Share

Bab 5

Author: Mami ice bear
last update Last Updated: 2024-05-12 15:09:37

Mataku membola sempurna, kala melihat sosok laki-laki yang amat aku kenal, tengah berdiri menatap tajam pada Mba Yessi, kakak dari Mas Yogi. 

"Yogi! Aku percayakan anakku padamu, tapi apa yang aku lihat sekarang?" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Tak sebanding dengan tubuhnya yang terlihat kurus tak terawat. 

"Bapak.." ujar Mas Yogi terkejut. 

Sama terkejutnya dengan diriku yang menatap tak percaya pada pria paruh baya yang kini berdiri di belakang tubuh mba Yessi. 

"Bapak, kok-"

"Jadi ini kelakuan keluarga suamimu padamu, Nak?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Bapak sudah lebih dulu mencecarku dengan pertanyaan yang tak bisa lagi aku elak. Sebab, sudah dipastikan jika bapak bahkan mendengar semua kalimat yang diucapkan kakak ipar. 

"Kau ku ratukan di rumah, ku didik dan ku sayangi sepenuh hati. Bahkan tak akan ku biarkan seekor nyamuk sekalipun menyakiti dirimu. Tapi disini? Bukan menjadi ratu, tapi harga dirimu diinjak seolah kau tak berharga sama sekali di mata mereka," tutur bapak menatap Mas Yogi dengan tatapan berkaca. 

"Mana janjimu padaku, Yogi? Kau melamar Devi padaku, dan berkata akan membahagiakan dia. Hingga aku percaya, dan tak menjenguknya sebab sudah yakin jika dia baik-baik saja. Tapi, apa yang ku lihat dan dengar sekarang?" Bapak terus mencecar Mas Yogi, membuat suamiku itu tersudut. 

Mba Yessi tampak mendelik, saat adiknya itu tersudutkan oleh kata-kata bapak. Tubuhnya yang sejak tadi menghadap ke arah ku dan Mas Yogi, kini beralih menghadap bapak. "Ngomong apa tadi kau, Bapak Tua? Apa sekarang kau sedang menyalahkan Adikku, begitu?"

"Apa ada yang salah dengan perkataanku, Mba Yessi? Apa yang aku katakan benar adanya, karna saat Yogi mengikrarkan ijab qobul atas nama putriku. Tanggung jawabku sudah beralih ke pundaknya. Aku rasa Mba Yessi juga mengerti, karna Mba Yessi sendiri adalah seorang istri!" Bapak terdengar melawan perkataan kakak ipar. 

"Ho ho.. Tentu saja beda! Aku istri berpendidikan, tentu berbeda dengan Devi. Jangan samakan aku sama anak bapak yang hanya bisa menjadi beban dan benalu buat Yogi, ya!" Mba Yessi tak mau kalah, ia terus melayangkan kata-kata yang berhasil membuat ku tak lagi tinggal diam. 

"Benalu? Beban? Siapa yang Mba maksud? Aku? Anakku?" Bertubi-tubi aku layangkan pertanyaan pada kakak ipar dan hanya dibalas dengan ekspresi bibir yang mencebik. "Apa kau tidak salah? Kau bilang istri berpendidikan, tapi masih jadi benalu untuk rumah tangga adiknya? Situ waras?"

"Jika soal Ibu, aku paham. Karena Mas Yogi masih memiliki kewajiban untuk mensejahterakan Ibunya. Tapi tidak untuk kamu dan anakmu. Ya, kecuali kau itu janda!" imbuhku yang dengan sengaja menekan kata-kata terakhir. 

Benar saja, mba Yessi seketika mendelik saat aku menekan kata janda. "Apa kau sedang menyumpahi ku?"

Tak ku respon perkataan kakak ipar. Aku hanya melengos sembari memutar mata malas. Namun, suara kakak dari suamiku itu seketika membuat ku kembali fokus padanya, "Ibu, aku dan anakku adalah keluarga Yogi. Berbeda dengan mu yang orang lain. Yang hanya bisa mengadahkan tangan pada adikku!"

"Oh ya? Begitukah?" Aku memasang wajah terkejut kemudian menoleh kearah Mas Yogi. "Mas, apa aku jadi beban untuk mu?"

Mendapat pertanyaan dariku, membuat Mas Yogi gelagapan dan tampak ragu untuk menjawab. "A.. Aku.."

"Katakan saja Yogi, ada Mba disini! Jangan takut!" Mba Yessi terdengar memberikan dorongan pada Mas Yogi. 

Sementara aku dan bapak hanya saling lirik. Hingga beberapa saat kemudian, suara Mas Yogi kembali terdengar. "Bukan beban, Dev. Hanya saja, kamu terlalu boros. Belum akhir bulan, uang dariku sudah habis. Itu yang membuat ku-"

"Jadi itu yang ada di pikiranmu selama ini, Mas?" tanyaku sengaja memotong kalimat Mas Yogi. 

"Apa Mas tau, kenapa aku selalu mengeluh uang menipis saat akhir bulan?" Aku menatap intens pada manik mata suamiku itu. "Sekarang, coba sebutkan. Berapa uang yang kau berikan setiap bulannya. 

"Empat juta," jawab Mas Yogi. 

"Baiklah, empat juta ya!" sahutku kemudian berlalu mengambil ponsel milik Mas Yogi yang tergeletak di nakas samping tivi. "Pegang ini! Dan buka kalkulator!"

"Satu juta untuk Ibumu! Satu juta untuk Mba Yessi! Lima ratus untuk bayar listrik! Lima ratus untuk bayar air!" Sejenak aku menjeda kalimat, guna mengambil oksigen demi melonggarkan rongga dada yang terasa tercekat. "Sekarang coba kau hitung, berapa total?"

"Tiga juta.." lirih Mas Yogi. Dan ku balas dengan anggukan kepala. "Sekarang, masih sisa satu juta, bukan?"

"Apa kau tau berapa harga beras, minyak, ayam, telor? Enggak 'kan? Atau perlu aku beberkan semua harganya di depanmu, Mas?" 

"Jangan belagu dengan mengatakan jika aku terlalu boros. Sedangkan kau hanya memberiku empat juta! Sungguh dramamu itu, membuat ku ingin menghadiahkan piala nominasi best drama pada keluarga kalian!"

"Jika kamu memberi ku dua puluh juta sebulan, dan saat belum masuk tanggal gajian sudah habis. Itu berarti aku boros!"

"Lha ini! Duit cuma empat juta, tapi permintaan mu udah kayak raja fira'un!"

Mas Yogi melongo, kala aku melayangkan banyak cecaran padanya. Karna yang ia tahu, aku adalah istri pendiam. Padahal yang orang tak tahu, pendiam nya seorang istri, adalah bukti jika hatinya sudah mati. Dan tak lagi bisa kau selamatkan. 

"Kamu kok ngomongnya gitu, Dev?" lirih Mas Yogi. 

Aku menghela nafas perlahan, mencoba mengurai sesak yang sejak lama menghimpit dalam rongga dadaku. Bukan aku terlalu cinta hingga bucin goblok pada Mas Yogi. Namun aku masih mencoba memberi kesempatan pada Mas Yogi agar ia lebih peka dan memperhatikan tiga nyawa yang bergantung dan menjadi tanggung jawabnya. 

"Lalu apa, Mas?" Aku berusaha menimpali perkataan Mas Yogi tanpa emosi, sebab aku sadar jika itu tak akan mengubah apapun. "Saat aku memilih bekerja, kau melarangku. Kau bilang, jika istri punya penghasilan sendiri, ia tak akan lagi bisa menghormati dan menghargai suaminya sebagaimana mestinya. Tapi, saat ku turuti apa kemauanmu. Kau malah justru semakin dzalim pada anak dan istrimu. Lalu? Kau mau aku berbuat apa dan bagaimana?"

"Lebih baik mau kembalikan putriku padaku, Yogi! Aku sungguh tidak terima dan tidak akan ikhlas dunia akhirat jika kau terus berlaku dzalim pada putri dan cucuku terus menerus!"

"Silahkan! Bawa saja mereka!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status