Share

Memaksakan Diri

Maaf, Aku Pantang Cerai! (2)

"Auw ....!" Aku terkejut saat mas Wisnu menginjak rem mendadak. Kepalaku terjedot kaca depan. Walau tak keras, tapi lumayan sakit juga.

"Mas, apa-apaan sih? Kau mau membunuh kita berdua?"

"Kau yang apa-apaan? Kalau marah pada ibu, jangan memfitnahnya. Mana mungkin ibu bicara seperti itu pada menantunya."

"Kalau tak percaya padaku, ada 20 orang, bahkan lebih di rumah ibumu. Mereka tak tuli sampai tak mendengar apa yang ibumu bilang."

Brak ....

Aku keluar dari dalam mobil dan berjalan ke rumah kami. Rumah yang sudah ada di depan mata, mas Wisnu melajukan mobil tanpa memintaku naik lagi. Percuma juga aku naik, karena beberapa langkah lagi sampai rumah.

"Mau ke mana lagi sekarang?"

Aku tak menjawab pertanyaan mas Wisnu. Sehabis mandi, aku langsung pergi—tentu meminjam mobilnya. Tak mungkin mau pijat relaksasi harus naik ojek online? Bisa ngamuk dia nanti. Dia itu cemburuan sekali.

"Selain mobil, aku juga pinjam kartu debit-mu Mas. Mau santai di salon mami Mawar, capek kerja rodi dari semalam."

Mas Wisnu tak bersuara. Aku tahu dia kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Mana mau dia berhadapan dengan Jefri dan Sela? Bisa mampus dia dibuat kedua temanku—apalagi jika malaikat tanpa sayap ku tahu, tamat hidupnya.

****

Sudah seminggu sejak kejadian itu, mas Wisnu kini mengajakku pergi ke rumah ibu. Katanya, wanita itu sakit—gara-gara capek membereskan rumah yang aku bikin seperti kena puting beliung.

"Kalau ibu marah, diamkan saja. Aku tak mau ibu dan istriku bermusuhan terus."

Aku menarik napas panjang. Rasanya, tak mungkin ibu sakit gara-gara itu. Semua orang juga tahu kalau tetangga depan rumah ibu bisa dipanggil untuk bersih-bersih rumah dan dibayar harian.

"Kau dengarkan, Al?"

"Iya, Mas Wisnu yang ganteng, anak kesayangan ibunya. Aku gak budek sampai gak dengar kalau suami bicara depan telinga."

Mas Wisnu tertawa lalu mencium pipiku. Pria ini walau menyebalkan tapi aku cinta berat padanya, selagi tak berselingkuh aku akan terima apapun keadaannya.

"Sudah sampai, ayo masuk! Ingat, jangan melawan apapun kata ibu. Kasihan sudah tua—tekanan darahnya bisa naik tiba-tiba."

Aku melotot pada mas Wisnu. Sakit sekali hatiku. Mau sampai kapan dia ingatkan terus hal itu? Aku sudah tak berminat melawan ibu lagi karena aku yakin pasti ada hal besar yang akan dia minta dari suamiku.

Mari kita lihat apa yang akan dikatakan ibu mertuaku hari ini.

****

"Rumah, Bu? Tapi, rumah ini kan masih bagus. Jadi, buat apa ibu mau rumah baru?" Mas Wisnu terkejut dengan ucapan ibu.

Tuh, kan! Seperti dugaanku, pasti akan ada permintaan besar pada mas Wisnu. Tahu begini, aku tak ikut tadi. Hanya bikin sakit hati, Beb!

"Rumah ini sudah tua, Nu. Kita renovasi, terus sewakan. Uangnya bisa untuk membayar cicilan rumah baru dan membayar cicilan mobil adikmu."

"Memangnya, sewa rumah itu berapa sih, Bu? Mana cukup untuk membayar bulanan rumah dan mobil?" ucapku menimpali perkataan Ibu.

"Diam kau, Al! Ini urusan ibu dan Wisnu. Kau tak perlu ikut campur—orang luar harus sadar diri."

"Kalau begitu, aku pulang saja Bu. Toh, percuma juga aku di sini."

Aku berdiri hendak meninggalkan mas Wisnu dan ibunya. Namun, sebelum pergi, ibu mertua kembali membuka mulutnya—membuat darahku mendidih jadinya.

"Daripada gak ada kerjaan, sana cuci baju ibu dan masakkan makanan untuk makan siang. Tak lama lagi, adik Wisnu pulang bersama temannya yang cantik. Siapa tahu, Wisnu tertarik mencari istri baru."

Aku menahan tangisku saat mendengar ucapan tersebut. Namun, pantang bagiku untuk menangis di depan orang yang sudah menginjak-injak harga diriku seperti ini.

Maka dari itu, aku menguatkan diriku untuk berkata, "Bagus, kalau begitu aku pulang saja, Bu. Agar ibu bisa membujuk mas Wisnu! Semoga berhasil! Aku doakan dengan tulus apa yang ibu inginkan terkabul."

Aku tersenyum melihat wajah mas Wisnu. Dia pasti tahu tadi aku hampir menangis karena mendengar ucapan ibunya. Tapi, itu tidak akan pernah terjadi!

"Jangan pergi dulu, Alea! Siapkan makan siang untuk Citra dan temannya."

"Tidak, terima kasih, Bu. Mana ada wanita yang sudi menjamu wanita lain yang disiapkan untuk menjadi madunya?"

Aku berjalan santai keluar dari rumah ibu mertua.

Biarlah, mas Wisnu saja yang bicara dengan ibunya. Aku tak mau ikut campur, tapi soal teman adik iparku—itu tak bisa didiamkan. Aku perlu ekstra hati-hati. Meski percaya pada mas Wisnu, tapi pelakor banyak akalnya. Jadi, aku harus waspada juga.

***

"Jadi, mas setuju mengambil rumah buat ibu? Lalu, bagaimana dengan cicilan mobil? Kalau ditambah cicilan rumah mas, gaji 10 juta mana cukup untuk sebulan?"

Aku menarik napas panjang. Memikirkan gaji sepuluh juta dan bagaimana cara mengaturnya, membuatku pusing.

"Apa tak bisa dipikir ulang, Mas? Kalau begini, pengeluaran kita berlebihan. Lebih besar pasak daripada tiang. Tahu kan, artinya?"

Mas Wisnu terlihat gusar. Jangankan dia, aku saja sudah pusing duluan.

"Mas, aku bukan meremehkanmu, tapi ini benar-benar di luar kemampuanmu, kecuali—"

Aku menjeda ucapanku agar mas Wisnu memperhatikan apa yang akan aku katakan. Dia sepertinya dapat memahami tujuanku.

"—Apa? Tidak! Aku tak setuju! Coba kau pikir, Alea. Kalau Erlangga tahu bisa habis aku Al. Tidak! Kau harus tetap di rumah. Meski harus menjual ginjal, aku tak izinkan kau kerja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status