Share

Bab 6

Author: Mami ice bear
last update Last Updated: 2024-05-12 15:19:38

Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku. 

"Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. 

Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... 

"Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. 

"Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang, barulah bilang sama Mas." Dengan santai Mas Yogi menjawab, tangannya terulur mengelus puncak kepalaku. Sungguh, saat itu aku masih merasa jika Mas Yogi benar-benar mencintaiku. 

"Tau apa kau Pak tua?! Asal kau tahu saja, justru mereka itu perlu menghemat uang agar bisa ditabung untuk masa depan dan anak-anak. Untuk persiapan juga jika suatu saat dibutuhkan dana dadakan." Bukan Mas Yogi yang menjawab melainkan Mba Yessi, seraya menyilangkan tangan di dada dengan angkuh. Suara kerasnya itu mampu membuatku tersadar dari lamunan. 

"Tapi, meski begitu. Bukan berarti Yogi bebas memperlakukan Devi seperti itu. Kau tahu betapa sulitnya bagi Devi untuk membesarkan dua anak dari gaji yang lebih dari cukup, tapi ia sendiri hanya diberi dua puluh ribu sehari. Kau harus memberinya nafkah yang layak, Yogi!" sahut Pak Benyamin, ayahku, dengan semakin meningkatnya nada suaranya.

"Pak, sudah ya. Bapak pasti capek. Mending Bapak istirahat dulu," ucapku menengahi. Aku berusaha membujuk ayahku itu, agar mau turut pergi bersamaku ke kamar anak-anak. Namun, langkah cinta pertamaku itu seolah berat dan justru terpaku disana. 

"Asal kau tau saja Yogi, ini sama sekali tidak adil bagi Devi dan cucu-cucuku. Jangan pernah lupakan bahwa ia juga mempunyai hak yang sama dengan keluargamu. Surgamu memang ada di kaki ibumu, tapi seorang suami tak akan mencium bau surga, jika ia lalai dan dzalim pada anak istrinya! " Ayah kembali berkata dengan suara dan nada penuh penekanan, lebih dari sebelumnya.

"Jika kau masih berlaku seperti itu, lebih baik kau kembalikan saja Devi padaku. Aku, Ayahnya! InsyaAllah masih sanggup menanggung tanggung jawab itu di pundak renta ini!" Dengan tegas ayah bahkan mulai memberikan ancaman pada Mas Yogi. 

Namun, tiba-tiba suara ibu mertua terdengar. Mengintervensi perbincangan yang semakin memanas itu. "Bawa saja dia! Setidaknya itu bisa mengurangi beban putraku! Istri kok bisanya cuma jadi beban suami!"

"Astaghfirullah," ucap ayah sambil mengelus dadanya. Bahkan kepalanya turut menggeleng perlahan, menandakan jika ayah benar-benar terkejut dengan apa yang dihadapinya kini. 

"Yogi! Jawab aku!" sentak ayah kemudian, yang melihat Mas Yogi masih diam tak bergeming sama sekali. 

"Aku serius, Yogi! Lebih baik kau kembalikan putriku padaku! Aku sungguh tidak terima dan tidak akan ikhlas dunia akhirat jika kau terus berlaku dzalim pada putri dan cucuku terus menerus!" Kilatan amarah terlihat jelas di mata ayah. 

"Silahkan! Bawa saja mereka!" Lagi-lagi, ibu mertua yang menjawab. Padahal aku tau persis, jika ayah hanya mau mendengar dan melihat respon serta jawaban dari Mas Yogi. 

"Tak perlu repot-repot protes dan ikut campur keputusan Yogi sebagai kepala rumah tangga, Pak Benyamin. Saya sangat setuju dengan Yogi! Devi memang tak bisa dibiarkan memegang uang banyak-banyak. Belum juga akhir bulan, anakku sudah hanya makan dengan tempe goreng. Istri macam apa itu?!" Bu Jubaedah, mertuaku, kembali bersuara. 

Wajah ayah menegang, matanya membola. Aku bisa lihat raut wajah keterkejutannya. "Lalu, apa bedanya dengan Bu Jubaedah yang ikut campur urusan rumah tangga Devi dan Yogi? Sekarang jika saja posisinya dibalik, Bu Jubaedah yang saya kasih dua puluh ribu untuk belanja sehari-hari. Apa ibu sanggup?"

"Heleh! Tentu saja!" jawab ibu mertua santai.

Padahal aku tahu betul, jika ibu mertua bahkan tak pernah sekalipun masak sendiri di rumah mereka. Selalu hanya numpang makan disini, atau pesan makanan melalui delivery order. 

"Aku tidak boros, Bu. Aku rasa, kau juga tau itu!" Kini aku tak bisa terus diam saja, saat ayahku mati-matian membelaku. Akan ku buktikan, jika anak perempuan ayah, bisa berdiri kokoh seperti batu karang yang melawan ganasnya ombak di lautan. 

"Bagaimana aku tak boros, jika saja uang jatah Ibu dan Mba Yessi itu-"

"Jadi kau mempermasalahkan Yogi yang memberi kewajibannya sebagai seorang anak? Begitu?!" Belum selesai aku berkata ibu mertua sudah lebih dulu menyela. Astaghfirullah, aku harus banyak-banyak mengucap kalimat istighfar dalam hati. 

"Aku tak pernah keberatan Mas Yogi memberikan sedikit gajinya untuk ibu. Tapi mba Yessi dan anaknya, bukanlah tanggung jawab suamiku!" Dengan nada cukup tinggi ku bantah perkataan ibu mertua. Yaa Allah, maafkan aku yang telah berani meninggikan suara di hadapan orang tua. 

"Cukup Devi! Jangan berani kamu tinggikan suara di depan ibuku! Bagaimanapun juga, kau harus menghormatinya seperti kau menghormati orang tua mu sendiri!" tekan Mas Yogi dengan nada tertahan. 

Dengan tatapan mata berkaca, ku tatap lekat manik mata laki-laki yang sudah ku gandeng tangannya selama sebelas tahun ini. "Kau bisa mengatakan seperti itu, Mas. Tapi apa kau sudah mengatakan pada Ibumu? Untuk menerima ku bukan hanya sebagai menantu, tapi selayaknya seorang anak perempuan? Sebagaimana ayah dan ibuku menerima dan memperlakukan mu?"

"Setidaknya jika ingin dihormati layaknya orang tua. Maka terlebih dulu, posisikan dirimu seperti orang tua pada umumnya. Karena, harimau yang ganas saja tak akan sanggup untuk menerkam anaknya sendiri! Tapi ini.." sindirku. 

Mata ibu mertua, kakak ipar dan suamiku melotot sempurna. Namun, aku bahkan tak peduli lagi. Aku lebih memilih mengajak ayah untuk beristirahat di kamar anak-anak. 

"Ayok, Pak. Anak-anak pasti senang liat Kakeknya dateng!" Sedikit ku tarik lengan ayah, seraya memberi kode anggukan kepala. 

Terlalu lama berada dalam atsmosfer yang sama dengan keluarga suamiku. Hanya akan membuat habis tenaga dan juga meracuni pikiran. Lebih baik, menyingkir demi kewarasan diri sendiri. 

Kini, aku merasa tidak lagi sendirian dalam masalah ini, aku tahu jika Mas Yogi akan tetap berat pada keluarganya. Tapi, akupun bukan seorang yatim piatu. 

"Pulanglah, jika kau sudah tak sanggup lagi, Devi!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status