Prak!
"Jadi mantu yang becus, dong! Udah jadi ibu gak beres, jadi istri juga bego, ini lagi ... Kamu mau ngeracunin aku sama Ibu, iya?!"
Aku menatap tempat makan berisi lauk yang baru mertuaku lempar di depan mataku. Ini bukan pertama kalinya ia marah-marah seperti ini. Dan kali ini, ia marah gara-gara ada potongan bawang putih yang tidak tergiling sempurna di sambal balado yang kubuat.
"Maaf, Bu. Devi gak teliti tadi," jawabku.
Sekilas, kulirik sambal balado yang berserakan di lantai. Itu pasti sudah tidak bisa dimakan lagi.
"Ah, sudahlah! Ibu udah gak berselera makan!" setelah itu, ibu mertuaku pergi begitu saja dari rumah.
Ya, kami memang tinggal terpisah, tapi jarak rumah kami tidak begitu jauh. Itulah kenapa ibu mertuaku selalu datang untuk meminta makanan, atau sekadar menyuruhku ini-itu.
Aku menghela napas, dan segera membereskan kekacauan itu sebelum Mas Yogi, suamiku, pulang kerja. Hari ini adalah hari gajian, jadi sebisa mungkin aku melayaninya dengan baik.
Pukul 6 sore, Mas Yogi pulang. Ia menghampiriku dan menyerahkan amplop cokelat. Seperti biasa.
"Dev, ini uang belanjanya, ya," ucap Mas Yogi.
"Makasih ya, Mas. Semoga lelahmu menjadi Lillah," jawabku sambil menyelipkan do'a baik untuk lelakiku. Kulihat Mas Yogi hanya mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Namun, tak lama kemudian, suara Mas Yogi kembali terdengar, "Kalo lebih ditabung ya, Dev. bisa buat dana darurat nantinya." Alisku bertaut, apa katanya tadi, lebih? Uang yang Mas Yogi beri hanya satu juta lima ratus, dan dia bilang lebih. "Ibu bilang, dia udah belanjain kamu beras dan sabun untuk satu bulan. Mba Yessi juga selalu kasih kamu sayur mayur kalo dia habis terima transferan ..." Oh! Jadi ini alasan Mas Yogi mengatakan soal uang bulanan yang lebih. Aku akhirnya memilih untuk mengiyakan saja ucapan Mas Yogi dan tak lagi mempermasalahkannya. Hingga saat Mas Yogi masuk ke kamar mandi, suara notifikasi ponsel suamiku yang berulang kali mengalihkan fokusku yang sedang menyiapkan baju tidur miliknya. (Transfer uang tunai sebesar dua juta telah berhasil) Alisku bertaut heran, aku tak pernah tahu berapa gaji Mas Yogi. Aku pun tak pernah mempertanyakannya, tapi ini ... (Terima kasih Yogi. Kamu memang adik yang baik!)(Makasih transferannya, Nak. Nanti kalau kurang, Ibu minta lagi ya.)
Semua notifikasi pop up pesan itu hanya kubaca tanpa membukanya sama sekali. Yang jelas, aku tahu jika itu dari kakak ipar. Hingga sekarang aku mulai sadar, bahwa aku hanya mendapat sisa dari uang gaji suamiku.****
"Devi, mana sarapan untukku?" "Devi, mana baju kerjaku?" "Devi, kenapa sepatuku belum disemir?" Suara teriakan Mas Yoga terdengar melengking dan menggema di seluruh penjuru rumah. Aku yang tengah memandikan Roni hanya diam tak menjawab. Hingga akhirnya fokusku teralihkan. "Devi! Apa kau tak mendengarku, hah?!" Teriakan suamiku, Mas Yogi, kembali terdengar bedanya kali ini tak cuma suaranya saja, tapi berikut dengan orangnya yang berdiri dengan tangan berkacak pinggang di depan pintu kamar mandi. Nafasnya memburu seperti seseorang yang baru saja mengikuti lari marathon. "Hufft," tak ada yang bisa ku lakukan selain menghembuskan nafas perlahan. "Laki-laki ini benar-benar, apa dia tak bisa melihat? Atau matanya sudah tak berfungsi dengan baik?" Sebuah gerutuan akhirnya meluncur dari mulutku. Namun aku terlupa jika Mas Yogi adalah seseorang yang peka pendengarannya, "Ngomong apa kamu barusan? Ngomong kok kaya orang kumur-kumur!" "Ck! Kamu ini, Mas. Kamu liat sendiri kan aku lagi apa?" ucapku sembari menatap malas laki-laki yang sudah menghalalkan aku sebelas tahun lalu. "Pergilah cari sendiri apa yang kau butuhkan, tak perlu sampai berteriak seperti di kebon binatang!" Masih dengan posisi yang sama Mas Yogi kembali bersuara, "Apa kau tak bisa menyediakan keperluan ku dulu? Baru mengurus si Roni?" "Atau, tinggalkan saja dia di kamar mandi. Toh cuma sebentar saja!" imbuhnya. Mataku seketika melotot. Enak sekali dia berkata, sedangkan jika terjadi sesuatu pada Roni, maka aku juga yang kena imbasnya. Dia mana peduli? Dasar Mas Yogi! Namun meski begitu, aku sama sekali tak berniat untuk menjawab, biarlah laki-laki itu lelah mengoceh. Ku lanjutkan saja aktifitasku menyabuni tubuh Roni, anakku. Mulai hari ini, aku akan lebih memprioritaskan kedua jagoan kecilku. Jika bukan aku, maka tak akan ada lagi yang peduli pada mereka kecuali kedua orang tuaku. "Aarrghh!" teriak Mas Yogi frustasi. Percuma, Mas! Sekeras apapun kau berteriak. Aku tetap tak memperdulikannya, meski kamu berteriak seratus kali sekalipun. Selang lima menit setelah selesai mengurus Roni, kini aku pun mulai menyiapkan apa yang sejak tadi Mas Yogi ributkan. Sebelum akhirnya.. "Devi, sarapanku mana?" Teriakan Mas Yogi kembali terdengar, hanya saja kali ini dari arah dapur. Apa dia benar-benar sedang menguji emosiku di pagi hari? "Astaghfirullah.." gumamku sembari mengelus dada. Baru saja aku membuka mulut untuk menimpali, suara Mas Yogi kembali terdengar. "Kopiku juga, kok dingin gini? Kamu bikin kopi panas atau es kopi sih sebenernya?" Lagi, suara Mas Yogi memenuhi gendang telingaku. "Apaan lagi sih!" Aku tak lagi bisa menahan kesabaran. Dengan tangan yang masih memegang sepatu dan alat semir, aku berjalan cepat, menuju ke arah dimana Mas Yogi berada. "Kamu bisa liat ga sih, aku lagi apa?" Ku sodorkan sepatu dan sikat semir ke hadapannya, matanya tampak berkilat, memancarkan kemarahan yang tak berkesudahan. "Kalo minta sesuatu itu satu-satu! Aku bukan dewa yang punya banyak tangan, tanganku cuma dua sama sepertimu!" "Sarapan udah ada di meja, tinggal kamu ambil dan taruh piring, beres!" "Kopi juga. Aku sudah membuatnya sejak tadi, tapi kamu justru sibuk dengan ponselmu itu! Jadi jangan salahkan aku jika kopi itu berubah jadi es! Masih untung jadi es, bukan jadi artefak! Karna terlalu lama kamu anggurin!" rentetan kalimat akhirnya ku layangkan, demi agar laki-laki itu berhenti berteriak. Masih dengan wajah bersungut-sungut, aku kembali bersuara, "Dan satu lagi, Mas! Bisa ga sih gak usah teriak? Ini rumah, buka hutan! Kalo kamu mau teriak-teriak begitu, sonoh tinggal di hutan aja! Ganti namamu jadi Tarzan, aku rasa itu lebih cocok untukmu!" Mas Yogi hanya diam membisu, namun dari ekspresi wajahnya aku tahu, jika dia terkejut karna aku bisa bicara seperti ini padanya. Sebab selama ini, seorang Devi dikenal sebagai istri yang penurut dan nrimo. Begitu kata simbah pemilik warung di ujung jalan. "Tutup mulutmu itu, Mas! Awas kemasukan lalat ijo nanti!" tegur ku diiringi nada candaan ketika melihat mulut Mas Yogi yang terbuka. Sontak Mas Yogi menutup mulutnya yang menganga itu dengan kedua tangan. Ku katupkan bibir rapat-rapat, agar jangan sampai terlihat jika tengah menertawakan dirinya. Bisa brabe urusannya nanti. "Dev!" panggil Mas Yogi saat aku baru saja berbalik. Membuat ku terpaksa kembali membalikkan badan menghadapnya. "Apa lagi?" "Kopinya dingin, mana enak diminum?" keluh Mas Yogi dengan nada sendu. Syukurlah ia sudah tak lagi berteriak. Kalau begini kan adem rasanya telingaku ini. Ku langkahkan kaki mendekati meja makan. Sikat sepatu yang ada di tangan kanan ku, kini ku masukkan ke dalam saku daster. Kemudian mengelap tangan dengan daster yang sama, yang tengah ku pakai. Setelah memastikan bersih, ku ulurkan tangan meraih segelas kopi milik Mas Yogi. Slurrpp.. Kopi itu ku sruput, hingga tandas setengahnya. Setelahnya aku pun mengecap sisa kopi yang tertinggal di bibir. "Enak aja kok, gak ada bedanya. Gak mungkin juga kan berubah jadi tuak!" "Hah?" Aku tak lagi memperdulikan Mas Yogi, kakiku kembali mengayun, melanjutkan langkah yang sempat tertunda. "Bukan itu maksudku, Dev!" Tangannya dengan cepat mencekal lengan kecilku. Membuatku terpaksa menghentikan langkah. Dengan bola mata berputar malas, ku tepis tangan Mas Yogi dengan kuat. Dan kembali berbalik menghadap suamiku itu. "Terus? Kamu mau aku ngapain?" Ku tatap mata Mas Yogi yang bergerak kesana kemari seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya sebuah kalimat meluncur dari bibirnya, "Setidaknya, buatkan lagi kopi panas untukku. Kamu tau 'kan, kalo aku lebih suka kopi panas ketimbang-" "Kalo udah tau lebih suka kopi panas, kenapa kamu anggurin itu kopi?" tanyaku, menyergah perkataan Mas Yogi yang belum selesai. "Kopi dan gula tergeletak manis di meja dapur. Di sebelahnya ada termos air panas yang juga terisi penuh. Tanganmu juga ada dua, dan masih bisa berfungsi dengan benar. Lalu apa lagi masalahnya?" Kembali ku layangkan rentetan kalimat menohok yang berhasil membuat Mas Yogi terpaku. "Kamu liat sendiri, aku lagi apa 'kan. Ini juga kamu yang suruh, dan sekarang?"“Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b
"Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di
“Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip
"Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.
Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya
“Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis
Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera