Share

Bab 5

Author: Lucy Finston
Yovana telah menerima laporan atas kemunculan Amelia di studio dari informannya. Namun, belakangan informan itu kehilangan kontak dengan para preman yang ditugaskan membuat kekacauan di sana.

Di sisi lain, para reporter yang dikirimnya berhasil memotret Derren di gerbang. Pria itu tengah menggendong Amelia yang pingsan.

Yovana menggertakkan giginya penuh kebencian. Jantungnya berdebar gelisah. Derren seharusnya sudah sangat membenci Amelia. Mengapa dia masih pergi menyelamatkannya?

Mata Yovana berkilat licik. Dia segera mengambil ponsel dan menelepon Derren. Dia tidak boleh kalah dari Amelia jalang itu!

Panggilan itu datang tepat setelah Derren selesai mengobati luka lecet kecil di tubuhnya. Dia berkata di telepon, "Halo, Yovana. Ada apa?"

Yovana sesenggukan dan berucap dengan nada terisak pilu, "Kak Derren, Kak Amelia mungkin sedang dalam bahaya. Ini salahku!"

Raut wajah Derren berubah muram. Apa kaitan Yovana dengan masalah ini?

Mata Derren berkilat suram dan tak terbaca. Namun, dia tetap bertanya dengan nada tenang, "Ada apa? Jangan panik dulu, ceritakan padaku."

Yovana berkata dengan suara bergetar, "Gara-gara insiden sebelumnya, beberapa penggemar ekstrem mencoba membalas dendam pada Kak Amelia. Aku barusan dapat kabar kalau mereka sepertinya pergi membuat masalah ke studio Kak Amelia. Kak Derren, apa kamu bisa memeriksa situasi di studio? Aku takut dia kenapa-kenapa."

Derren menyahut dengan nada yang lebih lembut, "Nggak usah cemas, dia baik-baik saja. Sekarang dia sudah berada di Rumah Sakit Pratama."

Yovana terkesiap, lalu berucap dengan nada panik, "Kak Amelia terluka? Maafkan aku, Kak Derren, ini salahku. Dia pasti terluka parah, ya? Aku ke sana sekarang!"

Derren mengusap keningnya dengan jengkel. Tidak ingin menambah masalah, dia pun berkata, "Dia hanya mendapat beberapa jahitan. Nggak perlu datang, kamu istirahat saja."

Yovana sangat tidak puas mendengar Amelia hanya terluka ringan. Meski begitu, dia tetap mengakhiri panggilan dengan patuh.

Setelah memikirkannya sejenak, mata Yovana berkilat penuh perhitungan. Pada akhirnya, dia menyuruh seseorang menyiapkan mobil untuknya pergi ke rumah sakit.

Saat Yovana tiba di rumah sakit, Amelia sudah ditempatkan di kamar pasien. Tidak terlihat sosok Derren di mana pun.

Lengan kiri Amelia dibalut perban tebal setelah lukanya selesai dijahit. Obat biusnya masih bekerja, jadi dia masih terbaring tidak sadarkan diri dengan wajah pucat.

Yovana menatap wajah Amelia sambil mencengkeram sandaran tangan kursi roda. Mungkin karena wajah inilah, Derren masih belum bisa melupakan Amelia sampai sekarang.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Yovana menoleh, kilat kejam di matanya meredup. Dia mengira itu Derren, ternyata yang datang adalah dokter.

Charles ragu-ragu sejenak sebelum masuk, lalu bertanya sambil mengernyit, "Mana keluarga pasien?" Sepertinya suaminya barusan di sini.

Yovana segera menjawab, "Amelia adalah kakak iparku, ada apa?" Dia berharap sesuatu yang serius menimpa Amelia.

Charles sedikit bimbang, tetapi tetap menyerahkan hasil tes darah di tangannya. Dia berucap, "Hasil tes darah pasien masih menunjukkan masalah serius. Pengobatan leukemia harus segera dimulai. Minta keluarga pasien untuk menemuiku di kantor nanti."

Yovana hampir terbahak mendengar kata leukemia dari bibir sang dokter. Dia sampai harus mencubit dirinya sendiri untuk mengendalikan ekspresinya saat berkata, "Baik, terima kasih, Dokter. Aku akan sampaikan pada kakakku."

Setelah Charles pergi, Yovana tidak bisa menahan diri lagi untuk tertawa dingin dan bergumam, "Lihat, Amelia, Tuhan bahkan sedang menolongku. Sadar dirilah dan mati sesegera mungkin."

Yovana mengambil ponselnya dan tidak berhenti memotret Amelia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.

Derren memiliki jadwal rapat daring penting. Tadinya dia ingin membatalkannya, tetapi tekanan dari dewan direksi membuatnya terpaksa menghadiri rapat tersebut di dalam mobil.

Begitu kembali ke kamar pasien, Derren bertemu Yovana di pintu. Wanita itu mendongak terkejut, lalu menunjukkan raut gembira di wajahnya.

"Kak Derren! Aku menunggumu dari tadi," ujar Yovana.

Derren berjalan mendekat. Tatapannya tertuju pada dokumen di tangan Yovana. "Ada apa?" tanyanya.

Yovana memberikan dokumen itu pada Derren dengan patuh, menjelaskan dengan ekspresi khawatir, "Ini laporan hasil tes darah Kak Amelia. Barusan dokter datang dan bilang kalau dia menderita anemia berat, harus dirawat secara intensif. Aku kenal beberapa ahli hematologi, tadi aku sudah meminta seseorang menghubungi mereka ...."

Derren membolak-balik dokumen itu, sama sekali tidak menyadari kilatan mata wanita di depannya. Yovana mana mungkin memberi tahu Derren bahwa Amelia menderita leukemia? Dia sudah tidak sabar menantikan Amelia mati!

Derren menunduk, melirik bekas luka dengan kedalaman beragam di pergelangan tangan Yovana. Dia berkata dengan perhatian, "Jangan khawatirkan hal-hal ini. Kamu cukup jaga diri baik-baik."

Yovana berpura-pura canggung dan malu. Dia menunduk dan menurunkan lengan baju yang sengaja diangkatnya sambil berkata, "Aku nggak apa-apa, Kak Derren ...."

Poni Yovana menyembunyikan kilat licik di matanya. Rasa sakit saat dia mengiris tangannya sendiri kini impas dengan kepuasan yang dirasakannya sekarang. Amelia tidak akan pernah bisa mengalahkannya!

Yovana tidak ingin berlama-lama di sini. Dia berucap, "Kak Derren, karena Kak Amelia baik-baik saja, aku pergi dulu, ya."

Derren berdiri, mengambil alih gagang dorong kursi roda dari pembantu dan membalas, "Oke, biar aku antar."

Setelah kembali dari mengantar Yovana, Derren bertemu seorang tamu tak diundang di depan pintu kamar pasien.

Jibran memakai kaus putih berlengan panjang, celana jin, dan membawa ransel di punggungnya. Dia sedang menunggu dengan cemas.

Sementara itu, Derren tampak rapi dengan balutan jas, sepatu kulit buatan khusus, dengan penjepit dasi dan cufflink berkilau di manset kemejanya. Dia menatap pemuda di depannya dengan sorot angkuh dan berkata sinis, "Kali ini kamu agak terlambat."

Jibran menoleh, matanya berkilat tajam dan waspada begitu melihat Derren. Tatapannya lalu jatuh pada laporan hasil tes darah di tangan pria itu. Nama Amelia tertulis dengan jelas di atasnya.

Hati Jibran menegang. Sebelumnya, Amelia pernah berkata bahwa dia tidak ingin penyakit kankernya diketahui Derren.

Derren yang bertubuh tinggi besar maju sedikit, lalu berdiri menghalangi pintu. Aura dingin terpancar dari tubuhnya. Begitu tatapan kedua pria itu bertemu, atmosfer di sekitar seperti membeku.

Pintu ruangan terbuka, lalu seorang perawat berjalan keluar. Dia mengambil buket bunga yang diletakkan di atas nakas dan berkata dengan raut masam, "Siapa keluarga pasien di sini? Pasien sudah sadar. Ada lagi, Bu Amelia berkata kalau dia alergi bunga lili, ke depannya jangan bawa bunga itu masuk lagi."

Derren menatap buket bunga lili itu dengan rahang mengetat dan raut tidak senang. Sejak Yovana diangkat sebagai putri Keluarga Adhinanta, Yosef sangat memanjakannya. Lantaran Yovana menyukai bunga lili, Yosef memerintahkan agar semua bunga iris di taman dicabut dan diganti dengan bunga lili putih.

Belakangan, Amelia tidak pernah lagi kembali ke rumah besar Keluarga Adhinanta. Derren juga sudah lama tidak membelikannya bunga.

Saat Derren masuk dan melihat Amelia yang terbaring lemah dengan wajah pucat di ranjang rumah sakit, emosinya sontak bergejolak. Entah mengapa dia merasa jengkel.

Amelia menyembunyikan kelinglungan dan kerapuhan di matanya. Tanpa basa-basi, dia berkata dengan suara rendah dan serak, "Derren, kamu sudah menyelamatkanku kali ini. Anggaplah aku berutang padamu. Mengenai uang, aku nggak menginginkannya lagi. Kita langsung cerai saja."

Amelia tidak ingin terikat lebih lama dengan Derren. Dia akan mencari cara sendiri untuk membayar biaya sanatorium kakeknya.

Amarah berkobar di mata Derren. Wanita ini baru saja lolos dari ambang maut. Apa dia tidak punya hal lain untuk dikatakan padanya selain membahas tentang uang dan perceraian?

Kelembutan terakhir di hati pria itu lenyap sepenuhnya. Derren tertawa marah dan membalas, "Sudah kubilang sebelumnya, setelah kamu melahirkan bayi untukku, aku akan penuhi apa pun maumu. Baik itu uang ataupun perceraian."

Ekspresi Jibran yang berdiri di depan pintu langsung berubah. Dia menerjang marah dan mencengkeram kerah baju Derren. Tangannya terkepal erat hingga urat-uratnya menonjol.

"Derren, apa kamu masih bisa disebut manusia?" geram Jibran dengan mata berapi-api. Kalau bukan karena Amelia, dia tidak akan peduli meski Derren adalah orang terkaya dan paling berkuasa di seluruh ibu kota. Dia sama sekali tidak peduli!

Para pengawal yang menjaga pintu hendak menyerbu masuk, tetapi Derren mengangkat tangan untuk menghentikan mereka. Suasana di dalam ruangan itu begitu menegangkan, seolah-olah peperangan hampir meledak.

"Sudahlah, Jibran, nggak apa-apa," kata Amelia dengan lemah.

Amelia tidak berencana memberi tahu Derren tentang penyakitnya. Namun, saat seseorang sudah kalah dan tersudut, dia tidak punya pilihan selain bicara dan menjelaskan segalanya.

Amelia menopang lengannya yang sakit, duduk dengan sedikit terhuyung. Jibran menurunkan tinjunya dan buru-buru pergi membantunya.

Amelia terbatuk beberapa kali. Kemudian, dia menatap pria angkuh di depan pintu dengan tenang dan berkata, "Derren, aku menderita leukemia, jadi aku nggak bisa melahirkan anak untukmu. Pilihlah syarat lain."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status