"Hello, is anyone still there?"sapa Mona dari sebrang sana.
"Yes I'm still here beb,"balas Queensa gugup atas pertanyaan dari sahabatnya Mona. "Aku tidak akan ikut, karena aku tidak enak badan beb, Have fun saja nanti di sana." "Sudah dulu aku mau minum obat."lanjut Quensa segera mematikan sambungan telepon. "I'm sorry Mona..."Gumam Quensa di iringi air mata penuh penyesalan. Quensa berjalan tertatih menuju kamar mandi, setiap langkahnya penuh luka—bukan hanya di kulit, tapi juga di hati yang hancur. Setelah membersihkan sisa malam yang membakar tubuh dan jiwanya, dia kembali ke kamar, meraih pakaian yang berserakan. Dengan lemah, dia berdiri di depan jendela, mengenakan bra-nya, mencoba mengumpulkan sisa keberanian yang tersisa. Dari sudut pintu, Aksa berdiri membeku, bayang-bayang pria tampan itu seolah menelan seluruh cahaya. Matanya terpaku pada punggung putih Quensa yang penuh lebam—monumen kelam dari kekejamannya sendiri semalam. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa yang sulit untuk ia jelaskan, tapi tekad yang mendorongnya kembali ke kamar itu lebih kuat daripada ragu. Langkah kakinya mendekat perlahan, sampai dia berada di samping Quensa. Tanpa aba-aba, tubuh Quensa ditarik kasar, dan kedua pipinya direngkuh dengan genggaman dingin dan tajam seperti belenggu. Sebuah tangan dingin menyelipkan dua butir pil di depan mulut Quensa. “Telan—sekarang juga!” suaranya menusuk, dingin dan penuh kebencian. “Aku tak ingin benihku tumbuh di rahim jalang sepertimu!” Kata-kata itu melukai lebih dalam dari apa pun. Quensa membeku, napasnya tercekat, dan dunia di sekitarnya seakan runtuh dalam keheningan yang penuh duka dan amarah. Quensa menuruti tanpa sepatah kata, sementara Aksa dengan tergesa memasukkan air ke mulutnya, berharap obat itu segera mengalir dan menyelesaikan masalah. Namun, begitu pria tampan itu pergi meninggalkannya, Quensa segera bergegas ke kamar mandi, menahan ludah dan memuntahkan dua butir obat pahit yang selama ini ia sembunyikan di balik lidahnya tanpa sepengetahuan Aksa. "Aku tak mau harga diriku hancur sia-sia," gumam Quensa dengan suara serak tapi penuh tekad. "Benih ini harus tumbuh, menjadi hidup dan teman sejati di masa depan." Tangan kecilnya lembut mengelus perutnya yang masih rata, berharap keajaiban akan lahir dari dalam dirinya. Di sisi lain, sosok pria tampan dengan wajah dingin melangkah masuk ke mansion megah itu. Wajahnya kusut, mata yang menyala penuh amarah menatap kosong tanpa henti. Dia adalah Aksara Emiliano Addison — laki-laki yang berjuang menahan gelombang emosi liar yang menyesakkan dada. Menghiraukan sapaan para maid yang hormat menyambutnya, ia semakin mempercepat langkah menuju kamar pribadinya, seolah-olah dengan berlari akan mampu melarikan diri dari segala amarah yang menggerogoti hatinya. Tujuan Aksa hanya satu: kamar mandi. Dengan langkah tergesa, tubuh tingginya melangkah masuk, berdiri di bawah derasnya shower yang menumpahkan air dingin membasahi setiap inci kulitnya. Ia berharap, dengan siraman air itu, noda dosa yang menodai hatinya—pengkhianatan yang ia lakukan pada Mona—bisa terhapus seutuhnya. Suara lirih mengalir dari bibirnya yang gemetar, penuh penyesalan dan beban yang tak tertahankan, “Mona... Maafkan aku...” Tertatih oleh kesalahan yang dilahirkan dari malam pesta perpisahan sekolah itu, di sebuah hotel yang kini terasa bagai neraka tempat rasa bersalah membakar jiwanya. "Aku sangat mencintaimu! Ini bukan salahku..." Aksa menjerit dalam hati, satu tetes air mata luruh tanpa bisa dihentikan. Tubuhnya gemetar, tangannya kacau menggosok rambut dan dadanya sendiri dengan perasaan jijik yang menusuk jauh ke dalam. Pria tampan berwajah dingin itu—yang selama ini begitu tenggelam dalam cinta pada Mona—berubah menjadi sosok yang hancur berkeping-keping. Malam itu, sial telah mengikatnya dalam perangkap yang kejam; sahabat kekasihnya sendiri, Quensa, telah menjebaknya. Bukan kehendaknya, namun ia terperangkap dalam noda pengkhianatan yang begitu pedih. Bagaimana mungkin? Dengan Quensa—wanita yang selama ini dia anggap sekadar teman? Malam panas itu bukan hanya melukai Mona, tapi juga mencabik hatinya sendiri. "Quensa... tunggu aku," bisik Aksa, suaranya pecah oleh amarah yang membara. "Kau akan aku habisi." Rasa benci dan penyesalan menggelegak, mengisi setiap sudut kamar mandi yang sunyi itu, seolah-olah dunia pun turut meratap bersama luka yang mengoyak jiwa Aksa. °°° Quensa Vallery Tzana, melangkah anggun menyapa Mona, sahabatnya yang akan bertunangan dengan Aksara. Quensa mempesona dalam balutan gaun merah marun, diikuti oleh Mila Agnesia. Ya, Setelah lulus sekolah menengah atas keluarga Aksa dan Mona sepakat untuk mengadakan pertunangan anak-anak mereka. Kedua pasangan yang sering di juluki couple goal itu memang begitu sempurna percintaannya karena selalu di dukung oleh kedua orang mereka masing-masing. "Thanks, Quensa, sahabatku..." sapa Mona, senyumnya merekah. Sebenarnya, Quensa enggan hadir dan lebih memilih terbang ke Aussie. Namun, karena desakan dan air mata Mona yang memohon kehadirannya di acara pertunangan ini, Quensa luluh. Ia merasa bersalah karena telah mengkhianati sahabatnya, tidur dengan calon tunangannya. Quensa masa bodoh dengan perjanjiannya dengan Aksa untuk tidak muncul di hadapan pria itu lagi. Dari sudut yang tak jauh ballroom, tatapan Aksara menusuk tajam ke arah Quensa, seolah ingin membakar kulit gadis itu hingga hangus. Quensa menyadari mata itu, tapi ia memilih menutup diri, pura-pura tak peduli sambil asyik berbicara dengan sahabatnya, Mona dan Mila juga yang lain. Suara MC bergema megah, memanggil Mona untuk memulai prosesi tukar cincin yang sakral itu. Riuh tawa dan sorak sorai memenuhi ruang mewah, meluapkan kegembiraan para tamu saat cincin melingkar di jari Mona dan Aksara. "Cium... cium!" teriakan histeris para tamu pecah, seperti gelombang yang menghantam ketenangan malam itu. Mona terkulai malu, pipinya memerah seperti mawar gugur, tapi tiba-tiba Aksara merengkuh dan mengecup bibirnya dengan dingin penuh kepastian. Matanya, yang dipenuhi ejekan dan kebencian membara, sesaat menatap lurus ke arah Quensa. Namun Quensa membalas dengan senyum tipis—seperti badai yang meredup di balik awan, tak terpengaruh dan tetap tenang. “Astaga... Aksara ternyata liar juga, ya?” bisik Mila sambil terkekeh pelan, matanya berbinar gemas menyaksikan pasangan yang baru bertunangan itu bermain api di depan semua mata. Di balik senyum Quensa, ada amarah yang terkubur dalam, berjanji suatu hari nanti akan membalas tatapan dingin itu dengan sesuatu yang lebih membara. Aksa menekan bibirnya dalam-dalam ke bibir tunangannya, Mona, seolah ingin menancapkan satu fakta yang tak terbantahkan kepada Quensa: Mona adalah wanita yang paling berharga dalam hidupnya, bukan si wanita murahan dan pengkhianat itu. Namun, yang mengagetkan Aksa, Quensa tidak sekalipun menunjukkan tanda goyah atau cemburu. Sebaliknya, wajahnya malah berseri-seri, penuh kebahagiaan saat melihat sahabatnya bertunangan dengan pria yang selama ini diidamkan Mona. Aksa melepas ciumannya perlahan. Dada terasa terbakar api amarah saat matanya menangkap ekspresi tenang dan ramah Quensa. “Selamat ya, Beb. Semoga cepat menikah dan aku dapat keponakan,” suara Quensa hangat, lalu dia memeluk Mona dengan pelukan tulus yang membuat darah Aksa berdesir keras. Di samping Mona, Aksa menatap Quensa dengan tatapan tajam penuh kebencian, dalam hatinya bergema, *“Dasar wanita ular, serigala berbulu domba.”* Tapi dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Menyadari tatapan membunuh itu, Quensa melepaskan pelukannya, mundur selangkah. “Selamat, Beb. Cepat menikah, ya, dan punya anak lucu-lucu,” lanjut Mila dengan senyum penuh keyakinan, dia juga ikut merasa senang melihat sahabatnya bertunangan. "Jangan sampai anak-anak mu mirip seperti Aksa, dia itu menakutkan." Bisik Mila dengan napas tertahan, matanya penuh waspada. Suaranya nyaris tersembunyi agar tak sampai ke telinga Aksa, takut-takut pria itu tiba-tiba meledak amarah dan melayangkan tamparan ke arahnya. Mona tertawa kecil, geli mendengar peringatan sahabatnya. Tawanya yang renyah langsung menarik perhatian Aksa di sampingnya, yang menatap penuh penasaran. "Katanya, anak kita nanti bakal lucu-lucu, imut kayak kamu, Baby," goda Mona sambil melempar senyum manis. Aksa membalas dengan elusan lembut di kepala Mona, mata mereka bertemu dan seolah berkata tanpa kata. “Wah, gercep juga kamu, Aks. Keren!” puji Galen penuh semangat. “Kapan rencana kawinnya, nih?” sela Bara dengan senyum sinis. Galen tertawa terbahak, lalu tiba-tiba memegangi perutnya kesakitan saat Aksa meninju dengan tepat. “Kalau itu jangan ditanya. Mereka sudah pasti kawin duluan,” canda Galen, sambil tertawa cekikikan. Tatapan Bara melayang ke arah gadis cantik yang anggun dalam gaun merah marun itu. Senyum lebar terbentang di wajahnya, penuh kebanggaan dan keyakinan. "Aku ke sana dulu, buat pastikan ratuku tidak diganggu laki-laki lain," ujarnya dengan nada menggoda sekaligus penuh rasa memiliki. Suasana jadi hangat tapi penuh ketegangan, di balik gelak tawa itu, terpancar sebuah pertaruhan diam-diam. Aksa menangkap bisikan 'ratu' yang keluar dari mulut sahabatnya. Senyum sinis langsung merekah di bibirnya, dan amarah membakar dadanya hingga menyalakan api yang tak terpadamkan. *“Kamu buta, Bara? Dia tak pantas disebut ratu. Seharusnya kau panggil dia wanita jalang,”* bisik hati Aksa penuh kebencian, dendam mengalir dalam tiap kata yang tak terucap. Di tengah pesta pertunangan yang semakin riuh dengan alunan musik dansa, para tamu bergembira menikmati momen itu. Namun, Queensa berdiri terpaku di sudut ruangan, matanya tajam mengamati tiap pasangan yang menari dengan bahagia. Sorot pandangannya tertuju pada Mona dan Aksa, pasangan tuan rumah yang berdansa mesra, seolah dunia berhenti hanya untuk mereka. Senyum tipis menghiasi wajah Queensa, tapi ada getir yang membalur di baliknya — bahagia yang ia paksa dari kedukaan yang tersembunyi. Galen menyela keheningan itu, berdiri di samping Queensa dengan penuh perhatian. “Sa, kamu mau dansa?” tanyanya lembut. “Tidak, aku sedang tidak enak badan,” jawab Queensa datar, dingin seperti angin malam yang menusuk. Galen mengerutkan dahi, gelisah. “Sakit apa?” “Tersandung di kamar mandi,” kata Queensa, tatapannya masih terpaku pada Mona dan Aksa yang larut dalam romantisme mereka. Di balik jawaban itu, hatinya pecah berkeping-keping, terperangkap antara amarah, iri, dan kesedihan yang tak pernah ia ungkapkan. "Apa kamu sudah ke dokter?" Galen menoleh tajam ke arah Queensa, suaranya penuh kekhawatiran yang mengikat jiwa. Queensa hanya mengangguk pelan, matanya tertuju pada sosok yang sedang menari di ujung ruangan. "Iya, sudah, minggir aku ingin melihat Mila yang sedang berdansa." jawabnya lirih, tapi pandangannya tak lepas dari Mila yang melenggang anggun di tengah lampu gemerlap. Galen mengerutkan dahi, suara serak saat bertanya, "Mila apa, Aksa?" Ada beban tak te rucap yang menggantung di udara, mengaburkan tawa dan musik di sekeliling mereka.Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan
Sudah berhari-hari Mila dihantui rasa penasaran yang menggigit, menyaksikan sikap Quensa yang berubah drastis tanpa alasan jelas. “Mon, kamu pernah lihat Quensa nggak?” suaranya bergetar, penuh kerisauan. Mona cuma mengangkat bahu sambil menggerutu, “Iya, tapi dia udah kayak hilang dari dunia kita. Gak pernah gabung, gak aktif sama sekali.” “Hah, lama banget dia nggak masuk kampus. Jangan-jangan... sakit?” Mila menggigit bibirnya, kecemasan merayap di setiap sudut hatinya. Sementara itu, Aksara sendiri tenggelam dalam perenungan tanpa suara. Kenapa Quensa menghilang sejak malam itu? Malam penyatuan yang membekas seperti luka tak terlihat. Dia sudah tak lagi pulang ke kontrakan, memilih singgah di apartemen Mona, atau kadang menginap di tempat Galen dan Bara, seolah menghindar dari sesuatu yang tak terkatakan. “Sayang, nanti kamu nginep lagi, kan?” tanya Mona dengan nada manja, mencoba mencuri perhatian. Aksara menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kerisauan yang sama
"Astaga, kalian ini nggak tahu malu sekali!" seru Mila tajam, matanya menyorot dua pasangan yang tengah asyik berciuman tanpa peduli sekeliling. Bara melangkah maju, senyumnya sinis, "Aksara, sekarang makin panas, ya? Suhunya melejit!" Mona tercekat, wajahnya membara merah padam—ketahuan oleh sahabatnya jelas membuat hatinya berdegup tak karuan. Aksara hanya berdehem canggung, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang merambat seperti api. Mila mengalihkan pandangan, matanya sibuk mencari sosok yang ia inginkan. "Mon, kamu lihat Quensa nggak?""Dia tadi di sini. Aduh, ini semua gara-gara kamu sayang, jadi dia pergi, kan?" suara Mona bergetar penuh kecewa, menyalahkan kekasihnya tanpa sanggah. Aksara menatap jam tangannya, lalu menatap Mona dengan tatapan penuh kasih sayang. "Aku harus rapat dulu, sayang. Nanti pulang kita bareng, oke?" bisiknya lembut sembari mengecup kening Mona dengan penuh perhatian. Mona menatapnya tajam, lalu melontarkan canda bercampur peringatan, "Iya,
Aksara yang setengah mabuk merangkak mendekat, matanya yang gelap menusuk seperti ingin merobek jiwa Quensa hingga hancur berkeping. “Coba ulangi, wanita jalang!” geramnya, tangan kasar itu mencengkram dagu Quensa dengan kekuatan yang membuatnya hampir terseret. “Sa...sakit, Aksa...” desis Quensa sambil menahan nyeri, wajahnya berkerut kesakitan. “Coba…” Aksara mendesak dengan nada mengancam, suara geramnya menggema di kamar sempit itu. “M-maafkan aku...” Quensa terbata-bata, suaranya pecah oleh derai luka dan takut yang menyayat hati. Namun sebelum kata itu habis, dia segera memotong, suaranya tegas dan bergetar, “Menyingkirlah!” Dengan napas tersengal dan mata tajam, Aksara melepas cengkramannya. Quensa tak mau lama-lama dalam api neraka itu, dia cepat-cepat keluar dari kamar. Kontrakan mungil itu hanya menyisakan ruang sempit antara kamar dan dapur kecil yang tak lagi ramah seperti dulu. Setelah pernikahan yang diserbu amarah orang tua mereka, segala fasilitas dipangkas ha
Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!" Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisi
"Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar.Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka.Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino."Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan."Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab.""Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar."Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut.Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi."Aksa....?""Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam.Quensa terpaku dengan ucapan