Alea sudah berjanji tidak akan pernah bercerai dalam hidupnya. Namun, ternyata cinta sang suami padanya tidak lebih besar dibanding pada sang mertua. Tanpa izin, pria itu justru menuruti Ibunya untuk menikahi wanita lain dengan alasan bakti. Mampukah Alea mempertahankan rumah tangga dan prinsipnya? Atau, dia harus merelakan semuanya?
Lihat lebih banyakMaaf, Aku Pantang Cerai! (1)
"Cantik saja tak cukup untuk menjadi seorang istri, Jeng. Lihat tuh si Alea! Dia memang cantik, tapi itu tak berguna sama sekali. Hanya jadi benalu dalam hidup anakku Wisnu. Kerjanya menghabiskan uang anakku. Ingat, hanya mengangkang saja tak bisa langsung menghasilkan anak,” ucap ibu mertuaku di depan teman-temannya.Ibu mertuaku ini memang senang berkumpul bersama teman-temannya sambil menghidangkan banyak makanan. Dan, aku—sebagai menantunya—diminta suamiku untuk membantunya. Tapi, lihatlah! Suamiku itu tak akan pernah percaya kalau ibunya memperlakukanku seperti ini.“Kalau saja Wisnu tak bodoh dan cinta mati sama perempuan itu, mungkin sekarang aku sudah menimang cucu—anaknya Wisnu." Lagi—dia menghinaku di depan orang lain.Aku meremas kain lap yang aku pegang. Lihatlah mulut wanita itu, tak ada baiknya diriku ini sama sekali sang menantu di matanya."Alea, buruan kerjanya! Mana makanannya? Kok dari tadi tak siap-siap?!" teriaknya memerintahku seperti pembantu.Tak ingin membuat malu, aku bergegas mengeluarkan makanan yang sudah aku masak sejak tadi. Dia memerintahku seenak hati dan selalu ku turuti. Namun, di matanya, aku tetap seolah tak berguna sama sekali."Maaf ya, Jeng. Hanya begini makanan yang bisa aku sediakan. Maklum, sudah tua, sedangkan menantu tak ada gunanya sama sekali—cuma bisa membantu petik cabai aja."Aku menatap wajah ibu mertua. Berharap dia sedang mengigau. Padahal, aku yang kerja sejak sebelum subuh di rumahnya. Sekarang, dia bilang aku hanya memetik cabe? Gak kebalik tuh ngomongnya?"Gak apa Jeng. Biasalah! Kalau anak laki, memang tunduk sama istrinya. Kita sebagai mertua yang harus menyadarkan anak kita agar tak di bodohi terus sama istrinya."Kali ini teman ibu ada yang menimpali ucapan ibu—membuat wanita itu tersenyum sinis padaku. Entah apa yang membuat ibu begitu membenciku. Padahal, aku tak pernah melarang mas Wisnu untuk berbakti pada ibunya."Jeng Erna benar, kadang aku lelah ketika melihat Wisnu kerja membanting tulang. Sedang istrinya terlihat santai di rumah, seperti nyonya besar saja lagaknya. Kalau ada yang mau, aku jual juga dia. Walau harganya murah, setidaknya ada harganya—daripada tak berguna sama sekali."Prang ….Semua orang terkejut saat aku menarik taplak meja makan. Kini semua makanan di atas meja tumpah ke lantai. Ibu pun terkejut melihat apa yang aku lakukan."Sudah cukup, Bu! Sudah cukup! Aku muak mendengar suara ibu. Begitu tak bergunanya aku bagimu, sedangkan di rumah ini, aku sudah seperti pembantu. Dari semalam, aku di sini—menyiapkan semua masakan dan membersihkan rumah ini sendirian. Masih bilang aku tak berguna? Tega sekali Ibu sampai bilang mau menjual menantu ibu." Aku marah. Semua petuah dari Mas Wisnu, suamiku hilang. Aku sungguh tidak sanggup lagi."Cukup, Alea! Apa seperti ini perlakuan mu pada ibuku?"Aku terkejut melihat kedatangan mas Wisnu. Dari mana saja dia? Mengapa dia datang tepat saat aku melampiaskan sakit hatiku? Kurasa dia pasti tak mendengar apa yang dikatakan ibunya tadi.Prang ....Kembali aku menarik tempat gelas dan minuman, hingga menyempurnakan bentuk ruang tamu yang akhirnya berantakan."Bagus! Akhirnya kau datang, Mas. Aku mau pulang saja. Menantu tak berguna ini akan pergi. Jadi, silakan ibu bereskan sendiri seperti yang ibu katakan tadi. Hanya petik cabai ibu bilang? Jangan lupakan kalau semua ini, aku yang masak SEN—DIRI—AN."Aku menekan kata sendirian agar ibu dan anak ini tahu apa yang membuatku marah. Aku melepas apron dan melempar di bawah kaki mas Wisnu."Alea berhenti! Bereskan kekacauan ini sekarang! Kalau tidak—""—kalau tidak apa mas? Menjualku dengan harga murah seperti kata ibumu tadi? Kalau begitu, lakukanlah! Maka, aku pastikan setelah ini kau akan menyesal seumur hidup."Aku berbalik meninggalkan mas Wisnu yang menatap ibunya dengan bingung. Aku memang mencintai suamiku itu, tetapi dia sungguh keterlaluan. Aku sudah muak berada di antara ibu dan anak itu."Satu lagi, Mas. Katakan pada ibumu itu, kalau harga diriku ini, jauh lebih tinggi dari harga cintanya padamu. Kau tahu kan semua yang kau miliki belum separuh dari harga diriku? Kalau mau menjualku dengan harga yang lebih tinggi lagi, kau tahu harus menghubungi siapa."Kembali aku menarik kain gorden hasil kerjaku semalam. Tak ada yang bersuara. Kulihat mas Wisnu berlari mengejar ku tanpa mendengar teriakan ibunya."Wisnu, biarkan dia pergi! Ibu bisa carikan kau wanita cantik dan baik—tak seperti wanita miskin itu."Aku tak peduli teriakan ibu mertua yang masih saja menghinaku. Aku memilih pulang walau harus jalan kaki—setengah berlari untuk menghindari suamiku itu.Mas Wisnu mengejar ku dengan mobilnya. Karena aku masih tak mau masuk ke mobil, dia keluar dan mengendong ku, lalu mendudukkan ke dalam mobil."Berapa kali mas bilang! Jangan dengarkan ibu bicara. Sebagai anak, kita harus bersabar."Mendengar ucapan mas Wisnu, membuatku muak. Dia pikir selama tiga tahun ini, apa yang aku lakukan ketika mendengar caci-maki ibunya?"Apa aku harus sabar ketika ibumu bilang mau menjualku meski dengan harga murah? Istrimu dianggap seperti pelacur, Mas. Kau masih minta aku sabar?"Ciiit ... Brak ....Maaf, Aku Pantang Cerai! (156)"Mama pasti tidak lupa di mana tempat itu? Lihat kain yang di kenakan Aino. Mama tidak lupa kan dengan hadiah istimewa itu?"Erlangga tertawa puas hingga menangis. Alea semakin mengeratkan pegangan tangannya, dia tau Erlangga tengah kembali ke masa paling menyedihkan dalam hidupnya."Siapa jalang yang sebenarnya, Ma. Aku kasihan melihatmu tapi kau sendiri yang menginginkannya, gadis yang kau puja setinggi langit justru wanita mainan suamimu. Dia di puaskan sebelum memuaskan dirimu, mereka bahkan bercinta di tempat tidur yang kau persiapkan untuk acara ulang tahun mu, bahkan mengunakan baju yang sama seperti milikmu. Saat kau mengerang di atas tubuh pria ini, dia tengah membayangkan bercinta dengan Aino buka dengan wanita tua sepertimu."Erlangga menuding jarinya pada sang mama. Terlihat kurang ajar jadi Alea menarik tangan itu dan mengecupnya, membuat Erlangga segera mengusap wajahnya dengan kasar."Rekaman ini yang suamimu minta sebelum mengirim ku ke pe
Maaf, Aku Pantang Cerai! (155)"Apa yang kau lakukan perempuan sialan? Kau menghancurkan perusahaan papaku!"Jennie berteriak seperti orang gila. Dia berusaha menyerang Alea, namun di saat yang tepat seseorang mendekap erat Alea."Jangan berani menyentuh istriku. Kalau tidak kau akan bernasib sama seperti perusahaan papamu, coba saja jika kau ingin membuktikannya."Jennie terkejut mendengar suara dingin di depannya. Dia tak menyangka Erlangga akan datang tepat waktu, dia sudah merencanakan penyerangan pada Alea, tapi tetap saja ketahuan."Dia hanya seorang janda beranak satu, Angga. Kenapa kau begitu mencintainya bahkan mengabaikan aku dan Aino."Jennie benar-benar tak habis pikir pada otak Erlangga. Dia sudah begitu lama berada di sisi Aino, tapi tak membuatnya ingat pada dirinya yang selalu ada ketika Erlangga bertemu Aino."Kau pasti tak bisa melihatnya karena matamu sudah buta. Wanita itu tak hanya cantik wajahnya tapi juga hatinya, sesuatu yang tak kau miliki begitu juga dengan Ai
Maaf, Aku Pantang Cerai! (154)"Selamat siang Bu Alea, bisakah kita bicara sebentar. Saya ada hal penting untuk dibicarakan dengan Bu Alea."Alea menatap wanita yang ada di depannya. Wanita yang baru-baru ini membuatnya pusing, sekarang dengan berani dia mengajak bicara. Apakah pelakor memang tak takut lagi dengan kuasa istri sah."Apa yang ingin anda katakan? Silakan saya akan mendengarkan."Alea memberi kesempatan pada Jennie untuk bicara. Dia ingin tau apa yang wanita ini inginkan, dia juga ingin tau sampai mana kebohongan Erlangga."Sebelumnya saya minta maaf, karena telah membuat Bu Alea dan pak Erlangga menjadi salah paham. Sebenarnya saya memang tak mengenal pak Erlangga sebelum saya pergi ke kantornya, kebetulan saat itu kami bertemu dan satu lift."Alea tersenyum tak menyela penjelasan Jennie. Jari tangannya mengetuk pelan meja, membuat Jennie sedikit gelisah. Ketukan jari Alea berhenti saat pelayan kafe datang membawa pesanan mereka."Silakan nikmati dulu minuman yang anda pe
Maaf, Aku Pantang Cerai! (153)Erlangga mendesah kesal, sembari menatap ruangan sang istri yang terlihat kosong. Wanita itu benar-benar marah hingga tak mau bicara dengannya, bahkan dia rela pindah ke kantor agar ayah dan ibunya tak curiga. Kalau anak dan menantunya sedang ribut, tapi begitu di kantor dia menutup ruangannya dan menghabiskan waktu dengan kedua anaknya. Pintu semua terkunci, jadilah Erlangga tak bisa masuk. Kalau Erlangga tidur di kamarnya, Alea dan kedua anaknya tidur di ruangan Alea, mengunakan tilam lantai."Bos, makan siang sudah siap."Dani berkata pelan sembari menatap kaca pembatas ruangan yang sudah tertutup gorden. Kemudian dia berbalik dan menatap si Bos yang terlihat kacau, jangankan makan, minum saja si bos tak mau."Dan, aku tunggu di ruanganku. Tetap di tempatmu." Melihat Alea muncul di pintu ruang istirahat. Erlangga hendak menemuinya, tapi Alea segera memberinya peringatan untuk tidak bergerak.Dani hanya bisa menggaruk kepalanya. Setelah melihat pintu
Maaf, Aku Pantang Cerai! (152)"Selamat siang Bu Alea, saya perwakilan dari perusahaan Samudra Jaya. Saya ada janji dengan pak Erlangga, tapi di arahkan untuk bicara dulu dengan anda."Alea menjabat tangan wanita yang baru saja menemuinya. Sepertinya wanita ini belum tau prosedur di perusahaan Erlangga."Iya silakan duduk, mohon maaf kalau boleh tau nama anda ....?"Alea bertanya karena sejak tadi wanita ini belum memperkenalkan dirinya. Dia melihat wanita ini sering melirik ke arah ruangan Erlangga, walau suaminya tak bereaksi tapi dia sedikit tak menyukainya."Di perusahaan ini memang seperti prosedurnya. Tamu pria bertemu dengan pak Erlangga sedangkan tamu wanita bertemu istrinya. Pria di sana itu suami saya jadi jangan tergoda dengannya."Alea tertawa seolah ucapan hanya bercanda. Wanita di depannya juga tertawa walau terdengar garing. Alea heran karena sampai sekarang wanita ini belum menyebut namanya sama sekali."Maaf sekali lagi saya harus memanggil nyonya atau nona?" tanya Ale
Maaf, Aku Pantang Cerai! (151)"Assalamualaikum Bu," ucap Alea."Mau apa kau kemari? Mau menertawai kemalanganku ini," tanya Bu Wastika."Bu, sekali saja jangan berpikir buruk padaku. Sejak awal menikah dengan mas Wisnu ibu tau pasti, kalau aku berusaha keras berbakti padamu, karena saat itu aku tak tau masih memiliki orang tua. Jadi aku menganggap ibu sebagai orang tuaku sendiri, apa yang tak ku lakukan untuk kalian semua. Jadi pembantu gratisan aku juga rela, tapi apa pernah kalian menganggap ku? Tidak sama sekali.Ibu terus membenci dan memfitnahku, di depan tetangga bahkan di depan suamiku sendiri. Seolah senang aku diam ibu terus berulah, hingga akhirnya menikahkan suamiku dengan wanita lain. Jika wanita itu baik mungkin aku bisa terima bermadu, tapi wanita itu seorang pelacur yang hamil bukan anak mas Wisnu. Katakan Bu, tidakkah ibu yang telah begitu kejam padaku dan mas Wisnu?"Alea menyeka airmatanya dia sudah tak tahan lagi. Semua yang dia pendam selama ini akhirnya keluar dar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen