Share

Ke Mana Mereka Pergi?

Maaf, Aku Pantang Cerai! (3)

Mendengar itu, aku semakin geram. Bisa-bisanya Mas Wisnu bicara seperti itu?! Mengapa begitu mudah berbicara tentang kesehatannya?

"Sebelum itu terjadi, aku minta ceraikan aku. Mana mungkin kita hidup bahagia kalau kau menderita? Ayolah, Mas! Sekali saja, Mas. Kau coba katakan tidak pada ibumu."

Mas Wisnu menggelengkan kepala.

Aku semakin gusar kalau begini. Mas Wisnu tahu dia tak mampu, tapi tetap memaksakan dirinya.

"Mas," bujuk ku.

"Cukup, Al! Kita sudahi pembicaraan ini. Aku kepala keluarga. Jadi, biar aku yang berpikir. Kau cukup bantu doa agar aku bisa membahagiakanmu dan ibu."

Mas Wisnu tak mengizinkan aku bicara. Inilah salah satu yang membuatku kesal padanya—dia memendam sendirian masalahnya, bahkan tak mau meminta tolong meski dia butuh bantuan.

"Mas."

"Tidurlah, Al!" Mas Wisnu menarik kepalaku. Dia meletakkan di lengannya lalu mencium keningku. Dia mencoba memejamkan matanya, namun tak lama dia kembali membuka mata dan menatap wajahku.

"Berjanjilah, Al. Kau tak akan menghubungi Erlangga walau apapun yang terjadi padaku."

Aku tertawa sembari menyusupkan wajahku ke dadanya. Meski mengangguk, tapi aku tahu aku tak bisa berjanji untuk menepatinya. Erlangga adalah teman baikku dan atasan mas Wisnu. Jadi, banyak permasalahan—yang mungkin sulit bagi kami—dapat diselesaikannya dengan mudah.

"Aku mencintaimu, Mas. Apapun yang terjadi, kita akan sama-sama. Kecuali, kau menggantikan aku dengan wanita lain. Di situ, aku akan mundur."

Mas Wisnu tersenyum lalu menarik daguku. Perlahan, dia menyatukan bibir kami. Kami mencoba melupakan beban hidup dengan mengarungi nikmatnya penyatuan dua tubuh.

Mas Wisnu benar-benar tertidur setelah menuntaskan hasratnya pada tubuhku. Sedang aku, kini masih belum bisa tidur. Jadi, aku hanya menatap wajahnya yang terlihat lelah.

"Andai aku bisa dan mampu melawan perintahmu, Mas. Semua beban yang kau pikul akan hilang meski pada akhirnya kita tak akan bisa bersama."

Cup ....

Aku terkejut saat mas Wisnu membuka mata. Dia mengecup bibirku pelan. Senyum menghiasi wajahnya, namun tak bisa menyembunyikan beban berat itu.

"Tidurlah, sudah malam! Kita harus bangun pagi-pagi sekali. Mas ada rapat penting besok."

Aku menganggukkan kepala lalu mencoba memejamkan mata. Namun, tetap saja aku tak bisa tidur— resah memikirkan 10 juta dan juga mas Wisnu.

****

[ Mas, sekarang sudah jam enam. Kok, mas belum pulang? ]

Aku menghubungi mas Wisnu karena tak biasanya dia pulang terlambat. Sejak memutuskan untuk menyicil rumah baru untuk ibu, dia terlihat berubah. Yang paling terlihat adalah dia mulai sering telat. Namun, belum pernah dia pulang setelat ini. Aku khawatir dia kenapa-kenapa saat perjalanan pulang.

[ Maaf, Al. Aku lupa bilang kalau hari ini ada urusan ke luar kota. Mendadak sekali, bahkan aku tak bawa baju ganti. Nanti, sepertinya aku harus beli beberapa setel di jalan.]

Aku mengerutkan kening setelah membaca pesan mas Wisnu. Kalau ada urusan keluar, kenapa tak ada pemberitahuan dari Hani—sekretaris mas Wisnu, sekaligus orang kepercayaan Erlangga.

Deg!

"Apa kau mulai bermain-main, Mas? Kalau itu yang kau mau, baiklah mari kita bermain."

Aku segera menghubungi Hani, menyuruhnya menyelidiki di mana mas Wisnu berada saat ini. Aku takut mas Wisnu benar-benar lupa diri.

[ Baik, Bu. Segera saya minta orang mencari di mana pak Wisnu. ]

Aku segera menghapus semua pesanku pada Hani. Jangan sampai mas Wisnu mengetahuinya.

Tok ... tok ... tok ....

"Assalamualaikum, mbak Alea. Saya pak RT. Ada sedikit urusan bisa buka pintunya."

Mendengar itu, aku meletakkan ponsel lalu segera menuju ke pintu depan.

"Waalaikumsalam, Pak. Maaf lambat karena tadi di dapur. Ada urusan apa ya, pak?"

Pak RT tersenyum lalu mengatakan urusannya. Ternyata, dia datang mengantarkan undangan.

"Siapa yang menikah, Pak?"

"Rahmad, anak pak Kades itu loh, Mbak. Saya diminta menyebarkan undangan di sekitar sini, sekalian untuk mertua mbak Alea, ya. Tadi, rumahnya kosong saat saya datangi. Lampu mati, pintunya juga tertutup semua."

Lampu tertutup berarti gelap-gelapan, dong? Itu biasanya pertanda kalau semua orang tak di rumah. Aku merasa ada yang aneh. Pas banget dengan mas Wisnu ke luar kota.

"Mbak .... mbak Alea."

Aku tersentak saat pak RT mengibaskan tangannya di depan wajahku. Bisa-bisanya melamun saat ada tamu.

"Maaf pak RT, ada apa?"

Pria itu tertawa mendengar pertanyaanku. Ternyata, dia ingin pamitan pulang karena masih ada beberapa undangan yang belum dibagikan.

"Maaf, pak RT. Saya tadi sempat melamun, bahkan tak menghidangkan air minum."

Pria itu tertawa dan langsung pulang. Aku jadi tak enak padanya, tapi aku heran ke mana ibu mertuaku pergi.

Kalau begini, aku semakin was-was. Terutama, mas Wisnu juga membawa kartu ATM tabungan kami.

"Semoga kau tidak berbuat yang macam-macam, mas. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan jika kau berbuat salah."

Aku mendesah mengeluarkan perasaan kesal di dadaku. Hal yang tak pernah terjadi kini mulai menunjukkan diri.

Mas Wisnu sepertinya mulai tak jujur. Sejak kapan dia punya urusan ke luar kota? Apa dia lupa kalau Erlangga janji tak akan mengirim suamiku ke luar kota tanpa istrinya.

Ting ....

Sebuah pesan masuk, aku langsung membukanya dan terkejut melihat mas Wisnu bersama ibu dan adiknya. Lalu, ada tiga orang asing juga di sana.

[ Sepertinya, ada pembicaraan soal pertunangan, Bu. Tapi, saya mohon maaf karena saya belum dapat info siapa yang mau tunangan. ]

Hani ternyata bergerak cepat, orang kepercayaan Erlangga memang tak kaleng-kaleng.

[ Baik. Terima kasih, Han. Tapi, tolong jangan bilang apa-apa sama Erlangga. Saya sendiri yang akan bilang kalau memang kecurigaan saya terbukti. ]

Ah .... apa yang akan terjadi padamu mas, seandainya Erlangga tahu dan kau terbukti bersalah.

Lagi-lagi, aku hanya bisa menarik napas panjang. Aku butuh bantuan Sela dan Jefri. Gegas kuhubungi keduanya dan mereka setuju bertemu di café langganan kami.

Perlahan, aku menceritakan kekhawatiran ku.

"What??? Kau tak lagi bercanda kan, Al? Ini luar biasa! Seorang Wisnu bisa berani mengingkari janjinya pada Erlangga? Cari mati itu anak!"

Mendengar ucapan Sela, membuatku bertambah pusing. Aku tahu siapa Erlangga. Dia bisa berbuat apa saja untuk menghancurkan mas Wisnu jika berani menyakitiku.

"Kau juga sih lagian! Kau cantik dan pintar, tapi salah pilih. Bucin, pula tuh. Erlangga pasti mau menerimamu apa adanya, tapi kau pake acara bertekad untuk bertahan dengan Wisnu."

Aku menepuk bahu Sela. Bagaimanapun juga, orang yang dia remehkan adalah suamiku—dan masih kucintai.

Tersadar, Sela pun menutup mulutnya. "Iya maaf, aku hanya kesal aja. Jadi, apa yang akan kau lakukan pada Wisnu sekarang?"

Aku kembali menarik napas. Sela dan Jefri jadi ikut-ikutan menarik napas. Mereka masih menungguku bicara.

"Aku akan selidiki dulu. Kalau bisa dipertahankan, aku akan bertahan. Akan tetapi, kalau mas Wisnu berselingkuh, apa boleh buat. Meski aku penganut pantang cerai, tapi aku harus memilih itu."

Kali ini Sela dan Jefri terlihat berbinar. Aku tahu mereka sebenarnya kurang setuju dengan hubunganku dan mas Wisnu sejak awal. Tapi, apa boleh buat karena aku yang mau. Aku benar-benar mencintai suamiku itu, bahkan rela dikatai bucin oleh orang sekitar.

"Kalau begitu, aku bantu menyelidikinya, Al. Tenang saja, akan sampai tuntas agar kau bisa bebas sekalian dari Wisnu."

Aku melotot mendengar ucapan Sela. Ada rasa tak suka saat mendengar itu.

"Doakan kami langgeng, Sel. Mas Wisnu sebenarnya orang baik. Dia hanya tak bisa bilang tidak pada ibunya," belaku. Sekali lagi, aku mengingat ibu mertuaku itu. Wanita yang tak punya perasaan sama sekali—memeras tenaga dan otak putranya.

"Apa kau sudah punya rencana? Untuk menghadapi masalah ini, aku rasa kau harus punya satu atau dua rencana Al. Jika mau bertahan atau tidak, kau tetap harus memberi pelajaran dulu pada suamimu yang plin-plan itu."

Sela benar! Aku harus membuat rencana. Aku tak bisa mengorbankan mas Wisnu jika memang mau bertahan. Kecuali kalau tak bisa lagi dipertahankan, maka aku akan pergi dan tak peduli pada pria itu.

"Jefri, makan aja dari tadi! Bantu aku mikir, dong. Percuma Sela membawamu ke mari."

Jefri terkejut mendengar ucapanku. Sedangkan Sela, dia hanya tersenyum karena melihat kekasihnya begitu kaget.

"Mau ngomong apa, Al? Kami saja belum tahu apa yang mau kau putuskan. Belum tentu juga Wisnu berbuat sebodoh itu. Dia kan tahu kalau menghianatimu berarti harus siap menghadapi orang paling menakutkan di kantornya."

Lagi-lagi, aku hanya bisa mengaruk kepala yang tak gatal. Benar juga ucapan Jefri! Sayangnya, entah mengapa perasaanku menyuruhku untuk harus bergerak cepat.

Jangan sampai terlalu rugi kalau memang mas Wisnu berniat mengakhiri hubungan kami!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status