Share

Bab 2

Author: Lucy Finston
Atmosfer di dalam ruangan anjlok ke titik beku. Amelia menatap Derren dengan mata memerah, tidak menjawab dan hanya mencengkeram ujung selimut.

Jibran berbalik, ekspresinya sontak berubah begitu melihat orang yang datang. Dia segera berdiri protektif di depan ranjang dan bertanya, "Ngapain kamu di sini?"

Derren bahkan tidak repot-repot membalas dan hanya meliriknya tajam. Jibran tertegun, tetapi tidak bergerak selangkah pun dari tempatnya.

Amelia tahu bahwa Derren memiliki kekuasaan besar di ibu kota. Dia tidak ingin Jibran terseret dalam masalah karena dirinya. Jadi, dia menepuk lembut punggung Jibran dan berkata, "Nggak apa-apa. Aku mau bicara dengannya."

Derren menatap tangan Amelia di punggung Jibran. Ekspresinya bertambah dingin dan rahangnya mengetat, merasa sangat tidak senang. Dia memang seharusnya tidak berkompromi dengan wanita ini!

Sebelumnya Amelia bersikeras tidak mau bercerai, tetapi sekarang dia setuju dengan begitu mudah. Pantas saja dia begitu terburu-buru dan berinisiatif menggugurkan bayinya. Ternyata dia sudah menemukan kekasih baru!

Di tengah atmosfer tegang di ruangan, Charles tiba-tiba membuka pintu. Dokter itu ragu-ragu untuk masuk, lalu akhirnya hanya menjulurkan kepalanya dan berkata, "Pak Jibran, keluarga pasien, tolong kemari sebentar. Masih ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani."

Keluarga pasien? Saking marahnya, Derren hanya bisa tertawa. Dia dan Amelia bahkan belum bercerai!

Jibran melirik Amelia sekilas, lalu akhirnya mengalah. Dia berjalan menuju pintu, melewati Derren dalam prosesnya.

Pintu tertutup, ruangan kembali diselimuti keheningan.

Hati Amelia terasa hampa. Dia sudah tidak berkeinginan untuk berdebat dan hanya berkata, "Derren, mari kita cerai."

Derren memasang ekspresi dingin. Saat tatapannya jatuh pada perut Amelia, wajahnya menunjukkan kekejaman yang tidak bisa disembunyikan.

Amelia berusaha duduk dengan susah payah, lalu mengambil surat cerai yang sudah dia siapkannya sebelumnya. Gerakan sederhana ini saja sudah membuat wajahnya pucat kesakitan. Bulir keringat menetes dari dagu tirusnya ke kerah bajunya.

Derren hanya memandang wanita itu dengan cuek dan tangan bersedekap, sama sekali tidak tergerak oleh belas kasihan.

Amelia memberikan dokumen yang sudah disiapkannya sambil berkata, "Ini surat cerainya. Setelah aku keluar dari rumah sakit, kita bisa segera pergi ke Kantor Catatan Sipil untuk mengurus prosedurnya." Sekarang, dia tidak memedulikan terlalu banyak hal lagi.

Derren mengambil dokumen itu dan melirik Amelia dengan sorot yang sama sekali tidak menyimpan kehangatan. Setelah membolak-balik halamannya dengan cepat, dia melempar dokumen itu kembali dengan kasar ke tangan Amelia.

"Kamu mau mengambil kembali aset Keluarga Batara?" ucap Derren dengan nada mengejek.

Amelia mendongak, menatap mata pria itu dengan penuh tekad dan menjawab, "Aku hanya mengambil kembali milikku."

Amelia melihat kebencian, cemooh, kecemburuan, serta sesuatu yang tidak dimengertinya di mata gelap Derren.

Derren mendekat, mengikis jarak dengan kakinya yang panjang. Tubuhnya yang jangkung menjulang di atas wanita mungil dan rapuh di ranjang rumah sakit. Dia berkata, "Saat itu, Keluarga Adhinanta-lah yang melunasi utang Keluarga Batara. Keluarga Batara sudah lama jatuh. Amelia, kamu nggak punya apa-apa lagi."

Kata-kata Derren menorehkan luka dalam di hati Amelia. Bahunya yang kurus bergetar pelan. Benar, dia yang sekarang memang tidak memiliki apa pun lagi.

Melihat gejolak emosi di wajah Amelia, Derren tersenyum puas. Kedua tangannya yang saling menggenggam tanpa sadar mengusap-usap cincin di jari manisnya.

"Jadi, kamu menggugurkan bayimu dan setuju untuk bercerai karena dia?" tanya Derren.

Amelia mendongak, lalu tertawa getir. Katanya, "Biarpun aku menyangkal, kurasa Pak Derren juga nggak akan percaya."

Amarah berkobar di mata Derren. Jari-jari rampingnya tiba-tiba terulur dan menjepit dagu tirus Amelia, membuat wanita itu meringis kesakitan. Dia mengancam, "Jangan lupa, aku masih belum selesai membuat perhitungan denganmu."

Amelia berusaha meronta, tetapi tidak sanggup melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Meski perutnya masih melilit kesakitan, dia menatap Derren dengan sorot keras kepala dan berkata dengan gigi terkatup, "Bukan aku yang menyebabkan kecelakaan Yovana."

Mata Derren berubah dingin dan cengkeramannya pun mengencang. Nada bicaranya juga bertambah dingin saat dia berkata, "Kasus itu sudah mencapai putusan, tapi kamu masih saja menyangkal. Gara-gara kamu, Yovana nggak bisa menari lagi dan rahimnya kehilangan kemampuan mengandung. Kalau saja dia nggak bersikeras melepaskan tuntutan, sekarang kamu sudah mendekam di penjara!"

Sekujur tubuh Amelia dijalari hawa dingin. Jantungnya berdebar-debar. Dia tidak bisa menahan diri untuk terbatuk-batuk.

Heh, pantas saja Derren bersikeras agar bayi itu dipertahankan. Ternyata itu karena Yovana, kekasih barunya, tidak mampu mengandung.

Amelia tahu seberapa besar keinginan Derren untuk memiliki buah hati. Saat mereka tengah bercinta sebelumnya, pria itu pernah berulang kali berbisik dengan suara serak, "Amelia, ayo punya anak, oke?"

Namun, saat itu Amelia belum lulus dan tidak bersedia. Belakangan, dia juga sibuk dengan pekerjaan dan kariernya sendiri. Derren menghormati keputusan Amelia dan tidak membahasnya lagi.

Beberapa bulan lalu, Amelia menyingkirkan harga diri terakhirnya dan menghampiri ranjang Derren. Ya, dia mencoba menggunakan bayi itu untuk menyelamatkan pernikahan yang sudah di ambang kehancuran ini. Ini adalah upaya terakhirnya.

Jika dipikirkan sekarang, hal itu sungguh menyedihkan sekaligus menggelikan.

"Derren, kamu selalu percaya apa yang kamu lihat. Tapi, memangnya kamu nggak pernah membuat kesalahan apa pun dalam hidupmu?" tantang Amelia.

Pria itu melepas cengkeramannya. Dia mengambil hasduk yang melingkari leher dan menyeka jari-jarinya yang menyentuh wajah Amelia sambil berkata, "Kamu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku."

Amelia menggigit bibir pucatnya hingga hampir berdarah. Dia sudah mengerahkan segala cara untuk menyelamatkan pernikahan ini.

Menangis, membuat keributan, bahkan hingga mengancam untuk bunuh diri. Segala trik yang paling dibenci Amelia telah dicobanya.

Derren yang dahulu selalu memperlakukannya dengan lembut kini berubah menjadi gunung es yang tidak akan pernah mencair.

"Derren, apa kita nggak bisa pisah baik-baik?" tanya Amelia.

Derren menatap wanita pucat dan kurus di atas ranjang. Amelia terlihat begitu rapuh, seakan-akan bisa hilang tertiup angin kapan saja.

Entah apa alasannya, Derren merasa jengkel. Dia mondar-mandir sejenak di dalam ruangan. Kemudian, dia berkata dengan gigi terkatup dan raut muram, "Amelia, kita sudah di titik ini, jadi aku jujur saja padamu. Orang yang membunuh ibuku adalah ibumu, Diana Batara! Buktinya sudah ada di tanganku. Kamu pikir, kita masih bisa pisah baik-baik?"

Bak baru disambar petir, Amelia tiba-tiba duduk tegak. Rasa sakit yang hebat di perut kembali membuat wajahnya memucat.

"Nggak mungkin ...," gumam Amelia. Ibunya dan ibu Derren adalah sahabat dekat. Ibunya mana mungkin membunuh Farah!

Derren mendengus dingin, seolah-olah sudah menebak reaksi Amelia. Mata hitam sipit itu berkilat tajam, sorot dingin yang dipancarkannya membuat sekujur tubuh Amelia bergetar.

"Boleh saja cerai, tapi silakan pergi tanpa membawa apa pun. Aku nggak akan memberimu sepeser pun, kecuali ...." Derren mundur beberapa langkah. Dengan satu tangan di saku celana, dia menatap Amelia yang duduk di atas ranjang dan melanjutkan, "Kecuali kalau kamu melahirkan seorang bayi lain untukku. Aku akan memberimu uang, sebanyak apa pun yang kamu kamu."

Amelia bahkan masih terguncang atas berita yang baru didengarnya. Kini air mata sudah mengancam turun ke pipinya.

Detik itu, Amelia merasa sangat terhina. Dia mengambil surat cerai dan melemparnya pada Derren.

Pria itu hanya mematung, membiarkan lembaran kertas melayang jatuh ke lantai. Sama seperti cinta mereka yang hancur berantakan.

Sambil menahan air mata, Amelia berucap dengan suara bergetar, "Ada banyak wanita di ibu kota yang berharap bisa melahirkan anakmu. Aku nggak akan menjadi mesin produksi anak buatmu!"

Derren memandang dingin lembaran dokumen yang beterbangan. Dia merasa sedikit puas karena berhasil mengacak-acak emosi wanita di depannya.

Wajah muram Derren dan seringai kejamnya serasa menusuk mata Amelia.

"Jangan lupa, kamu masih bergantung pada Keluarga Adhinanta untuk biaya perawatan Pak Martin di sanatorium!" ancam Derren lagi.

Jantung Amelia berdebar kencang. Dia berseru dengan mata memerah panik, "Jangan sentuh Kakek!"

Derren tahu betul kelemahan Amelia. Setahun lalu, kakeknya didiagnosis menderita alzheimer. Lantaran kondisinya tidak stabil, pria tua itu harus dirawat secara cermat di sanatorium terbaik di ibu kota. Biaya bulanan perawatan di sana hampir mencapai 400 juta.

Mata Derren tertuju ke perut rata Amelia. Maksud tatapannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia berucap, "Kalau kamu mau aku terus membayar biaya perawatannya, kamu tahu apa yang harus dilakukan."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status