Share

Maaf, Cinta Telah Hampa
Maaf, Cinta Telah Hampa
Author: Lucy Finston

Bab 1

Author: Lucy Finston
Amelia Batara sama sekali tidak terkejut ketika didiagnosis mengidap kanker. Ibunya meninggal dengan cara yang sama, jadi sejak awal dia sudah siap mental. Namun, setidaknya ibunya telah melahirkannya.

Sementara Amelia ... sepertinya dia tidak akan mampu mempertahankan bayi kecil dalam kandungannya.

"Bu Amelia? Bu Amelia?" panggil seorang dokter bernama Charles.

Setelah dipanggil beberapa kali, Amelia baru tersadar dari lamunan dan menyahut dengan suara serak, "Maaf."

Amelia mendadak pingsan, lalu dilarikan ke rumah sakit oleh pejalan kaki yang kebetulan lewat. Perutnya sakit melilit tiada henti.

Charles melirik ke arah pintu, terlihat ragu-ragu untuk bicara. Wanita bertubuh kurus ini hanya terbaring sendirian di ranjang rumah sakit, tanpa ditemani seorang keluarga pun.

"Berdasarkan hasil tes darah dan kondisi fisikmu saat ini, prosedur pengangkatan janin harus segera dilakukan. Kalau ditunda, nyawamu akan berada dalam bahaya. Silakan hubungi anggota keluargamu, kami akan segera menjadwalkan operasi," ucap Charles.

Anggota keluarga? Amelia bertanya dengan raut suram, "Apa rumah sakit bisa memberiku surat pelepasan tanggung jawab? Aku akan menandatanganinya sendiri."

Charles bersedekap dan menjawab dengan ekspresi serius, "Apa kamu mengerti seberapa besar risiko operasi ini? Kami nggak sanggup menanggungnya!"

Amelia meraih ponselnya, merasa bimbang untuk sejenak. Akhirnya, dia menelepon nomor yang sangat akrab itu.

Dahulu, begitu Amelia menelepon, tidak peduli masalah besar ataupun kecil, Derren Adhinanta pasti langsung datang ke sisinya. Tak disangka, semua akan berubah secepat itu.

Setelah berdering tujuh hingga delapan kali, panggilannya baru diangkat.

"Ada apa?" tanya pria itu dengan suara rendah, terdengar sangat tidak sabar.

Aura dingin menguar dari lubang suara ponsel. Amelia mencengkeram erat perangkat itu hingga ujung jarinya memutih, menahan sakit yang menusuk di perutnya.

"Derren, aku di Rumah Sakit Pratama, apa kamu ... bisa datang dan tanda tangan sesuatu?" tanya Amelia. Dia tidak ingin memberi tahu pria itu bahwa dirinya mengidap kanker dan terpaksa harus menggugurkan bayinya. Amelia belum ingin menyerah, dia masih bertaruh pada suatu harapan tipis.

"Aku nggak bisa," balas Derren dengan nada dingin dan kasar, hendak langsung menutup telepon. Saat ini dia sedang menemani Yovana konseling psikologis.

Bibir Amelia tampak memutih, bahunya bergetar pelan, dan wajahnya makin pucat. Dia berkata, "Kalau kamu datang tanda tangan, aku akan menceraikanmu."

Derren mendengus kasar, lalu membalas dengan suara rendah magnetisnya yang bernada tajam, "Jangan melakukan hal yang sia-sia, Amelia. Aku sudah bilang sejak awal, kita akan bercerai setelah bayi itu lahir. Bukan kamu yang membuat keputusan di sini."

Suara dari ponsel terdengar sangat jelas di dalam kamar pasien yang hening. Mata Charles memancarkan simpati, tetapi Amelia pura-pura tidak melihatnya.

Ya, Derren hanya mempertahankan pernikahan mereka demi anak yang berada dalam kandungannya.

Amelia menyampingkan egonya dan menolak bercerai karena dia tidak ingin bayinya terlahir tanpa ayah, seperti dirinya. Sekarang, anak itu sudah harus pergi. Tidak ada artinya lagi Amelia dan Derren mempertahankan pernikahan ini.

Hati Amelia dihantam rasa sakit yang luar biasa. Hidungnya perih dan matanya memanas. Baru saja dia hendak bicara, suara di ujung telepon menyelanya.

"Apa ada keluarga Nona Yovana di sini?"

Derren segera menjawab dengan suara rendah bernada tenang, "Ya, aku."

Tubuh Amelia bergetar. Air matanya membanjir, tetapi bibirnya justru melengkungkan senyum tipis. Saat ini, dirinya seperti tali busur yang diregangkan terlalu lama dan akhirnya putus.

Pandangan Amelia menggelap dan kesadarannya menghilang. Bau darah memenuhi udara di ruangan itu.

"Pasien mengalami syok hemoragik, segera siapkan ruang operasi ginekologi!"

Ketika Derren hendak memutus panggilan, samar-samar terdengar suara ribut dari seberang telepon yang lalu disusul nada sibuk.

Derren menepis setitik kekhawatiran tak terbaca di hatinya. Raut wajahnya masih setajam dan setenang biasanya saat dia membuka pintu dan masuk ke ruang konsultasi.

Rumah Sakit Pratama.

Amelia merasa seperti baru bermimpi panjang. Dalam mimpi itu, dia terus menangis tanpa henti. Namun, semua air matanya jatuh ke telapak tangan hangat Derren.

Pria itu menghiburnya dengan suara lembut dan tanpa lelah, seolah-olah dia memiliki kesabaran tak terbatas.

Di tengah serangan rasa sakit yang hebat, Amelia terbangun. Cahaya putih yang menyilaukan membuatnya sulit membuka mata. Entah mana yang lebih sakit sekarang, tubuhnya ataukah hatinya.

Ya, Amelia dan Derren akan segera bercerai. Apa artinya cinta mereka selama bertahun-tahun?

Pernah ada masa ketika Derren ingin menggendong Amelia hanya karena wanita itu terjatuh, agar kakinya tidak perlu menjejak tanah. Sekarang, saat Amelia dibawa ke ruang operasi, pria itu bahkan tidak peduli.

Seorang perawat masuk untuk melakukan pemeriksaan rutin. Dia bertanya, "Bu Amelia sudah bangun? Apa ada yang terasa kurang nyaman?"

Amelia menggeleng. Wajahnya sangat pucat dan tubuhnya begitu rapuh, seakan-akan dia bisa mati kapan saja.

Perawat itu meninggikan tempat tidur dan mengatur laju infus sambil berucap lagi, "Keluargamu sudah datang. Dia akan segera ke sini setelah mengurus prosedur di luar."

Amelia mendongak kaget, matanya memancarkan setitik harapan kecil. Derren datang?

Bunyi langkah kaki kian mendekat. Suara Charles juga terdengar dari pintu kamar pasien, "Lain kali, segeralah datang. Kondisi istrimu sudah seperti ini, jangan terlalu keras kepala."

Jantung Amelia berdebar-debar seiring pintu yang dibuka.

Seorang pria berjalan di belakang Charles, terlihat ragu-ragu untuk bicara. Begitu melihat Amelia, dia langsung berkata dengan wajah gembira, "Kak Amelia, kamu sudah siuman?"

Amelia tertegun sejenak melihat siapa yang datang. Kemudian, sesuatu dalam hatinya diam-diam hancur berkeping-keping. Bukan Derren. Ya, mana mungkin pria itu datang? Bisa-bisanya dia masih berani berharap.

Amelia menyembunyikan gejolak emosi di matanya. Sambil memaksakan sebuah senyuman kecil, dia bertanya, "Jibran, kenapa kamu ke sini?"

Orang yang datang adalah Jibran Khoman, perawat kakek Amelia. Pemuda itu mengenakan celana jin dan kaus bertudung, gaya berpakaian mahasiswa biasanya.

Jibran memegang setumpuk tagihan dan laporan pemeriksaan. Dinilai dari lapisan keringat di dahinya, tampaknya dia datang dengan terburu-buru.

Melihat binar mata Amelia yang seketika meredup, Jibran tahu bukan dirinya yang ditunggu Amelia. Dia mencoba tetap tegar dan berucap sambil tersenyum, "Jangan khawatirkan kakekmu, aku sudah mengatur seseorang menemaninya di sanatorium."

Amelia menerima air hangat yang diberikan Jibran, membalas sambil mengangguk, "Terima kasih."

Charles meninggalkan beberapa instruksi, lalu keluar. Seisi ruangan berubah hening.

Jibran duduk di samping ranjang rumah sakit, berusaha terdengar kasual saat berkata, "Penyakitmu ... Dokter Charles sudah bilang padaku. Kita coba obat-obatan dulu. Kalau nggak efektif, baru coba kemoterapi. Sementara itu, kita bisa pelan-pelan cari donor sumsum tulang yang cocok."

Amelia memalingkan wajah, memandang ke luar jendela dengan sorot setenang air danau. Dia membalas, "Menemukan donor yang cocok itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nggak usah cari, nggak perlu."

Amelia masih belum berani menyentuh perutnya yang sudah rata. Dia kembali kehilangan seorang keluarga. Setelah ibunya meninggal, sang kakek menjadi satu-satunya keluarganya. Hanya saja, sekarang kakeknya sering tidak mengenalinya.

Derren pernah menjadi satu-satunya cahaya bagi Amelia di dunia yang sepi ini. Namun, semua berubah sejak setahun lalu.

Yovana Taksa, putri angkat Keluarga Adhinanta, mengalami kecelakaan. Dari kesaksiannya, Amelia menjadi sosok tertuduh yang melakukan percobaan pembunuhan. Derren yang selama ini paling protektif pada Amelia pun memercayai tuduhan itu dan menuntut cerai.

Amelia menunduk, menatap telapak tangannya yang kosong. Pada akhirnya, dia tidak memiliki siapa-siapa.

Melihat raut lelah di wajah Amelia, Jibran tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia berdiri, lalu menyelimuti wanita itu.

Pintu ruang pasien tiba-tiba terbuka. Derap langkah kaki berhenti tepat di depan pintu.

Amelia memandang ke sana melewati bahu Jibran. Seorang pria dengan setelan hitam berdiri di depan pintu dengan ekspresi tidak senang.

Derren menatap pemuda di samping ranjang dengan sorot tajam. Ekspresinya luar biasa dingin dan bibirnya menyunggingkan seringai mengejek. Dia berkata dengan nada rendah yang sarat amarah, "Amelia, jadi ini alasanmu menggugurkan bayi itu?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status