Share

Maaf, Aku Pantang CERAI!
Maaf, Aku Pantang CERAI!
Author: Winarsih_wina

Kemarahan Alea

Maaf, Aku Pantang Cerai! (1)

"Cantik saja tak cukup untuk menjadi seorang istri, Jeng. Lihat tuh si Alea! Dia memang cantik, tapi itu tak berguna sama sekali. Hanya jadi benalu dalam hidup anakku Wisnu. Kerjanya menghabiskan uang anakku. Ingat, hanya mengangkang saja tak bisa langsung menghasilkan anak,” ucap ibu mertuaku di depan teman-temannya.

Ibu mertuaku ini memang senang berkumpul bersama teman-temannya sambil menghidangkan banyak makanan. Dan, aku—sebagai menantunya—diminta suamiku untuk membantunya. Tapi, lihatlah! Suamiku itu tak akan pernah percaya kalau ibunya memperlakukanku seperti ini.

“Kalau saja Wisnu tak bodoh dan cinta mati sama perempuan itu, mungkin sekarang aku sudah menimang cucu—anaknya Wisnu." Lagi—dia menghinaku di depan orang lain.

Aku meremas kain lap yang aku pegang. Lihatlah mulut wanita itu, tak ada baiknya diriku ini sama sekali sang menantu di matanya.

"Alea, buruan kerjanya! Mana makanannya? Kok dari tadi tak siap-siap?!" teriaknya memerintahku seperti pembantu.

Tak ingin membuat malu, aku bergegas mengeluarkan makanan yang sudah aku masak sejak tadi. Dia memerintahku seenak hati dan selalu ku turuti. Namun, di matanya, aku tetap seolah tak berguna sama sekali.

"Maaf ya, Jeng. Hanya begini makanan yang bisa aku sediakan. Maklum, sudah tua, sedangkan menantu tak ada gunanya sama sekali—cuma bisa membantu petik cabai aja."

Aku menatap wajah ibu mertua. Berharap dia sedang mengigau. Padahal, aku yang kerja sejak sebelum subuh di rumahnya. Sekarang, dia bilang aku hanya memetik cabe? Gak kebalik tuh ngomongnya?

"Gak apa Jeng. Biasalah! Kalau anak laki, memang tunduk sama istrinya. Kita sebagai mertua yang harus menyadarkan anak kita agar tak di bodohi terus sama istrinya."

Kali ini teman ibu ada yang menimpali ucapan ibu—membuat wanita itu tersenyum sinis padaku. Entah apa yang membuat ibu begitu membenciku. Padahal, aku tak pernah melarang mas Wisnu untuk berbakti pada ibunya.

"Jeng Erna benar, kadang aku lelah ketika melihat Wisnu kerja membanting tulang. Sedang istrinya terlihat santai di rumah, seperti nyonya besar saja lagaknya. Kalau ada yang mau, aku jual juga dia. Walau harganya murah, setidaknya ada harganya—daripada tak berguna sama sekali."

Prang ….

Semua orang terkejut saat aku menarik taplak meja makan. Kini semua makanan di atas meja tumpah ke lantai. Ibu pun terkejut melihat apa yang aku lakukan.

"Sudah cukup, Bu! Sudah cukup! Aku muak mendengar suara ibu. Begitu tak bergunanya aku bagimu, sedangkan di rumah ini, aku sudah seperti pembantu. Dari semalam, aku di sini—menyiapkan semua masakan dan membersihkan rumah ini sendirian. Masih bilang aku tak berguna? Tega sekali Ibu sampai bilang mau menjual menantu ibu." Aku marah. Semua petuah dari Mas Wisnu, suamiku hilang. Aku sungguh tidak sanggup lagi.

"Cukup, Alea! Apa seperti ini perlakuan mu pada ibuku?"

Aku terkejut melihat kedatangan mas Wisnu. Dari mana saja dia? Mengapa dia datang tepat saat aku melampiaskan sakit hatiku? Kurasa dia pasti tak mendengar apa yang dikatakan ibunya tadi.

Prang ....

Kembali aku menarik tempat gelas dan minuman, hingga menyempurnakan bentuk ruang tamu yang akhirnya berantakan.

"Bagus! Akhirnya kau datang, Mas. Aku mau pulang saja. Menantu tak berguna ini akan pergi. Jadi, silakan ibu bereskan sendiri seperti yang ibu katakan tadi. Hanya petik cabai ibu bilang? Jangan lupakan kalau semua ini, aku yang masak SEN—DIRI—AN."

Aku menekan kata sendirian agar ibu dan anak ini tahu apa yang membuatku marah. Aku melepas apron dan melempar di bawah kaki mas Wisnu.

"Alea berhenti! Bereskan kekacauan ini sekarang! Kalau tidak—"

"—kalau tidak apa mas? Menjualku dengan harga murah seperti kata ibumu tadi? Kalau begitu, lakukanlah! Maka, aku pastikan setelah ini kau akan menyesal seumur hidup."

Aku berbalik meninggalkan mas Wisnu yang menatap ibunya dengan bingung. Aku memang mencintai suamiku itu, tetapi dia sungguh keterlaluan. Aku sudah muak berada di antara ibu dan anak itu.

"Satu lagi, Mas. Katakan pada ibumu itu, kalau harga diriku ini, jauh lebih tinggi dari harga cintanya padamu. Kau tahu kan semua yang kau miliki belum separuh dari harga diriku? Kalau mau menjualku dengan harga yang lebih tinggi lagi, kau tahu harus menghubungi siapa."

Kembali aku menarik kain gorden hasil kerjaku semalam. Tak ada yang bersuara. Kulihat mas Wisnu berlari mengejar ku tanpa mendengar teriakan ibunya.

"Wisnu, biarkan dia pergi! Ibu bisa carikan kau wanita cantik dan baik—tak seperti wanita miskin itu."

Aku tak peduli teriakan ibu mertua yang masih saja menghinaku. Aku memilih pulang walau harus jalan kaki—setengah berlari untuk menghindari suamiku itu.

Mas Wisnu mengejar ku dengan mobilnya. Karena aku masih tak mau masuk ke mobil, dia keluar dan mengendong ku, lalu mendudukkan ke dalam mobil.

"Berapa kali mas bilang! Jangan dengarkan ibu bicara. Sebagai anak, kita harus bersabar."

Mendengar ucapan mas Wisnu, membuatku muak. Dia pikir selama tiga tahun ini, apa yang aku lakukan ketika mendengar caci-maki ibunya?

"Apa aku harus sabar ketika ibumu bilang mau menjualku meski dengan harga murah? Istrimu dianggap seperti pelacur, Mas. Kau masih minta aku sabar?"

Ciiit ... Brak ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status