Share

Bab 4

Author: Lucy Finston
Amelia mencengkeram tasnya erat-erat, lalu bergegas berlari ke dalam vila dengan panik. Dia langsung menuju ruang pameran di lantai teratas.

Itu adalah ruangan satu-satunya di vila yang dilengkapi pintu tahan api. Asalkan Amelia bisa masuk ke sana, dia bisa mengulur waktu!

Namun, Amelia yang baru pulih dari penyakit serius mana bisa mengalahkan kecepatan para preman yang mengejarnya? Lengan bajunya hampir saja diraih salah satu dari mereka.

Untungnya, Amelia mengenali tata letak vila dengan baik. Dalam sekejap mata, pintu ruang pameran sudah tepat di depannya.

Tepat saat Amelia hendak masuk, preman di belakang melemparkan belati ke arahnya dengan marah. Sebuah luka menganga seketika muncul di lengan kurusnya. Klang! Belati itu jatuh ke lantai.

Amelia kesakitan hingga pandangannya berubah kabur, tetapi dia tetap berusaha sekuat tenaga untuk menyelinap masuk ke dalam ruangan. Pinggang rampingnya menghantam pintu logam. Sambil mencengkeram lengannya, tubuhnya merosot turun di sepanjang dinding.

Di depan pintu, para preman itu sudah beralih menggunakan linggis dan menggedor pintu dengan kasar. Suara keras itu membuat Amelia pucat ketakutan dan sekujur tubuhnya gemetar.

Darah segar mengalir dari luka di lengannya, merembes cepat ke lengan baju Amelia. Dia hanya mengenakan gaun putih polos, jadi noda darah itu begitu mencolok. Penglihatannya berangsur-angsur kabur ....

"Jalang kecil, kamu tunggu saja!" seru preman di luar pintu.

Amelia mengeluarkan ponselnya dengan tangan bergetar. Ada sebuah pesan WhatsApp dari Derren.

[ Kamu di mana? ]

Mengikuti naluri, Amelia menelepon nomor yang paling dihafalnya itu. Panggilan itu diangkat dengan cepat.

"Amelia, kamu ...." Amelia tidak sabar mendengar kata-kata bernada marah pria itu. Lukanya tidak berhenti berdarah, dia sangat kesakitan hingga pandangannya menggelap dan telinganya mulai berdenging. Dia langsung menyela, "Derren, studio di pinggiran kota, tolong aku ...."

Panggilan itu tidak terputus, tetapi tidak ada lagi suara yang terdengar.

Derren menyipitkan mata hitamnya dan meraung, "Amelia, Amelia!"

Tidak ada jawaban yang terdengar. Suara berisik di ujung telepon segera berubah menjadi nada sibuk, tanda panggilan terputus. Derren tiba-tiba berdiri dari kursinya. Setumpuk kontrak tebal jatuh berserakan ke lantai karena gerakan mendadaknya.

Theo, sang asisten, mendengar suara itu. Dia segera mengetuk pintu dan bertanya, "Pak Derren butuh sesuatu?"

Sebelum pertanyaannya dijawab, Theo sudah dibuat terkejut dengan pintu kantor presdir yang tiba-tiba terbuka. Yang lebih mengejutkannya adalah binar panik yang sangat jarang terlihat di mata Derren.

Derren mengenakan jasnya sambil berjalan, memasuki lift secepat kilat. Dia berkata, "Panggil orang-orang ke studio di pinggiran kota."

Theo langsung mengerti dan segera bertindak. Tampaknya Amelia sedang berada dalam bahaya.

Theo mengira Derren akan berkendara bersamanya. Namun, setiba di garasi bawah tanah, dia melihat sebuah mobil sport hitam melaju pergi secepat kilat dan menghilang dari pandangan.

Theo tidak berani menunda-nunda. Dia pun segera berangkat bersama para pengawal.

Di studio pinggiran kota.

Amelia meringkuk kedinginan di sudut, tubuhnya gemetar tanpa kendali. Para preman masih menggedor pintu dari luar. Pintu logam itu sudah penyok dan berubah bentuk, tidak lama lagi mungkin akan segera runtuh.

Napas Amelia berangsur-angsur melemah. Tangan yang menekan lukanya pun terkulai tanpa tenaga.

Amelia menatap kosong ke bingkai foto yang tergantung di dinding ruang pameran. Dalam foto itu, dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang lebar yang anggun. Tangannya menggenggam cangkir kopi dengan santai dan bibirnya menyunggingkan senyum cerah.

Foto itu diambil oleh Derren sendiri pada hari studio dibuka. Kala itu, Derren selalu tersenyum lembut setiap menatap Amelia.

Pria yang selalu mengingatkannya agar jangan bekerja terlalu keras kini justru mencampakkannya dengan kejam.

Brak! Pintu ruang pameran terbuka.

"Jangan biarkan wanita itu pergi! Mana dia?"

"Ada noda darah. Di sana! Bos, di sudut!"

Amelia memejamkan matanya pasrah, tetapi tangan-tangan preman itu tidak kunjung datang padanya. Di tengah suara langkah kaki kacau, dia mengenali suara yang akrab di telinganya.

Dengan sisa tenaganya, Amelia membuka mata dan melihat sosok bertubuh tinggi itu. Dia adalah Derren.

Dua kancing teratas kemeja hitam Derren terbuka, mengekspos tulang selangkanya yang tegas dan otot dada kencangnya. Lengan bajunya digulung, kainnya melilit ketat lengannya yang berotot. Celana panjangnya menempel pas di kaki yang panjang dan kuat.

Dasi dari kain mewah dililitkan erat di tangan kanan Derren yang meninju lawan tanpa ampun. Hanya dalam beberapa gerakan, para preman itu berhasil dilumpuhkan.

Mereka yang meratap kesakitan diberikan beberapa pukulan ekstra. Tidak butuh waktu lama, ruangan itu sudah berubah hening.

Gaya rambut Derren yang selalu rapi kini acak-acakan. Beberapa helai rambut jatuh ke wajahnya, menambah kesan kejamnya.

Sol sepatu Derren yang keras menekan tangan salah satu preman ke lantai beton. Dia berkata dengan nada dingin yang familier, "Bicaralah."

Wajah preman itu memucat dan tubuhnya gemetar kesakitan. Di tengah kesakitan ekstrem seperti itu, mana bisa dia berkata-kata!

Semua orang mengetahui kekejaman Derren, putra Keluarga Adhinanta itu. Para preman ini hanya disuruh untuk memberi pelajaran pada Amelia. Siapa yang menyangka mereka malah akan menyinggung Derren, sosok yang begitu berkuasa itu!

Terdengar derap langkah kaki beberapa orang di tangga. Derren tidak membuang waktu lebih banyak. Dia menegakkan tubuh dan mengusap pergelangan tangannya.

"Theo, bawa mereka pergi," ujar Derren.

Amelia sudah sepenuhnya tidak bertenaga. Dia memejamkan matanya dan jatuh pingsan.

Derren bergegas mendekat, mengangkat Amelia dari sudut ruangan ke dalam dekapannya. Saat menyentuh kulit wanita itu, alisnya berkerut dalam.

Mengapa tubuhnya bisa sedingin ini? Wajah Amelia bahkan lebih pucat dari bibirnya dan terlihat sedikit membiru.

Derren berdiri, lalu tiba-tiba mencium bau anyir darah. Begitu menunduk, dia baru menyadari lengan Amelia yang masih mengalirkan darah.

Tatapan Derren berubah suram. Dia segera membuka ikatan dasinya dan membebat erat luka Amelia. Kemudian, dia melepas jas dan menyelimuti Amelia dengannya, melangkah keluar dengan langkah lebar.

Melihat situasi ini, Theo bergegas menyusul sang atasan.

Langkah Derren terhenti sejenak. Dia menatap tajam para preman yang terkapar tidak berdaya itu dan berkata, "Bawa mereka pergi dan interogasi dengan baik. Cari tahu siapa yang menyebabkan luka di lengannya."

Wanita dalam gendongannya terasa sangat ringan, seakan-akan tidak berbobot. Hati Derren bergejolak. Sejak kapan Amelia menjadi begitu kurus?

Di halaman vila, Theo yang baru keluar gerbang tiba-tiba mundur lagi. Dia berucap, "Pak Derren, ada banyak reporter di luar."

Reporter? Alis Derren terangkat. Dia kembali menatap wanita dalam dekapannya dengan sorot dingin.

Tempat ini sangat terpencil dan tidak banyak diketahui orang. Jika kejadian ini tidak direncanakan, mana mungkin bisa datang begitu banyak reporter?

Derren tanpa sadar mengencangkan cengkeramannya, membuat Amelia di dekapannya mengernyit kesakitan.

Merancang drama yang membahayakan diri sendiri, lalu memanggil reporter untuk memublikasikannya. Ini persis cara yang digunakan seorang wanita licik!

Melihat perubahan emosi di wajah Derren, Theo memberanikan diri untuk bersuara. Dia menyarankan agar mereka membubarkan reporter terlebih dahulu.

Derren tersenyum mengejek dan membalas, "Nggak perlu, ikuti saja permainannya. Aku mau lihat trik apa lagi yang dia miliki."

Theo tidak berani menanyakan siapa orang yang dimaksud Derren. Dia menggertakkan giginya, menarik napas dalam-dalam, lalu keluar dari halaman dan menghidupkan mesin mobil.

Mengabaikan para reporter yang memotret heboh situasi di sana, Theo pergi bersama Derren dan Amelia yang masih belum sadarkan diri.

Di tengah perjalanan menuju Rumah Sakit Pratama, Derren mencium bau darah yang makin lama makin kuat. Dia mencoba mengencangkan bebatan dasi di pergelangan tangan Amelia untuk menghentikan pendarahan. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil berarti. Hanya dalam hitungan menit, pakaian Derren dan Amelia sudah lengket oleh darah.

Theo juga menyadari situasi yang tidak beres dan berkata dengan hati-hati, "Pak Derren, apa Bu Amelia baik-baik saja?"

Pelipis Derren berdenyut-denyut. Dia memerintah dengan suara rendah dan serak, "Kemudikan lebih cepat!"

Derren sudah memeriksa luka Amelia dan memastikannya tidak serius. Lantas mengapa pendarahannya masih belum berhenti?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status