingin seperti pisau. Wajahnya berubah menjadi sosok yang mengerikan, matanya menatap sinis tanpa ampun. “Beby...” Mona mencoba meredam suasana dengan suara lembut penuh kekhawatiran, tapi Aksa seperti tenggelam dalam badai kemarahan yang tak terkendali. Tiba-tiba, Quensa menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar lemah. “Aku... aku ke kamar mandi dulu,” ucapnya terbata-bata sambil berlalu tergesa-gesa. Di dalam kamar mandi, Quensa terjatuh di lantai dingin, mulutnya tak henti memuntahkan isi perut yang terus meronta dalam penderitaan. Ia bersandar lemas, darah dan air mata seperti mengalir bersamaan. “Sayang... jangan begini, Mommy ingin kamu tumbuh kuat dan sehat,” bisiknya dengan suara bergetar, tangan kecilnya mengelus perutnya yang masih datar dan rapuh. Tiba-tiba, Brrrrakkk!! Pintu kamar mandi terbanting keras, membuat udara seolah membeku sejenak. Quensa menjerit kaget, merapatkan tubuhnya sambil menjauhkan tangan dari perutnya. “Apa kau bosan hidup, Hem?” suara Aksa memecah keheningan, penuh dendam dan ancaman yang mengerikan. Di balik kata-kata itu tersembunyi kekelaman yang membuat jiwa Quensa seakan tercecer di antara gelap dan terang, antara harapan yang rapuh dan ketakutan yang menguasai seluruh ruang hatinya.Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan
Sudah berhari-hari Mila dihantui rasa penasaran yang menggigit, menyaksikan sikap Quensa yang berubah drastis tanpa alasan jelas. “Mon, kamu pernah lihat Quensa nggak?” suaranya bergetar, penuh kerisauan. Mona cuma mengangkat bahu sambil menggerutu, “Iya, tapi dia udah kayak hilang dari dunia kita. Gak pernah gabung, gak aktif sama sekali.” “Hah, lama banget dia nggak masuk kampus. Jangan-jangan... sakit?” Mila menggigit bibirnya, kecemasan merayap di setiap sudut hatinya. Sementara itu, Aksara sendiri tenggelam dalam perenungan tanpa suara. Kenapa Quensa menghilang sejak malam itu? Malam penyatuan yang membekas seperti luka tak terlihat. Dia sudah tak lagi pulang ke kontrakan, memilih singgah di apartemen Mona, atau kadang menginap di tempat Galen dan Bara, seolah menghindar dari sesuatu yang tak terkatakan. “Sayang, nanti kamu nginep lagi, kan?” tanya Mona dengan nada manja, mencoba mencuri perhatian. Aksara menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kerisauan yang sama
"Astaga, kalian ini nggak tahu malu sekali!" seru Mila tajam, matanya menyorot dua pasangan yang tengah asyik berciuman tanpa peduli sekeliling. Bara melangkah maju, senyumnya sinis, "Aksara, sekarang makin panas, ya? Suhunya melejit!" Mona tercekat, wajahnya membara merah padam—ketahuan oleh sahabatnya jelas membuat hatinya berdegup tak karuan. Aksara hanya berdehem canggung, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang merambat seperti api. Mila mengalihkan pandangan, matanya sibuk mencari sosok yang ia inginkan. "Mon, kamu lihat Quensa nggak?""Dia tadi di sini. Aduh, ini semua gara-gara kamu sayang, jadi dia pergi, kan?" suara Mona bergetar penuh kecewa, menyalahkan kekasihnya tanpa sanggah. Aksara menatap jam tangannya, lalu menatap Mona dengan tatapan penuh kasih sayang. "Aku harus rapat dulu, sayang. Nanti pulang kita bareng, oke?" bisiknya lembut sembari mengecup kening Mona dengan penuh perhatian. Mona menatapnya tajam, lalu melontarkan canda bercampur peringatan, "Iya,
Aksara yang setengah mabuk merangkak mendekat, matanya yang gelap menusuk seperti ingin merobek jiwa Quensa hingga hancur berkeping. “Coba ulangi, wanita jalang!” geramnya, tangan kasar itu mencengkram dagu Quensa dengan kekuatan yang membuatnya hampir terseret. “Sa...sakit, Aksa...” desis Quensa sambil menahan nyeri, wajahnya berkerut kesakitan. “Coba…” Aksara mendesak dengan nada mengancam, suara geramnya menggema di kamar sempit itu. “M-maafkan aku...” Quensa terbata-bata, suaranya pecah oleh derai luka dan takut yang menyayat hati. Namun sebelum kata itu habis, dia segera memotong, suaranya tegas dan bergetar, “Menyingkirlah!” Dengan napas tersengal dan mata tajam, Aksara melepas cengkramannya. Quensa tak mau lama-lama dalam api neraka itu, dia cepat-cepat keluar dari kamar. Kontrakan mungil itu hanya menyisakan ruang sempit antara kamar dan dapur kecil yang tak lagi ramah seperti dulu. Setelah pernikahan yang diserbu amarah orang tua mereka, segala fasilitas dipangkas ha
Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!" Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisi
"Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar.Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka.Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino."Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan."Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab.""Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar."Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut.Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi."Aksa....?""Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam.Quensa terpaku dengan ucapan